Mohon tunggu...
Aprilia Paramitasari
Aprilia Paramitasari Mohon Tunggu... -

Common crowd

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bukan Melulu Soal Biaya, Tetapi Lebih Pada Keajaiban

20 Mei 2011   07:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:26 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhamdulillah saat ini sudah semakin banyak anak ajaib yang menjadi dukun yang dapat menyembuhkan orang sakit. Jadi kerjaan saya kan berkurang, he9.

Banyaknya pemberitaan di televisi mengenai kehadiran dukun-dukun ajaib sedikit banyak menyorot profesi yang memang sedang tersudut sepanjang dekade ini, dokter. Tak sedikit yang mencibir dokter melalui kalimat “sudah bolak-balik berobat ke dokter, tapi tidak sembuh-sembuh...ini baru datang sekali sudah bisa jalan” atau “dokter yang sekolahnya lama, kalah sama anak kecil”. Saya hanya bisa tersenyum. Cibiran ini masih diberi bonus statement “pengobatan medis sekarang ini mahal, makanya banyak orang yang larinya ke dukun atau pengobatan alternatif”. Yang terakhir ini malah membuat saya tertawa.

Kalau anda berpikir saya tersinggung karena apa yang dikerjakan oleh profesi saya yang tersertifikasi dan memiliki standar pelayanan dibanding-bandingkan dengan pengobatan alternatifdan atau dukun yang tidak tersertifikasi dan tidak memiliki standar pelayanan, anda salah. Kehadiran begitu banyak macam pengobatan alternatif dan dukun saya nilai justru memperingan kerja saya. Jadi paling tidak saya tidak perlu selalu membawa kabar buruk untuk pasien-pasien terminal. Karena setidaknya mereka masih memiliki harapan. Kalau ke dokter ngga bisa, kan masih ada pengobtaan alternatif... masih ada dukun juga... Karena yang terpenting untuk pasien-pasien terminal adalah harapan. Karena harapan itulah yang membuat mereka masih memiliki semangat hidup untuk bertahan di tengah progresivitas penyakitnya. Saya pribadi menilai, harapan akan datangnya keajaiban yang berupa kesembuhan atas penyakit yang sedang mereka derita itulah yang lebih banyak dijanjikan pengobatan alternatif ketimbang pengobatan medis dokter. Terlebih lagi karena biasanya metode yang dilakukan oleh pengobatan alternatif maupun perdukunan sering kali tidak serumit metode medis. Cukup diusap, dipijit, didoakan, bahkan disembur air, penyakit sudah hilang atau berpindah ke binatang. Jelas terpampang di iklan, tanpa suntikan tanpa operasi yang menyakitkan. Coba kita bandingkan dengan metode medis. Untuk menegakkan diagnosa saja seringkali harus berulang kali ambil darah, bahkan ada yang sampai ambil sampel sumsum tulang, di paparkan dengan radiasi ketika di Rontgen atau CT-scan, di masukkan zat-zat kontras ke dalam tubuh, disuruh minum banyak-banyak tanpa boleh kencing sebelum menjalani USG, belum lagi jika sudah tegak diagnosa perlu dioperasi, atau menjalani kemoterapi yang sangat merepotkan dan menyakitkan serta penuh penderitaan dan macam-cama lainnya yang tentu saja, jangankan untuk dilakukan, dibayangkan saja ngeri. Jadi hal apalagi yang menimbulkan minat yang lebih besar ketimbang “ajaib tanpa banyak kesulitan”.

