Mohon tunggu...
Fitri Kusnayanti
Fitri Kusnayanti Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Let's connect! Ex-journalist (persma). Content writer and copywriter. Write articles with random and informative topics

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Barbie, Budaya Konsumerisme, Standar Kecantikan, dan Kemandirian Perempuan

19 Juli 2023   20:49 Diperbarui: 19 Juli 2023   20:54 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pixabay (ErikaWhittlieb)

Barbie menjadi trending topik belakangan karena film Barbiethe Movie  yang dibintangi Margot Robbie akan tayang di layar lebar. Di Indonesia sendiri, film ini akan tayang pada 19 Juli 2023. Dalam perjalannya, Barbie tak lepas dari berbagai polemik seperti gambaran budaya konsumerisme dan materialistis, standar kecantikan yang tidak manusiawi, hingga masalah perempuan seperti kemandirian dan perlawanan terhadap patriarki. Lantas, siapa sebenarnya Barbie dan  apa hubungan Barbie dengan budaya konsumerisme, standar kecantikan, dan kemandirian?

Mengenal Barbie

Barbie merupakan sebuah boneka yang diciptakan oleh Ruth Handler dan diproduksi oleh perusahaan Mattel asal Amerika Serikat. Boneka ini diperkenalkan pada Maret 1959 dan langsung booming pada masanya. Nama Barbie sendiri diambil dari nama anak penciptanya yaitu Barbara Millicent Roberts.

Ketika pertama kali diperkenalkan, Barbie memiliki tubuh tinggi semampai dengan tubuh berlekuk, kulit putih bersih, dan wajah cantik. Rambutnya pun berwarna blonde. Namun, seiring perkembangan zaman, Barbie berinovasi.  Kini, boneka berukuran 11 inci tersebut tak hanya memiliki warna kulit putih dan rambut blonde, tetapi ada juga yang berkulit hitam, kecoklatan, dan warna rambut yang beragam.

Tak hanya boneka, Mattel pun merilis beberapa film Barbie dengan berbagai cerita. Sejak tahun 2000, film Barbie telah diproduksi sebanyak kurang lebih 30 film. Yang terakhir adalah Barbie And Chelsea: The Lost Birthday pada tahun 2021.

Bentuk  Barbie untuk pertama kali, sumber: Grid.id
Bentuk  Barbie untuk pertama kali, sumber: Grid.id

Barbie, Budaya Konsumerisme, Standar Kecantikan, dan Kemandirian


Sumber: Pixabay (ErikaWhittlieb)
Sumber: Pixabay (ErikaWhittlieb)

Karena dianggap memiliki gambaran sosok wanita yang sempurna, maka Barbie menjelma menjadi sebuah ikon dan standar kecantikan.  Penelitian pada tahun 2022 menunjukkan bahwa Barbie merupakan standar kecantikan wanita barat yang melambangkan konsumerisme, hingga materialism. Hal ini karena Barbie muncul dengan pakaian dan pernak-pernik glamour. Bahkan, beberapa orang yang terobsesi dengan Barbie bisa saja mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk mengoleksi boneka Barbie atau pernak-pernik ala Barbie.

Pada penelitian yang sama mengatakan bahwa Barbie menggambarkan rasisme karena pada awal diciptakan hingga tahun 2016-an Barbie muncul dengan kulit putih. Pernyataan ini cukup masuk akal. Barbie memiliki tubuh yang nampak ideal dengan mata biru nan lebar, menggambarkan kecantikan tak realistis dari manusia. Ironisnya, Barbie begitu terkenal di seluruh dunia dan dimainkan banyak anak perempuan dan dapat mengubah persepsi anak-anak tersebut tentang kecantikan di masa mendatang. Penelitian yang diterbitkan pada Jurnal Body Imagemenunjukkan bahwa anak perempuan usia 6-8 tahun yang bermain Barbie lebih sering mengeluhkan bentuk tubuh mereka.

Kecantikan boneka Barbie yang menjadi standar juga dapat memunculkan insecurity. Dikutip dari sebuah  penelitian pada tahun 2020 yang mengungkapkan bahwa "Some people outgrew the obsession with barbie due to insecurities, the impact and influence of Barbie dolls is to such an extent that young girls suddenly want to look big, hot and sexy." Perempuan di seluruh dunia tentunya cantik dan unik dengan diri mereka sendiri. Namun, menjadikan Barbie sebagai standar hingga obsesi akan membuat mereka merasa bahwa diri mereka kurang karena tak nampak seperti Barbie. Bahkan, jika mereka tidak bisa menyamai barbie dampak akhirnya adalah depresi. Mereka juga bisa melakukan tindakan ekstrim seperti melakukan operasi plastik agar dapat terlihat seperti Barbie seperti Valeria Valeryevna Lukyanova atau Alicia Almira asal Swedia yang menghabiskan miliaran rupiah untuk menjadi Barbie.

Meskipun beberapa orang berpandangan negatif tentang standar kecantikan yang disematkan pada boneka Barbie, Mattel sendiri selaku perusahaan yang memproduksi Barbie memilih untuk menjadikan pandangan negatif ini sebagai inovasi. Mattel mengeluarkan boneka Barbie hispanik dengan kulit hitam pada tahun 1980-an setelah memperkenalkan Christie, sahabat Barbie yang diperkenalkan 1968. Bahkan, di tahun 2023 Mattel memperkenalkan Barbie Down Syndrom pertama yang mematahkan jika cantik haruslah memiliki kulit putih, mata biru, dan tubuh yang sempurna seperti gambaran Barbie yang sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun