Mohon tunggu...
Auxilla Nanda
Auxilla Nanda Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

@auxillananda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencarinya

22 Januari 2024   22:08 Diperbarui: 22 Januari 2024   22:18 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini aku sedang berdiri di lapangan. Lebih tepatnya di kotak pinalti untuk melakukan tendangan pinalti yang didapatkan oleh timku karena tim lawan melakukan pelanggaran. Priit.   aku mulai mengambil awalan dan menendangnya. 'bum.' Bola itu berhasil ditepis oleh penjaga gawang karena tendanganku yang sangat pelan. Semua orang di pinggir lapangan berteriak menyorakiku karena tidak berhasil memasukkannya. Pertandingan pun dilanjutkan seperti biasa. Aku mulai tidak fokus bermain karena komentar dari orang-orang tentang tendangan pinaltiku. Hingga akhirnya aku selalu salah mengoper bola ke tim lawan dan berakhir terkena sleding pemain lawan yang tidak bisa aku hindari dan aku tahan rasa sakitnya.

"nomor punggung 3 diganti dengan nomor punggung 7." Ucap komentator. Aku melihat ke arah sumber suara dan mengedarkan pandanganku ke tempat coach berdiri.  Ia melihatku dan mengangguk. Lantas aku berjalan keluar lapangan sembari menyeret kakiku. Kakiku sakit sekali. Terkena sleding lawan saat ingin mengoper bola kepada timku. Akhirnya aku memberi ban kapten kepada Azzam dan memberinya semangat.

Sesampainya di tempat duduk pemain cadangan, aku mulai meluruskan kaki dan mengompresnya menggunakan es batu. Rasanya, aku tidak pernah terkena cidera separah ini. Jangankan lari, menapak saja kakiku terasa sangat sakit. Tak lama kemudian, wasit mulai meniup panjang peluit dan menghasilkan satu skor untuk kemenangan timku. Aku tersenyum dan mulai memberikan tosku kepada teman-temanku. Timku dinyatakan lolos di delapan besar karena mencetak poin saat aku digantikan. Semua bersorak senang dan aku termenung. Apakah aku akan main pada perebutan seminifinal? Sedangkan kakiku terkena cidera yang tidak biasa.

Malamnya kakiku serasa tidak bisa bergerak. Keesokan harinya aku dipijat dan mulai menutup mata untuk menahan rasa sakit. Bapak yang memijat mengatakan bahwa aku harus kembali lagi setelah 2 hari untuk dipijat kembali. Aku mulai melayangkan pikiranku dengan turnamen selanjutnya yang akan dilaksanakan tiga hari lagi. Sudah bisa dipastikan aku tidak bisa bermain pada pertandingan tersebut.

***

Hari ini semua berkumpul di rumah Manajer klub bolaku. Kami berdoa bersama untuk melayangkan semua harapan kami agar kami mendapatkan juara satu. Aku kangen sekali momen dimana dipanggil diatas podium dan memegang piala utama. Ah, berharap akan hal setinggi itu tetapi kakiku tidak mendukung untuk berlari mengejar bola dan memasukinya ke gawang lawan. "Kale, sini sebentar" ucap Coach Rudi dan bergegas menemuinya. Ia berkata bahwa besok aku akan tetap bermain tetapi tidak menjadi kapten. Aku merasa senang bahwa masih dipercaya untuk bermain tetapi di lubuk hatiku masih ada peeasaan menyesal mengapa aku  cidera. 

Jika saja tidak cidera, aku masih bisa memimpin timku. "Tapi kamu yakin kan mau main?" Aku menganggukkan kepala dengan semangat. "Oke. Gol in Kale." Hanya tiga kata tetapi itu adalah beban terbesar. Dimana semua orang berharap bahwa aku akan mencetak gol. Semua orang berasumsi bahwa aku adalah pemain andalan dan aku mampu untuk mencetak gol. Sebenarnya aku tersanjung akan hal itu. Tapi di satu sisi, aku akan merasa bersalah jika tidak bisa mencetak gol dan tidak bisa memberikan senyuman bangga kepada mereka.

"Siap." Lantas Coach Rudi mulai menepuk pundakku dan mulai berbincang untuk pertandingan esok hari. Pak manager juga memberi beberapa wejangan dan satu dua kata untuk menyemangatiku. "semangat Mas Kale. Sudah hebat cidera seperti ini masih mau main."Aku membalasnya dengan tersenyum.

***

"are u okay?" Ucapnya lembut. Aku hanya menoleh padanya dan membuang kembali pandanganku. "semua orang gabisa memendam semuanya sendiri Kale. Kalau mau cerita, aku siap mendengarkan. Let me know your story." Mukanya yang teduh membuatku mengucapkan satu dua kata hingga ratusan kalimat yang tidak bisa aku keluarkan pada orang lain. Tapi kepadanya, aku bisa mengeluarkan segalanya. Meluapkan emosi yang aku pendam kepadanya tanpa rasa bersalah sekalipun. Ia adalah Alea. Wanita yang mempunyai wajah teduh dan pemikiran seluas samudera. Setelah aku menghabiskan kalimatku, ia hanya menepuk pundakku dan menyamakan pandangannya sepertiku. Ia tersenyum seraya berkata, "kamu tahu ga, pohon itu ga langsung besar kayak gitu?" ucapnya sambil menunjuk pohon yang berada di depan kita yang sedang duduk di salah satu bangku taman.

"iya. Semua pasti dari bawah dulu."  Alea tersenyum. Angin malam mulai menyapa halus kulitku dengannya dan pohon itu menari dibuatnya. "Tuh lihat lagi. Anginnya kenceng banget tapi dia berusaha biar ga roboh." Aku tak mengerti maksudnya. Ia yang melihatku seperti itu, hanya tersenyum dan melanjutkan kalimatnya. "Waktu dia kecil, dia engga dilihat sama kita. Akhirnya dia berupaya untuk tumbuh lebih tinggi agar dilihat oleh kita. Tapi dia tahu. Jika dia semakin tinggi, dia bakal berjumpa sama angin yang lebih kenceng lagi. Jadi akhirnya dia mempertahankan akar dan batangnya bisa semakin kuat untuk menghadapi angin itu. Agar dia tidak roboh ke bawah." Ia berhenti untuk mengambil nafas. "sama kayak ini. Harus kuatin ini dan ini." Ucapnya menunjukku yang dilanjuti dengan menunjuk hati dan kepalaku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun