Mohon tunggu...
Abdullah Usman
Abdullah Usman Mohon Tunggu... Ilmuwan - sempat fakum, kini aktif kembali

Dosen agribisnis Unram, pengamat prilaku sosial keagamaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengatasi Rasa Malas dan Bosan

26 Mei 2022   14:12 Diperbarui: 26 Mei 2022   14:15 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang dicari?

Malas beramal soleh alias berbuat baik?  Waktu mau diisi dengan apa?  Makan, tidur, senada dengan liriknya lagu Mbah Surip 'bangun tidur, tidur lagi? 

Apa yang didapat dari perbuatan tidur?  Nikmat?  Pekerjaan yang dilakukan berulang kali sampai melebihi batas kepuasan, maka muncul rasa bosan dan jenuh atas perbuatan itu.  Demikian juga dengan makanan.  Seseorang yang mengidolakan daging ayam kampung sebagai makanan favoritnya, kalau itu terus menunya dari waktu ke waktu, maka akan tiba titik jenuh dan daging ayam kampung itu tidak enak lagi, sudah bosan.  Dikala studi Adelaide 1994-1997, mengundang teman makan di rumah, akan banyak yang datang kalau diinfokan bahwa menunya adalah ikan teri.  Padahal, sebelumnya saat di Indonesia, ikan teri umumnya merupakan menu makanan masyarakat berpendapatan rendah, malu disuguhkan dalam acara bergengsi.  Artinya, jika waktu ini diisi dengan makan, tidur, maka akan sampai pada titik jenuh, dan diri akan kecewa dengan kehidupan.  Padahal, kecewa adalah musuh yang harus dipengari, karena dia betolak-belakang dengan bahagia, yang merupakan dambaan hidup semua orang normal.

Jadi, arah dan fokus pikiran adalah, bagaimana cara mendapatkan kehidupan bahagia yang hakiki, dunia akhirat.  Rentang spektrum waktunya utuh: dunia akhirat.

Jawabannya ada pada dokumen panduan hidup karya Sang Pengatur Alam melalui risalah utusanNya, Al Qur'an dan hadis.

Dunia adalah ladang untuk ditanami, hasilnya dipanen sebagian kecil  di dunia, panen yang yang banyak, nanti di kahirat. Berarti,  agar diraih hidup bahagia dunia akhirat, harus berinvestasi, bercocok-tanam yang bekelanjutan tiad henti selagi hidup masih ada.  Makin banyak investasi, makin besar peluang mendapatkan hasil yang banyak (pahala) yang membuat hidup bahagia hakiki.

Tinggal pertajam pertanyaan, apa benar diri ini mau hidup bahagia?  Jika iya, dorong diri agar terus beremangat berinvestasi, melakukan amal soleh, berbuat baik sebanyak mungkin.  Sebaik-baik manusia adalah manusia yang berguna bagi dirinya dan bagi orang lain.            

Bosan?  relatif

Jurnalis yang menulis dan memuat tulisannya di media, jika itu terus pekerjaannya, apa lagi monoton, bosan.  Yang sholat lima kali sehari semalam, itu baru yang wajib, belum lagi yang sunat, monoton, bosan; yang mengaji, mengkhatamkan Al Qur'an dalam 3 hari, dari bangun sampai tidur baca Al Qur'an saja kerjanya, bosan.   Relatif, tidak semua kasus begitu.  

Bila cinta kepada mengaji sudah menghinggapi seseorang, maka dia tidak pernah merasa bosan, bahkan ketagihan, tidak mau berhenti, terus melakukan pekerjaan yang dicintainya itu.  Bagai kambing memakan daun muda, lezat rasanya, walau dihalau untuk pergi, kambing tetap berusaha untuk makan.   

Jadi poinnya, bagaimana menumbuhkn rasa cinta pada suatu amal perbuuatan.  Cinta letaknya dihati, tidak bisa dibeli.  Siapa yang kendalikan hati?  Maka kita harus tekun meminta kepada Yang mengendalikan hati.

Merasa enggan menyelesaikannya?

Waktu sudah banyak terpakai, tulisan belum selesai, belum sampai ending agar layak dibaca, maka enggan dan malas kembali menghinggap, apalagi tidak ada orang yang suruh menulis, tidak ada sangsinya jika tidak menulis.

Gap mindset, paradigma berpikir yang pamrih?  Mengerjakan sholat fardhu lima waktu, maka gugur kewajiban, terlepas dari dosa tidak menunaikan perintah dirikan sholat, nol dapatnya, papo,  belum meraih keuntungan dan bonus.  Amalan sunat merupakan media untuk mendapatkan pahala, keuntungan dan bonus.  Memang tidak ada dosanya kalau tidak dilakukan amalan sunat, namun tidak diperoleh pahala kalau tidak dilakukan. 

Begitu juga dengan menulis, memang tidak ada sangsinya kalau tidak menulis, tetapi tanpa menulis (yang berguna) tidak terbuka peluang untuk mendapatkan manfaat (pahala).  Sekarang terpulang kepada masing masing diri, mau berinvestasi atau tidak.  Masing masing pilihan jalan hidup punya konsekuensi.     

Kalau tulisan itu berhasil diupload, lalu berkenan dibaca khalayak, berguna membangun kapasitas pembaca, maka penulis puas, kan. Itulah yang dilakukan oleh produsen.  Mereka sibuk berupaya menghasilkan produk, dengan harapan produknya itu akan laku diterima pasar dan memberikan manfaat dan keuntungan.  Tidak ada orang yang suruh produsen membuat produk, dirinyalah yang punya kepentingan membuat produk agar dirinya menjadi berguna bagi dirinya dan bagi orang lain.

Idealnya, sekali duduk, tulisan jadi.  Kalaupun belum selesai, adzan dikomandangkan, maka break sholat dulu, makan dulu, maka segera kembali kepada pekerjaan yang belum selesai, garap sampai membuahkan dan layak muat di media.

Bagaimana jika ada pekerjaan mendesak dan merupakan kewajiban dan tugas yang dibebankan lembaga?  Minta petunjukNya agar diarahkan dalam menetapkan prioritas waktu yang tepat, serta jaga komitmen: kerja ikhlas, kerja cerdas, kerja keras, kerja tuntas.

Enggan membaca ulang?

Setiap kali membaca ulang tulisan yang sudah dibuat, ada saja ditemukan kata atau kalimat yang belum pas, baik karena salah ketik, maupun karena belum tepat bomposisi kata, komposisi kalimat dalam paragraf dan urutan paragraf.  Sama dengan enggan wudhu, saat batal.  Kesulitan dan derita karena menahan dan bersabar untuk berwudhu lagi setelah batal, tidak seberapa dibandingkan dengan manfaat posisi diri yang selalu terjaga wudhunya.  Begitu juga dengan tulisan.  Kesabaran membaca ulang dan melakukan koreksi atas kesalahan yang ditemukan tidak seberapa deritanya, dibandingkan dengan manfaat dan kepuasan yang diperoleh setelah dilakukan perbaikan kesalahan tersebut. 

Mengasah kepekaan rasa

Ada yang bilang, saya tidak merasa beda, ada wudhu atau tidak, biasa saja.  Ini terkait dengan kepekaan rasa.  Begitu juga menulis, atau menyelesaikan suatu pekerjaan.  Mestinya, ada puas yang dirasakan atas terselesaikan sebuah pekerjaan.  Ini adalah bagian penting yang harus terus dilatih, yaitu bahwa kita harus semakin pandai bersyukur atas terselesikannya pekerjaan.  'atas nikmat yang kamu dapat, hendaknya kamu sering menyebutnya (Al Qur'an).   

Orang yoga, misal, atau orang yang olah napas, atau olah batin, yang dilatih adalah mengasah kepekaan agar mampu merasakan ni'matnya tenang, ke luar masuknya napas, sentuhan angin sepoi sepoi, bunyi gemericik air, merdunya katak berkotek, burung berkicau, semua objek kehidupan ini memberikan nikmat masing masing.  Jadi kalau ada yang merasa sama saja maka peru terus berlatih mengasah kepekaan rasa. 

Maju kena, mundur kena, buah simalakama

Bekerja enggan; tidak bekerja, sedih karena tidak ada produksi;  Solusinya, bersabarlah dan teruslah melawan keengganan.  Keberhasilan ini akan menghilangkan rasa sedih dan diganti dengan rasa puas.  Sabar ada tiga cabang: (1) sabar dalam menjalankan perintah, (2) sabar dalam meninggalkan larangan, dan (3) sabar dalam menerima ketetapan Allah  

Wallahu a'lam, Bandega 26/05/22 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun