Pemerintah akhirnya menyambut ini dalam program politiknya karena isu terorisme bukan lagi sekedar wacana an sich, tapi memuat implikasi ekonomi-politik bagi negara-negara yang tidak mendukung isu tersebut. Negara yang tidak sepakat dengan program anti-terorisme dapat dimarginalkan dari konstelasi ekonomi dunia, investor asing enggan masuk, mendapat hambatan untuk peminjaman hutang, atau intimidasi secara politik. Dengan begitu, pemerintah -disebabkan otoritas dan legitimasi yang didapatkan dari Amerika Serikat- mempunyai kekuatan simbolik untuk mengonstruksi dan mendefiniskan realitas sesuai dengan selera dan ideologinya.
Contoh lain yang berkaitan dengan penguasaan simbolik ialah munculnya wacana good governance yang diusung pemerintahan SBY sebagai visi besar penataan negara. Mengacu pada pandangan Edward Said di bagian pendahuluan Orientalism menyatakan bahwa “there is no such things as a delivered presence; there is only re-presence, or representation” (Said, 1979:21). Di balik pewacanaan good governance tersembunyi relasi kuasa yang tak tampak oleh khalayak akan tetapi tampil seakan-akan mengandung nilai objektif.
Konsep good governance pertama kali digunakan oleh Bank Dunia tahun 1989 dalam laporannya yang berjudul Sub-Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth. Kelahiran konsep good governance berkaitan erat dengan konstruksi pembangunan bagi negara berkembang. Seperti yang didefinisikan oleh World Bank, Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, investasi tanpa hambatan, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Meskipun terdapat definisi beragam mengenai istilah good governance, tetapi penempatan elemen-elemen dasar konsepsi ini bermula dari Bank Dunia (Ibid., 2007: 11).
Kemunculan good governance sebagai wacana dominan berkaitan dengan kegagalan kapitalisme awal yang mengalami depresi ekonomi tahun 1930-an dan berujung pada akumulasi kapital melambat. Penyebabnya antara lain, proteksi dari negara, paham keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, serta berbagai tradisi adat pengelolaan sumber daya alam berbasis rakyat. Untuk mengembalikan putaran kapital tanpa ada rintangan, salah satu strategi yang dijalankan oleh kapitalisme ialah menggagas konsep good governance.
Dalam wacana good governance, demokrasi sebagai kerangka politik diperlukan demi kesuksesan pembangunan ekonomi dan ekonomi liberal menjadi mazhab utama bagi pembentukan tata ekonomi yang lebih baik. Demokrasi dan ekonomi liberal berhubungan erat secara konseptual. Artinya, upaya mendorong demokrasi secara bersamaan mendorong pula ekonomi pasar bebas. Bank Dunia sendiri melalui staf seniornya menyatakan, governance berarti pemerintah yang kompoten dan memiliki akuntabilitas yang “didedikasikan pada kebijakan-kebijakan ekonomi liberal” (Abrahamsen, 2004:88).
Jika ditelaah lebih jauh, wacana good governance telah mengaburkan relasi kuasa dan dominasi melalui justifikasi lembaga, aktor politik, dan mantra teorinya. Hubungan yang menindas dan memaksa dari kapitalisme ditutupi sedemikan rupa oleh wacana good governance. Dengan menepikan peran negara, ruang bagi pasar dan lembaga-lembaga swasta semakin diperluas. Menjadi jelas bahwa wacana good governance menyembunyikan kuasa ideologi tertentu untuk menciptakan tata ekonomi-politik baru.
Lantas mencuat pertanyaan, mengapa wacana good governance diterima begitu saja oleh masyarakat sebagai konsep yang sah untuk tata pemerintahan dan dianggap ampuh bagi reformasi tata birokrasi negara? Dengan menggunakan argumen Pierre Bourdieu, “What creates the power of words and slogan, a power capable of maintaining or subverting the social order, is the belief in the legitimacy of words and of those who utter them” (Bourdieu, 1991:170). Sebuah konsep, bahasa, atau wacana dianggap sah atau legitimate tergantung kepada siapa yang mengucapkannya (memproduksi). Dalam ranah politik, jika seseorang atau lembaga mendapatkan otoritas dan legitimasi untuk mengucapkan sesuatu, memproduksi wacana maka ucapan atau wacana tersebut dianggap sebagai kebenaran.
