Mohon tunggu...
Avan Dimas
Avan Dimas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Halal, Haram, dan Rakus di Dalam Islam

18 Maret 2019   14:45 Diperbarui: 18 Maret 2019   15:21 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. TEORI NILAI GUNA DAN HUBUNGANNYA DENGAN TEORI MASLAHAH
Di dalam teori ekonomi, kepuasaan seseorang dalam mengonsumsi suatu barang dinamakan utility atau nilai guna. Kalau kepuasan terhadap suatu benda semakin tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Sebaliknya, bila kepuasan terhadap suatu benda semaki rendah maka semakin rendah pula nilai gunanya. Kepuasan dalam terminologi konvisional dimaknai dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan fisik.

Dalam ekonomi Islam, kepuasan dikenal dengan maslahah dengan penertian terpenuhi kebutuhan baik bersifat fisik maupun spiritual. Islam sangat mementingkan keseimbangan kebutuhan fisik dan nonfisik yang didasarkan atas nilai-nilai syariah. Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasan harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu barang yang di konsumsi halal, baik secara zatnya maupun cara memperolehnya, tidak bersifat israf (royal) dan tabzir (sia-sia). Oleh karena itu, kepuasan seorang Muslim tidak didasarkan banyak sedikitnya barang yag di konsumsi, tetapi didasarkan atas berapa besar nilai ibadah yang didapatkan dari yang dikonsumsinya.

Maslahah dalam ekonomi islam, diterapkan sesuai dengan prinsip rasionalitas muslim, bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin mengingatkan maslahah yang diperolehnya. Seorang kunsumen muslim mempunyai keyakinan, bahwasannya kehidupan tidak hanya didunia tetapi akan ada kehidupan di akhirat kelak.

Imam Asy-Syathidi mengatakan, bahwa kemaslahatan manusia dapat teraelisasi apabila lima unsur pokok dapat dipelihara yaitu: agama (ad-din), jiwa (an-nafs), akal (al-aql), keturunan (an-nasl), dan harta (al-mal)
Mengurangi konsumsi suatu barang sebelum mencapai kekuasan maksimal adalah prinsip konsumsi yang diajarkan Rasulullah, seperti makan sebelum lapar dab berhenti sebelum kenyang. Karena itulah, islam menekankan sikap sederhana dalam konsumsi. Sebaliknya sikap israf (berlebih-lebihan) dan tabzir (sia-sia) dalam konsumsi dilarang.

B. KESEDERHANAAN DALAM KONSUMSI
Al-Qur'an menyebut kaum Muslimin sebagai umat pertengahan, dan karena itu Islam menganjurkan prinsip kesederhanaan dan keseimbangan dalam semua langkah kepada mereka. Di bidang konsumsi, harta maupun makanan, sikap pertengahan adalah sikap utama. Baik "kurang dari semestinya" (yakni kikir) maupun "lebih dari semestinya" (yakni berlebihan) dilarang. Marilah Kita bicarakan sikap islam terhadap kekikiran dan keberlebihan itu sebelum membicarakan rekomendasi Islam Bagi kesederhanaan. (A) Kikir: Orang yang kikir adalah orang yang tidak membelanjakan Uang untuk dirinya maupun keluarganya sesuai dengan kemampuannya, demikian pula ia tidak mengeluarkan uangnya untuk sedekah. Sikap kikir dicela oleh ayat Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Ayat Al-Qur'an:

Sekali-kali janganlah orang-orang yang kikir dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa ke kikiran itu baik bagi mereka. Sebenarnya kekikiran itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan di kalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah Segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi.Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Ali'Imran[3]: 180) (Muhammad Sharif 2012: 144)

KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM
Menurut Samuelson konsumsi adalah kegiatan menghabiskan utility (nilaiguna) barang dan jasa. Barang meliputi barang tahan lama dan barang tidak tahan lama. Barang konsumsi menurut kebutuhannya yaitu: kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tertier. Sifat barang konsumsi menurut Al Ghazali dan Al Shatibi dalam Islam adalah At-Tayyibat. Prinsip konsumsi dalam  Islam  adalah prinsip keadilan, kebersihan, kesederhanaan,  kemurahanhati, dan moralitas. Monzer Kahf mengembangkan pemikiran tentang Teori Konsumsi Islam dengan membuat asumsi : Islam dilaksanakan oleh masyarakat, zakat hukumnya wajib, tidak ada riba, mudharabah wujud dalam perekonomian, dan pelaku ekonomi mempunyai perilaku memaksimalkan. Konsep Islam yang  dijelaskan oleh Hadits Rasulullah SAW yang maknanya adalah, "Yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang kamu infakkan." Terdapat empat prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam yang diisyaratkan dalam al Qur'an:
1. Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah, yang bermakna bahwa, tindakan ekonomi diperuntukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan hidup (needs) bukan pemuasan keinginan (wants).
2. Implementasi zakat dan mekanis menyapa data taran negara. Selain zakat terdapat pula instrument sejenis yang bersifat suka rela (voluntary) yaitu infak, shadaqah, wakaf, dan hadiah.
3. Penghapusan Riba; menjadikan system bagi hasil (profit-loss sharing) dengan instrument mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti system kredit (credit system) termasuk bunga (interest rate).
4. Menjalankan usaha-usaha yang halal, jauh dari maisirdangharar; meliputi bahan baku, proses produksi, manajemen,out put produksi hingga proses distribusi dan konsumsi harus dalam kerangka halal. Dari empat prinsip demikian, terlihat model perilaku muslim dalam menyikapi harta. Harta bukan lah tujuan, ia hanya sekedar alat untuk menumpuk pahala demi tercapainya falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Harta merupakan pokok kehidupan (an-Nisa(4):5) yang merupakan karunia Allah (an-Nisa(4) :32 ) Islam memandang segala yang ada di diatas bumi dan seisinya adalah milik Allah SWT,sehingga apa yang dimiliki manusia hanyalah amanah. Dengan nilai amanah itu lah manusia dituntut untuk menyikapi harta benda untuk mendapatkannya dengan cara yang benar, proses yang benar dan pengelolaan dan pengembangan yang benar pula.Namun padatingkat anpraktis, prilakuekonomi (economic behavior) sangat ditentukan oleh tingkat keyakinan atau keimanan seseorang atau sekelompok orang yang kemudian membentuk kecenderungan prilakukonsumsi dan produksi di pasar. Dengan demikian dapat disimpulkan 2 karakteristik perilaku ekonomi dengan menggunakan tingkat keimanan sebagai asumsi.
1. Ketika keimanan ada pada tingkat yang cukup baik, maka motif berkonsumsi atau berproduksi akan di dominasi oleh tiga motif utama tadi; mashlahah, kebutuhan dan kewajiban.
2. Ketika keimanan ada pada tingkat yang kurang baik, maka motifnya tidak didominasi hanya oleh tiga hal tadi tapi juga kemudian akan dipengaruhi secara signifikan oleh ego, rasionalisme (materialisme) dan keinginan-keinganan yang bersifat individualistis

D. NORMA DAN ETIKA DALAM KONSUMSI
Nilai-nilai islam yang harus di aplikasikan dalam konsumsi adalah
Seimbang dalam konsumsi
Islam mewajibkan kepada pemilik harta agar menafkahkan sebagian hartanya untuk kepentingan diri, keluarga, dan fisabilillah. Islam mengharamkan sikap kikir. Disisi lain, islam juga mengharamkan sikap boros dan menghaburkan harta. Seperti yang di isyaratkan dalam QS.Al-Isro'[17]:29 " Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada pundakmu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu akan tercela dan menyesal"
Memebelanjakan harta pada bentuk yang dihalalkan dan dengan cara yang baik
Islam mendorong dan memberi kebebasan kepada individu agar membelanjakan hartanya untuk membeli barang2 yang baik dan halal dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kebebasan itu diberikan dengan ketentuan tidak melangar batas-batas yang suci serta tidak mendatangkan bahaya terhadap keamanan dan kesejahteraan masyarakat dan Negara. Senada dengan hal ini Abu al-a'la al-maududi menjelaskan, islam menutup semua jalan bagi manusia untuk membelanjakan harta yang mengakibatkan kerusakan akhlaq ditengah masyarakat, seperti judi yang hanya memperturutkan hawa nafsu.

Larangan bersikap israf (royal) dan tabzir (sia-sia)
Adapun nilai-nilai akhlaq yang terdpat dalam konsep konsumsi adalah pelarangan terhadap sikap hidup mewah. Gaya hidup mewah adalah perusak individu dan masyarakat, karena menyibukkan manusia dengan hawa nafsu, melalaikannya dari hal-hal yang mulia dan akhlaq yang luhur
(sadeno sukirno 2002: 132)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun