Dalam menyembunyikan dominasinya, kekuasaan simbolik menjalankan bentuk-bentuk yang halus agar tak dikenali. Begitu halusnya praktik dominasi yang terjadi menyebabkan mereka yang didominasi tidak sadar bahkan mereka menyerahkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkaran dominasi. Dominasi yang mengambil bentuk halus inilah yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence), yaitu sebuah kekerasan yang lembut (a gentle violence), sebuah kekerasan yang tak kasat mata (imperceptible and visible) (Bourdieu, 2001:1). Secara lebih lengkap, kekerasan simbolik merupakan suatu bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak yang dibaliknya menyembunyikan praktik dominasi. Bourdieu (Bourdieu, 1990:192) bertutur:
“...the gentle, invisible form of violence, misrecognized as such, chosen as much as it is submitted to, the violence of confidence, of personal loyalty, of hospitality, of the gift, of the debt, of recognition, of piety –of all virtues, in a word, which are honoured by the ethics of honour.”
Kekerasan simbolik menciptakan mekanisme sosial yang bersifat obyektif dimana mereka yang dikuasai menerimanya begitu saja. Mekanisme obyektif yang diciptakan kekerasan simbolik memanfaatkan simbol-simbol yang ada untuk memenuhi fungsi politiknya, yaitu kehendak untuk berkuasa. Seperti halnya sistem kekuasaan, mereka yang mendominanasi menyebarkan pengaruh-pengaruh ideologis atau memaksakan pandangan kelompok mereka atas kelompok marginal. Kekerasan simbolis dapat diandaikan sebagai ‘kekuatan magis’ yang mampu menundukkan pihak yang lemah melalui mantra-mantra yang diciptakannya. Mereka yang didominasi tak sadar kalau mereka sedang digiring untuk menerima atau mengadaptasi pandangan, nilai-nilai, dan kriteria kelas yang berkuasa.
Kekerasan simbolis juga dapat dilihat sebagai pemaksaan sistem simbolis dan makna (misal kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sehingga tampak sebagai sesuatu yang sah. Dengan adanya legitimasi (misal top-down system) menyebabkan pemaksaan tersebut dapat berhasil. Dengan diterimanya kebudayaan tersebut di kalangan tertentu menyebabkan adanya reproduksi sistematis pada kelompok.
Inti kekerasan simbolis adalah tindakan pedagogis. Setidaknya ada tiga mode pendidikan; pendidikan yang tersebar (misal pendidikan dengan kelompok umur tertentu), pendidikan keluarga, pendidikan institusional (misal ritual inisiasi, sekolah dan sebagainya). Tindakan pedagogis mencerminkan kepentingan kelompok atau kelas dominan kecenderungan mereproduksi distribusi modal budaya secara tidak merata antar kelompok atau kelas yang hidup dalam satu ruang sosial sehingga mereproduksi struktur sosial.
Otoritas pedagogis adalah prasyarat keberhasilan tindakan pedagogis. Otoritas adalah kekuasaan arbitrer untuk bertindak tanpa disadari oleh pelaku dan penganutnya sebagai sesuatu yang legitimate. Otoritas pedagogis bersifat fundamental sehingga sering dianggap sebagai hubungan ilmiah atau primordial antara anak dan orang tua. Seseorang yang menjalankan tindakan pedagogis seringkali bersifat otoritatif ketika dia memegang mandat dari kelompok yang memaksakan kearbitreran budaya.
Kekerasan simbolik bukan saja bentuk dominasi yang diterapkan melalui media komunikasi atau bahasa, tapi ia merupakan penerapan dominasi sedemikan rupa sehingga praktik dominasi itu diakui secara salah (misrecognized) dan meskipun demikian ia diakui (recognized) sebagai sesuatu yang sah (legitimate) (Bourdieu, 1990:183-197). Karena itu, kekerasan simbolik yang mengambil bentuk yang sangat halus ini tidak ada mengundang resistensi dikarenakan ia sudah mendapatkan legitimasi sosial.
“Symbolic violence, according to Bourdieu, is the imposition of systems of symbolism and meaning (i.e. culture) upon groups or classes in such a way that they are experienced as legitimate. This legitimacy obscures the power relations which permit that imposition to be succesfull. Insofar as it is accepted as legitimate, culture adds its own force to those power relations, contributing to their systematic reproduction. This is achieved through a process og misrecognition: ‘the process whereby power relations are perceived not for what objectively are but in a form which renders legitimate in the eyes of the beholder.” (Jenkins, 1992:104).
Bagaimana kekerasan simbolik dijalankan? Mekanisme beroperasinya kekerasan simbolik mengambil dua cara. Pertama, melalui cara eufemisasi (euphemization) yaitu menjadikan kekerasan simbolik tidak kelihatan, berlangsung secara lembut, serta mendorong orang untuk menerima apa adanya. Biasanya cara ini berlangsung dengan melembutkan ekspresi, wacana atau bahasa ke dalam bentuk-bentuk filosofis yang bersifat abstrak. Cara kedua yaitu mekanisme sensorisasi (cencorship). Mekanisme ini beroperasi bukan hanya di dalam produksi wacana oral sehari-hari, tetapi juga berhubungan dengan produksi wacana ilmiah yang dibangun dalam teks tertulis (Bourdieu, 1991:18). Tujuannya ialah untuk menentukan apa yang boleh dikatakan dan apa yang tidak boleh dikatakan dalam rangka pelestarian “nilai-nilai utama”. “The need for this cencorship to manifest itself in the form of explicit prohibitions, imposed and sanctioned by an institutionalized authority”, ujar Bourdieu.
Akhir Cerita
Pada ranah politik hampir tidak ada rejim kekuasaan, bahkan yang paling antidemokrasi, yang tidak memoles diri sebagai rejim demokrasi. Dari sejarah, kita dapat belajar, demokrasi bukan sistem politik instan, yang akan terwujud begitu dikehendaki. Dunia Barat sejak mengenal demokrasi berulang kali mengalami kemunduran dalam menerapkannya. Setelah enam abad demokrasi, di Yunani, kemudian di Roma, kemunduran terjadi dalam bentuk kekaisaran. Sejak itu, para diktator silih berganti memerintah rakyatnya dengan tangan besi. Padahal, sudah berganti generasi mereka terbiasa berdebat bersama tentang apa yang hendak dicapai dalam kehidupan sosial politik. Ternyata, tradisi itu tidak cukup untuk melindungi mereka dari kecenderungan menggunakan kekerasan.
Namun saat ini dinamika sosial, ekonomi dan politik berubah secara radikal dalam mekanisme reproduksi kekuasaan. Penguasaan atas simbol dan politik pencitraan telah menjadi modus baru dalam praktik kekerasan simbolik yang bekerja secara efektif ketika yang didominasi merasakan ketidaktahuan sekaligus mengakuinya. Karena itu, menurut Bourdieu, kekerasan simbolik beroperasi lewat prinsip simbolik yang diketahui dan dikenali oleh kedua belah pihak, yaitu yang mendominasi dan yang didominasi. Entah itu bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara berbicara, bahkan cara bertindak sekalipun (Bourdieu, 2001:2).
Sehingga rakyat menjadi tidak peduli dengan segala tipu daya dan intimidasi oleh rejim politik yang menjalankan kekerasan simbolik. Rakyat akhirnya menjadi jinak (docile) dengan simpang siurnya demagogie (wacana politik untuk tujuan "mengobok-obok", memancing, serta mengeksploitasi hasrat dan perasaan massa), kebohongan, kemunafikan, manipulasi, dan provokasi.
Kekerasan simbolik itu selalu mengandaikan bahasa sebagai alat efektif untuk melakukan “dominasi terselubung”. Karena bahasa sebagai sistem simbolik tidak saja dipakai sebagai alat komunikasi, tapi juga berperan sebagai instrumen kekuasaan dengan memanfaatkan mekanisme kekerasan simbolik. Bourdieu mengajarkan kepada kita untuk selalu curiga terhadap bahasa, konsep, wacana, tanda, slogan, ataupun simbol lainnya yang diproduksi oleh kelas dominan. Lewat kekuasaan simbol pula lah dunia ini ditafsirkan, dinamakan, dan didefinisikan untuk menggirng kelas sub-dominan kepada pengakuan serta penerimaan terhadap pandangan dunia mereka yang bermodal besar.
Daftar Literatur
Abrahamsen, Rita, Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa Dalam Wacana Pembangunan, Yogyakarta, Lafadl, 2004.
Adlin Alfathri, Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, Yogyakarta, Jalasutra, 2006.
Bourdieu, Pierre, The Algerians, Boston: Beacon Press, 1962.
_____________, Distinction, London, Routledge, 1984.
_____________. Homo Academicus, Cambridge, Polity Press, 1984.
_____________, The Logic of Practice, Stanford-Calif, Stanford University Press, 1990.
_____________, In Other Words: Essays Towards a Reflexive Sociology, Cambridge, Polity Press, 1990.
_____________, Language & Symbolic Power, Cambridge, Polity Press, 1991.
_____________, Acts of Resistance, New York, The New Press, 1998.
_____________, Masculine Domination, Stanford-Calif, Stanford University Press, 2001.
_____________, Jurnalisme Di Televisi, Yogyakarta, Kalamakara, Freedom Press & AKINDO, 2002.
Bourdieu, Pierre & Wacquant, Loic, An Invitation to Reflexive Sociology, Chicago, The University of Chicago Press, 1992.
Chomsky, Noam, Perspective On Power, Montreal/New York-London, Black Rose Books, 1997.
Coulon, Alain, Etnometodologi, Jakarta, Lengge, 2004.
Edgar, Andrew & Sedgwick, Peter, Cultural Theory The Key Concepts, London & New York, Routledge, 2002.
Fashri, Fauzi, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu, Jogjakarta, Juxtapose, 2007
Giddens, Anthony, Central Problems in Social Theory, Berkeley & Los Angeles, University oc California Press, 1979.
Jackson, Karl D. and Pye, Lucian W., Political Power and Communications in Indonesia, Berkeley-Los Angeles-London, University of California Press, 1978.
Jenkins, Richard, Pierre Bourdieu, London & New York, Routledge, 1992.
Lane, Jeremy F., Pierre Bourdieu: A Critical Introduction, London-Sterling-Virginia, Pluto Press, 2000.
Ritzer, George, Modern Sociological Theory, New York, The McGraw-Hill Companies, INC., 1996.
Ricouer, Paul, Hermeneutics and The Human Sciences, Cambridge, Cambridge University Press, 1981.
Said, Edward, Orientalism, New York, Vintage Books, 1979.
Sherman, Arnold K., Kolker, Aliza, The Social Bases of Politics, California, Wadsworth Publishing Company, 1987.
Spillman Lyn, Cultural Sociology, Massachusetts-Oxford, Blackwell, 2002.
Sutanto, Irzanti dan Harapan, Ari Anggari (Ed), Prancis dan Kita: Strukturalisme, Sejarah, Politik, Film, dan Bahasa, Jakarta, Edatama Widya Sastra, 2003.
Swartz, David, Culture & Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, Chicago & London, The University of Chicago Press, 1997.