Saat seorang Presiden atau aparatus negara dan bahkan pejabat Bank Dunia yang mendapatkan otoritas untuk mensosialisasikan gagasan dan praktik good governance, maka masyarakat memandangnya sebagai sesuatu yang legitimate (sah dan benar). Otoritas melekat dengan kekuasaan untuk menamakan dan memproduksi wacana tertentu. Dari argumen tersebut, good governance menjadi kekuatan efektif menata cara berpikir dan bertindak masyarakat. Tidak perlu lagi membongkar konsep good governance atau menguak kepentingan di balik konsep itu. Good governance, lewat kekuasaan simbolik yang bekerja, tampil sebagai ramuan yang dianggap dapat menyembuhkan kondisi bangsa yang sedang sakit.
Strategi Berulang bagi Kelestarian Kekuasaan
Studi mengenai kekuasaan (power) menempati posisi sentral dalam diskursus ilmu politik. Karenanya, tidak heran apabila sebagian orang menyatakan bahwa hubungan politik dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang yang saling berkaitan. Kekuasaan (power) merupakan sebuah konsepsi yang memiliki arti yang beragam. Kalau kita runut, kajian terhadap kekuasaan sudah berlangsung sejak lama, dimulai dari zaman Yunani hingga saat ini. Meskipun sudut pandang yang digunakan untuk membedah kekuasaan beraneka ragam, tapi ada prinsip umum yang dapat kita sepakati yaitu setiap kekuasaan cenderung untuk dipertahankan, dilestarikan, dan diproduksi kembali oleh aktor atau institusi yang memiliki kekuasaan.
Strategi mempertahankan dan melestarikan sebuah kekuasaan mengandaikan penggunaan kekerasan. Pertautan keduanya –kekuasaan dan kekerasan- seringkali terwujud dalam bentuk yang plural. Ada yang mengabsahkan pemakaian segala cara meskipun buruk yang penting kekuasaan tetap terjaga. Pemikiran seperti ini dapat kita temukan pada pemikiran politik Niccolo Machiavelli dalam karyanya The Prince. Bagi Machiavelli, kekuasaan harus dilestarikan melalui cara apapun agar kedaulatan sang penguasa (negara) tetap tegak. Karenanya penggunaan kekerasan yang bersifat fisik pun dapat dibenarkan, seperti intimidasi, penyiksaan, penculikan, dan sebagainya. Dengan kata lain, negara memiliki kewenangan melakukan politik kekerasan untuk mempertahankan dominasinya terhadap yang dikuasainya.
Akan tetapi, praktik dominasi kekuasaan tidak semata-mata diadakan melalui kekerasan fisik. Antonio Gramsci –seorang pemikir neo marxis dari Italia- menyatakan bahwa kekuasaan dapat dilanggengkan melalui strategi hegemoni. Hegemoni yang dimaksudkan oleh Gramsci ialah peran kepemimpinan intelektual dan moral (intellectual and moral leadership) untuk menciptakan ide-ide dominan.
Berangkat dari kritiknya terhadap konsepsi kekuasaan ala Karl Marx yang mereduksi praktik dominasi pada struktur ekonomi, Gramsci lebih jauh berpandangan bahwa kekuasaan diperoleh lewat hegemoni ide-ide (dalam wilayah budaya) yang didasarkan atas mekanisme konsensus. Melalui hegemoni, ide-ide yang diciptakan penguasa menentukan struktur kognitif masyarakat. Upaya hegemoni ini berlangsung untuk menggiring persepsi orang dalam kerangka yang telah ditentukan oleh negara. Misalnya, pada masa orde lama, Sukarno menciptakan hegemoni ide dalam wujud musuh bersama (common enemy) yaitu neo kolonialisme dan imperialisme. Atau di era Soeharto yang menjadikan anti PKI sebagai ide besar. Ide-ide dominan tersebut mampu menghasilkan konsensus bersama serta menciptakan rasa persatuan masyarakat bahwa musuh besar bangsa adalah Nekolim dan PKI. Dengan begitu, hegemoni cenderung mengalihkan perhatian masyarakat dari realitas yang sesungguhnya. Tujuannya tak lain adalah mempertahankan kekuasaan penguasa negara.