Mohon tunggu...
Shuni Vashti
Shuni Vashti Mohon Tunggu... -

Berkisah dengan kata dan gambar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah yang Lama, Kerja yang Lama

28 Oktober 2014   19:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:25 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan cuma sekali dua kali kudengar Orang Kita menjelaskan bahwa dia sudah kerjakan sesuatu dari pagi sampai malam sampai berhari-hari. Intinya: Saya kerja keras. Buktinya sudah sekian jam saya habiskan untuk bekerja.

Lalu Si Jepun dengan santainya mengajukan satu dua pertanyaan "sepele" yang ternyata luput diselidiki oleh Orang Kita saking sibuknya melewatkan berjam-jam.

Lanjut Si Jepun, "Keberhasilan seorang pekerja itu tidak diukur dari jumlah jam yang dipakainya untuk bekerja, melainkan pada ada tidaknya hasil (merit) kerjanya."

Memang sepertinya sudah menjadi pakemnya orang kita bahwa makin lama kerjanya makin bagus. Sebaliknya kalau satu jam saja sudah selesai kerja, khawatir nanti dikira atasan tidak bekerja.

Sama pula halnya dengan pendidikan. Si Jepun mencantumkan jabatannya pada kartu nama, tetapi tidak pernah mencantumkan gelar pendidikannya. Kalau orang kita, cuma gelar S1 saja wajib kudu harus dicantumkan. Pakemnya orang kita, makin lama sekolahnya makin pintar. Sebaliknya juga, kalau pendidikannya cuma lulus SD jadi minder, khawatir dikira bodoh. Lha, sekolahnya cuma sebentar begitu, mana bisa pintar?

Makin banyak hafalan makin pintar. Makin lama duduk di dalam kelas, makin mencerdaskan. Orang tua pun membebani anak-anaknya dengan les privat pelajaran sekolah ini itu, karena khawatir anaknya sekolah kurang lama (baca: kurang pintar) belajarnya. Tidak mengherankan jika setelah bekerja, pakemnya menjadi makin lama bekerja makin berhasil. Otaknya sejak kecil telah dilatih untuk bekerja yang lama, tetapi tidak dilatih untuk kritis menggali inti masalah.

Saya lalu jadi bertanya-tanya, kalau di Jepang ada yang cuma tamat SMP tapi diangkat jadi menteri, apakah hebohnya akan sama seperti di Indonesia? Apakah juga akan timbul pertanyaan "kok bisa"?

Ada yang mengaku guru mengatakan, jangan sampai generasi muda sekarang terpengaruh sehingga berpikir bahwa cukup tamat SMP saja bisa jadi menteri. Benar itu, sahut guru lain. Bagaimana kalau ditanya anak didik, kok lulus SMP bisa jadi menteri.

Lha.... memangnya Ibu Susi Pudjiastuti diagkat jadi menteri karena cuma lulus SMP tah?

Kalau ada anak didik yang mengatakan mau berhenti sekolah sampai SMP saja, karena mau mengikuti jejak Ibu Susi Pudjiastuti, ingatkan saja untuk tidak hanya mengikuti sekolahnya, tetapi kerja kerasnya, kreatifitasnya, membangun bisnis selama 30 tahun lebih. Habis itu baru jadi menteri. Apakah kamu sanggup seperti itu?

"Sanggup!" jawab Si Anak Didik. Nah loh. Pelik kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun