Gap mindset, paradigma berpikir yang pamrih? Â Mengerjakan sholat fardhu lima waktu, maka gugur kewajiban, terlepas dari dosa tidak menunaikan perintah dirikan sholat, nol dapatnya, papo, Â belum meraih keuntungan dan bonus. Â Amalan sunat merupakan media untuk mendapatkan pahala, keuntungan dan bonus. Â Memang tidak ada dosanya kalau tidak dilakukan amalan sunat, namun tidak diperoleh pahala kalau tidak dilakukan.Â
Begitu juga dengan menulis, memang tidak ada sangsinya kalau tidak menulis, tetapi tanpa menulis (yang berguna) tidak terbuka peluang untuk mendapatkan manfaat (pahala). Â Sekarang terpulang kepada masing masing diri, mau berinvestasi atau tidak. Â Masing masing pilihan jalan hidup punya konsekuensi. Â Â Â
Kalau tulisan itu berhasil diupload, lalu berkenan dibaca khalayak, berguna membangun kapasitas pembaca, maka penulis puas, kan. Itulah yang dilakukan oleh produsen. Â Mereka sibuk berupaya menghasilkan produk, dengan harapan produknya itu akan laku diterima pasar dan memberikan manfaat dan keuntungan. Â Tidak ada orang yang suruh produsen membuat produk, dirinyalah yang punya kepentingan membuat produk agar dirinya menjadi berguna bagi dirinya dan bagi orang lain.
Idealnya, sekali duduk, tulisan jadi. Â Kalaupun belum selesai, adzan dikomandangkan, maka break sholat dulu, makan dulu, maka segera kembali kepada pekerjaan yang belum selesai, garap sampai membuahkan dan layak muat di media.
Bagaimana jika ada pekerjaan mendesak dan merupakan kewajiban dan tugas yang dibebankan lembaga? Â Minta petunjukNya agar diarahkan dalam menetapkan prioritas waktu yang tepat, serta jaga komitmen: kerja ikhlas, kerja cerdas, kerja keras, kerja tuntas.
Enggan membaca ulang?
Setiap kali membaca ulang tulisan yang sudah dibuat, ada saja ditemukan kata atau kalimat yang belum pas, baik karena salah ketik, maupun karena belum tepat bomposisi kata, komposisi kalimat dalam paragraf dan urutan paragraf. Â Sama dengan enggan wudhu, saat batal. Â Kesulitan dan derita karena menahan dan bersabar untuk berwudhu lagi setelah batal, tidak seberapa dibandingkan dengan manfaat posisi diri yang selalu terjaga wudhunya. Â Begitu juga dengan tulisan. Â Kesabaran membaca ulang dan melakukan koreksi atas kesalahan yang ditemukan tidak seberapa deritanya, dibandingkan dengan manfaat dan kepuasan yang diperoleh setelah dilakukan perbaikan kesalahan tersebut.Â
Mengasah kepekaan rasa
Ada yang bilang, saya tidak merasa beda, ada wudhu atau tidak, biasa saja. Â Ini terkait dengan kepekaan rasa. Â Begitu juga menulis, atau menyelesaikan suatu pekerjaan. Â Mestinya, ada puas yang dirasakan atas terselesaikan sebuah pekerjaan. Â Ini adalah bagian penting yang harus terus dilatih, yaitu bahwa kita harus semakin pandai bersyukur atas terselesikannya pekerjaan. Â 'atas nikmat yang kamu dapat, hendaknya kamu sering menyebutnya (Al Qur'an). Â Â
Orang yoga, misal, atau orang yang olah napas, atau olah batin, yang dilatih adalah mengasah kepekaan agar mampu merasakan ni'matnya tenang, ke luar masuknya napas, sentuhan angin sepoi sepoi, bunyi gemericik air, merdunya katak berkotek, burung berkicau, semua objek kehidupan ini memberikan nikmat masing masing. Â Jadi kalau ada yang merasa sama saja maka peru terus berlatih mengasah kepekaan rasa.Â
Maju kena, mundur kena, buah simalakama
Bekerja enggan; tidak bekerja, sedih karena tidak ada produksi; Â Solusinya, bersabarlah dan teruslah melawan keengganan. Â Keberhasilan ini akan menghilangkan rasa sedih dan diganti dengan rasa puas. Â Sabar ada tiga cabang: (1) sabar dalam menjalankan perintah, (2) sabar dalam meninggalkan larangan, dan (3) sabar dalam menerima ketetapan Allah Â
Wallahu a'lam, Bandega 26/05/22Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H