Masalah biaya pun seringkali dijadikan kambing hitam kenapa masyarakat enggan berobat ke dokter atau pusat kesehatan. Saya akan mengambil satu contoh usang yang pernah saya sematkan sebagai status di jejaring sosial yang saya ikuti. Suatu hari datang seorang pasien ke poli umum sebuah rumah sakit pemerintah tempat saya pernah mengabdi. Seorang perempuan usia produktif menunjukkan muka dengan koreng penuh dengan ulat. Dokter yang berada di poli umum tersebut tentu saja kaget bukan main. Bagaimana bisa seorang wanita membiarkan wajahnya dijamah segitu banyak ulat yang menjijikkan? Perempuan tersebut bertutur bahwa luka di wajahnya awalnya luka kecil saja, tetapi karena enggan, alih-alih ke puskesmas dan rumah sakit dia memilih berobat ke dukun kampung. Kemudian dukun tersebut memberikan kepadanya obat-obatan atau ramuan herbal yang harus dioleskan ke lukanya beberapa kali sehari. Tetapi setelah seminggu, bukannya membaik lukanya menjadi semakin busuk dan malah dipenuhi ulat. Sehingga kemudian dia datang ke poli umum rumah sakit waktu itu. Ketika ditanya, berapa biaya yang harus dia bayarkan ke dukun kampung tersebut untuk ramuan herbal mujarabnya itu, dia menjawab dua puluh ribu rupiah. Anda tahu berapa biaya yang harus dia keluarkan jika dia sedari awal datang ke rumah sakit untuk berobat? TIDAK ADA alias GRATIS!!!! Karena seluruh penduduk di kabupaten tempat rumah sakit tersebut berdiri, untuk pengobatan medis dasar dan menengah mereka tidak dipungut biaya sepeser pun. Dan entah berapa biaya yang harus dia keluarkan untuk merekonstruksi ulang wajah perempuan tersebut pasca tragedi ulat berdarah itu, saya sudah tidak mengikuti perkembangannya.

Kali lain ada seorang pasien dengan penyakit kencing manis yang dibawa ke UGD rumah sakit dalam kondisi kesadarn menurun. Ketika dilakukan pemeriksaan gula darah, hasilnya fantastis, mencapai sekitar 750 mg/dl (mohon maaf saya tidak ingat angka pastinya, red). Ketika saya bertanya apakah pasien rutin mengkonsumsi obat untuk kencing manis? Keluarga pasien menjawab iya. Ketika sayabertanya nama obatnya apa? Mereka menjawab tidak tahu namanya tetapi menyebutkan bahwa yang dikonsumsi adalah obat herbal sembari mengeluarkan botol kecil wadah obat yang dimaksud. Ketika saya bertanya berapa harga obat herbal tersebut, mereka menjawab harganya sekitar beberapa ratus ribu rupiah per botol. Saya geleng-geleng kepala. Mereka lebih memilih membeli obat herbal berharga sekian ratus ribu ketimbang datang ke Puskesmas secara rutin tanpa dipungut biaya sepeserpun. Ketika saya bertanya kenapa memilih beli obat herbal tersebut bukannya datang ke puskesmas untuk periksa? Kan gratis? Dengan entengnya mereka menjawab, repot kalau harus sering kontrol ke puskesmas, harus minum obat teratur, dan masih disuruh tidak boleh makan ini itu. Kalau minum obat herbal tersebut boleh makan apa saja. Dieng!!!!! Meminjam ungkapan dari animasi Suro&Boyo “Rasane Kupingku Koyok Disogrok Tugu Pahlawan”.

Jadi saya rasa tidak sepenuhnya tepat jika masalah biaya dijadikan kambing hitam kenapa masyarakat lebih memilih berlari sekencang-kencangnya menuju pengobatan alternatif dan dukun ke timbang berjalan ke arah pusat kesehatan medis.

Di lain pihak saya juga tidak memungkiri bahwa biaya kesehatan medis memang tidak murah. Bagaimanapun berusaha ditekan tetap saja hampir tidak mungkin dibuat seratus persen gratis untuk semua tingkatan pengobatan medis. Coba kita bayangkan bersama, jika penelitian untuk menemukan obat baru itu memerlukan biaya, apakah mungkin kemudian obat yang ditemukan melalui penelitian yang memakan biaya tersebut diberikan dengan cuma-cuma? Jika pembuatan spuit dan jarum injeksi itu melibatkan pembayaran upah buruh dan karyawan, biaya operasional pabrik, dan biaya bahan baku, apakah masuk akal jika kemudian spuit dan jarum injeksi tersebut diberikan gratisan? Apalagi jika kita hidup di negara yang keuangannnya carut marut macam Indonesia ini, yang spuit dan jarum injeksi saja harus diimpor paling tidak dari Cina. Belum lagi jika kita berharap praktisi medis bersedia dibayar murah atau bahkan tidak dibayar setelah mereka mengeluarkan biaya pendidikan yang tidak sedikit, memeras otak dan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menekuni bidang ilmu tersebut. Secara logika saja tidak masuk akal. Tidak usah bicara soal profesi dan tingkatan pendidikan... bahkan kalaupun kita tidak sekolah kemudian mendapatkan pekerjaan, apakah kita bersedia bekerja tanpa dibayar?

Coba kita banyangkan, seandainya tragedi ulat berdarah tersebut terjadi karena ulah praktisi medis misalnya, saya yakin pasti akan lancar mengalir di pemberitaan di berbagai media dan akan segera terseret ke meja hijau sebagai kasus mal praktik.

Tak jarang saya medengar celetukan semacam, kemarin dibawa ke dukun ngga papa, sekarang dibawa ke dokter malah mati, he9. Bagaimana tidak? Ketika di bawa ke dukun dalam kondisi hipertensi (tekanan darah tinggi, red) saja, setelah tak terobati oleh dukun kemudian di bawa ke dokter dalam kondisi stroke. Tapi kan orang tidak tahu hal seperti itu, yang mereka tahu, datang ke dokter malah mati. Dokter lagi.. dokter lagi... mengutip kata-kata Mail bin Ismail “Dah terlambat.. kan aku dah kate... Iyelah... Aku..juga” he9.

Seperti halnya sebagian dari kita akan lebih memilih makan mi instan ketimbang harus repot-repot memasak nasi dan lauk pauk terlebih dahulu, begitupun dengan dunia kesehatan. Mi instan dimasak 3-5 sudah siap santap, bisa memilih rasa pula. Dari kari ayam, soto, sampai rasa ayam betutu. Coba kalau masak nasi sendiri terus masak kari ayam, soto, atau ayam betutu sendiri.. repot boy... meskipun hasil akhirnya yang merepotkan tersebut justru lebih sehat untuk badan kita dalam jangka waktu panjang ketimbang yang tidak repot di atas. Satu kata kuncinya, instan.

Jadi, apakah salah berobat ke pengobatan alternatif? Siapa yang bilang? Tulisan ini tidak dibuat untuk menyudutkan dukun atau pengobatan alternatif, hanya sekedar memaparkan fakta dan menepis anggapan bahwa alasan utama masyarakat lebih cenderung kepada pengobatan alternatif adalah biaya. Karena itu tidak sepenuhnya benar.

Berarti yang memilih pengobatan alternatif atau dukun itu orang-orang yang tidak berpendidikan? Hadeh.. siapa pula yang bilang? Saya bahkanberani bertaruh, bahwa ada juga oknum praktisi medis dan orang berpendidikan yang lebih memilih pergi ke pengobatan alternatif dan atau dukun ketimbang pergi ke dokter.

Medis atau Alternatif, Dokter atau Dukun, itu semua adalah pilihan kita masing-masing. Tetapi, jangan karena alasan yang sebenarnya begitu personal membuat kita mengkambing hitamkan biaya sebagai penyebab utama. Apalagi sampai menyudutkan profesi Dokter. Dokter pun hanyalah perantara. Tugas Dokter bukan menyelamatkan bukan juga menyembuhkan pasien, tetapi berupaya sebaik mungkin untuk membantu pasien selamat atau sembuh dari penyakitnya sesuai dengan standar profesi dokter. Karena keselamatan dan kesembuhan itu di tangan Yang Maha Memiliki Hidup, Allah. Yang jelas, Dokter Bukan Tuhan yang mampu dan berhak menjajikan keajaiban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun