Mohon tunggu...
Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri Mohon Tunggu... -

sedang studi di pascasarjana sosiologi UGM

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Pencitraan, Penguasaan Simbol dan Kekerasan Simbolik Sebagai Alat Reproduksi Kekuasaan

22 Juli 2010   05:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:41 2351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Untuk menjaga keberlangsungan proses reproduksi kekuasaan dan relasi kekuasaan, Louis Althusser –salah seorang pemikir neo marxis lainnya- meletakkan negara sebagai institusi sentral yang berperan mempersatukan dan memaksa masyarakat dalam reproduksi kekuasaan. Dimulai dengan merevisi teori marxis tentang state power, Althusser membedakan antara kuasa negara (pemeliharaan kekuasaan negara atau perebutan kuasa negara) sebagai tujuan perjuangan kelas politik dan aparatus negara di sisi lain.
Dalam pandangan Althusser, kuasa negara masih dapat berubah dan berganti akibat dari perebutan kekuasaan oleh kelas-kelas politik yang ada. Sedangkan aparatus negara relatif bisa bertahan meski terjadi peralihan kekuasaan. Bercermin pada momen politik reformasi 1998 di Indonesia, kita dapat melihat bahwa meski telah terjadi peralihan kekuasaan yang ditandai turunnya Soeharto lewat kekuatan-kekuatan politik yang ada pada saat itu, namun aparatus negara (politisi, partai politik, atau militer orde baru) tetap melanggeng di struktur kekuasaan.

Althusser lebih lanjut memaparkan distingsi aparatus negara dalam kaitannya dengan reproduksi kekuasaan. Pertama; Aparatus Negara Represif (Repressive State Apparatus, RSA) yang bekerja dengan cara represif melalui kekerasan fisik maupun non-fisik, seperti pemerintah, militer, polisi, lembaga peradilan. Yang kedua; Aparatus Negara Ideologis (Ideological State Apparatus, ISA). Modus kerja ISA berlangsung melalui cara-cara yang ideologis-persuasif, seperti lembaga agama, pendidikan, media massa, partai politik, lembaga survei dan sebagainya. Pada bentuk kedua inilah, negara memperkuat kekuasaannya melalui muatan-muatan ideologi yang tak tampak (Op.cit.,: 2007: 15)

Perjuangan dominasi kekuasaan, dalam piranti aparatus negara ideologis, mengandalkan mode ideologi tertentu untuk menciptakan subyek. Pembentukan subyek ini dapat kita temukan ketika aparatus negara ideologis menyapa, merayu, dan mengajak subyek untuk menjadi pengikut. Slogan “Bersama Kita Bisa” di tahun 2004, misalnya, berperan secara simpatik untuk mengajak masyarakat bergabung dalam kebersamaan ideologis di bawah pemerintahan SBY-JK. Dalam perspektif Althusser maupun Gramsci, slogan seperti itu berupaya menanamkan citra yang bersahabat bahwa pemerintah dekat dengan rakyat atau persoalan bangsa hanya bisa diatasi kalau pemerintah dan masyarakat bersatu padu.
Begitu pula dengan trend politik di pemilu 2009 yang lalu dengan maraknya survei mengenai peluang masing-masing kontestan. Lembaga Survei Indonesia yang selalu menampilkan hasil yang dimenangkan oleh SBY sebagai calon presiden terbukti meredusir fakta kepada publik sehingga bisa mempengaruhi pilihan konstituen.

Apabila mengacu pada perspektif konstruksionis, setiap manusia tidak ada yang bebas dari kepentingan. Sehingga apa yang dipraktikkan oleh LSI sangat terbuka peluang untuk memanipulasi atau memoles sedemikian rupa sehingga terlihat tidak berpihak atau terkesan objektif.

Berangkat dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa pertautan kekuasaan dan kekerasan semakin kompleks. Kondisi ini didukung oleh fakta sosial yang mengalami perubahan terus-menerus akibat globalisasi ekonomi pasar dan teknologi informasi yang terjadi di abad 21 ini. Arus globalisasi tidak hanya menandai kaburnya batas-batas negara, melainkan juga praktik kekuasaan dan kekerasan. Jika sebelumnya negara menjadi gugus institusi sentral dalam penggunaan kekuasaan dan kekerasan untuk mengendalikan masyarakat, maka dalam konteks masyarakat global saat ini negara tidak lagi menempati posisi sentral.

Salah satu fenomena menarik pada era globalisasi dewasa ini ialah munculnya sentrum-sentrum kekuasaan dan kekerasan disamping negara, seperti lembaga pengetahuan yang berfungsi sebagai think-tanks perubahan, institusi-institusi bisnis, organisasi masyarakat sipil, lembaga-lembaga survei dan sebagainya. Perubahan ini memperlihatkan pola-pola baru penggunaan kekuasaan dan kekerasan selaras dengan semakin majemuknya kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Strategi, taktik, dan teknik yang digunakan pun semakin canggih, sehingga pola kekuasaan dibuat seolah-olah terlepas dari kekerasan, ataupun sebaliknya.

Dengan begitu, relasi kekuasaan dan kekerasan menjadi tidak kentara dalam artian kekerasan yang ada tertutupi oleh kekuasaan yang bekerja secara halus melalui representasi simbol-simbol. Pola baru yang menandai relasi kekuasaan dan kekerasan melalui sistem representasi simbol mengharuskan adanya pergeseran pemahaman mengenai keduanya, baik kekuasaan maupun kekerasan.

Dari sini, konfigurasi baru kekuasaan dan kekerasan yang telah bermetamorfosis tersebut tidak lagi terobsesi pada narasi-narasi besar, melainkan menjelma dalam praktik simbolik yang dekat dengan kita. Peralihan pola tersebut selaras dengan kecenderungan “pembalikan ke arah bahasa” (linguistic turn) (Borgman, 1974:37). Dan salah satu tokoh yang memberikan perspektif baru mengenai pertautan kekuasaan dan kekerasan ini ialah Pierre Bourdieu. Dari Bourdieu, kita dapat menguak modus operandi kekuasaan yang terpatri di dalam praktik simbolik bahasa/wacana sehingga melahirkan kekerasan simbolik sebagai sebuah mekanisme sosial untuk mereproduksi kekuasaan.

Kekerasan Simbolik Bagi The Others
Dalam pertarungan simbolik, selalu terdapat kekuatan-kekuatan untuk memberi nama yang diakui secara resmi, memonopoli visi yang sah terhadap dunia sosial, dan memaksa pandangan suatu kelompok atas kelompok lain. Dalam pertarungan simbolik pula, kompetisi antar pelaku sosial terjadi dengan tujuan akhir memperoleh kekuasaan. Kekuasaan yang dituju berupa kekuasaan untuk mengontrol persepsi, pandangan, visi, juga cara pandang seseorang maupun kelompok sosial. Perbedaan dalam mempersepsi dan mengapresiasi dunia sosial menjadi tonggak awal bagi berlangsungnya pertarungan simbolik. Ajang perebutan memperoleh kekuasaan haruslah dimaknai sebagai upaya memproduksi dan menampilkan pandangan dunia yang paling diakui, yang paling benar, yang paling sah. Kesemuanya ini bermuara pada kepentingan memperoleh legitimasi atau pengakuan bahwa hanya pandangan “mereka”-lah yang paling abash dibandingkan “yang lain” (Spilman, 2002:72-75). Kekuasaan pembentuk dunia melalui pandangan yang paling sah inilah yang disebut dengan kekuasaan simbolik (symbolic power).

Kekuasaan simbolik –dalam pengertian Bourdieu- merupakan suatu kekuasaan untuk mengkonstruksi realitas melalui tatanan gnoseological, yaitu pemaknaan yang paling dekat mengenai dunia sosial suatu kelompok atau orang (Bourdieu, 1991: 166). Kekuasaan simbolik ialah kekuasaan tak tampak dan hanya dikenali dari tujuannya untuk memperoleh pengakuan. Sebuah kekuasaan simbolik meski tidak dikenali bentuk aslinya tapi ia tetap diakui. Kekuasaan simbolik bekerja dengan menggunakan simbol-simbol sebagai instrumen “pemaksa” terhadap kelompok subordinat yang turut berperan mereproduksi tatanan sosial sesuai dengan keinginan kelompok dominan. Seperti yang dipaparkan oleh Bourdieu (Bourdieu, 1991:170):
“What creates the power of words and slogans, a power capable of maintaining or subverting the social order, is the belief in the legitimacy of words and of those who uuter them.”

Kekuasaan simbolik, bagi Bourdieu, dalam mengoptimalkan kekuatannya sangat tergantung pada dua hal (Bourdieu, 1990:137-138). Pertama, seperti halnya wacana performatif, kekuasaan simbolik didasarkan pada kepemilikan modal simbolik (symbolic capital). Semakin besar seseorang atau suatu kelompok memiliki modal simbolik, semakin besar peluangnya untuk menang. Artinya, modal simbolik merupakan kredit bagi terbentuknya otoritas sosial yang diperoleh dari pertarungan sebelumnya. Kedua, bergantung pada efektivitas simbolik di mana strategi investasi simbolik bekerja. Efektivitas ini bekerja atas dasar pandangan yang ditawarkan atau sejauh mana strategi investasi simbolik dijalankan. Dalam pandangan ini, kekuasaan simbolik merupakan sebuah kekuasaan pentahbisan, sebuah kekuasaan untuk menyembunyikan atau menampakkan sesuatu lewat kata-kata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun