Mohon tunggu...
Lizz
Lizz Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Now only @ www.fiksilizz.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Atas Nama Harumnya Cinta

7 Juli 2014   15:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:10 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14046977781406002099

[caption id="attachment_314386" align="aligncenter" width="280" caption="Sumber gambar : www.maitreyavoice.com"][/caption]

Ibu, aku tahu kau biasanya membaca tulisan-tulisanku. Kali ini aku berharap kau pun membaca tulisan ini. Berderet tulisan yang membuatku menangis ketika harus menyusun huruf-hurufnya. Berderet tulisan yang mampu membuat hatiku remuk ketika harus menuangkannya pada ruangan ini.

Ibu, tahukah kau bahwa bidadari cantikmu sudah berkali-kali menangis? Tentang diammu. Tentang dinginmu. Tentang lukanya. Tentang hatinya. Tentang harapnya. Tentang letihnya. Tentang potongan-potongan masa lalu saat dia mendapatkan luka parah dalam hidupnya.

Ibu, hatiku seolah menguap dan hilang ketika dia mengatakan padaku dalam derai airmatanya. “Nilai 100 itu harus. Nilai 90 itu limit. Nilai 80 itu aib. Nilai di bawah 80 adalah bencana.” Aku tahu umpatan dan makian apa yang kau teriakkan padanya ketika nilainya ‘cuma’ 90. Aku tahu kemana tanganmu mendarat dan dalam bentuk apa ‘pendaratan’ itu ketika nilainya ‘cuma’ di bawah 90. Aku tak bisa menuliskannya. Aku tak sanggup.

Lalu ke mana perginya hatimu? Tidak ingatkah kau akan darahmu yang mengalir dalam setiap lorong pembuluh darahnya? Tidak ingatkah kau akan napas yang kau bagi untuknya melalui sebuah kabel penghubung bernama plasenta? Tidak ingatkah kau bahwa dia sama sekali tidak pernah minta untuk dilahirkan?

Aku tahu aku cuma seorang ibu biasa yang mungkin tidak secerdas kau. Aku tahu aku cuma seorang ibu biasa dengan pengalaman minim baru berjalan 11 tahun sebagai seorang ibu. Sungguh jauh jauh jauh di bawahmu.

Tapi, Ibu, ke mana perginya nuranimu? Ketika dia membutuhkan hiburan, kau merampas hiburan itu. Ketika dia membutuhkan pelukan hangat, kau entah melakukan hal lain apa. Ketika dia menginginkan senyummu, kau bahkan menoleh pun tidak. Lalu apa arti dirinya bagimu?

Ketika setiap prestasi yang dia torehkan kau pandang sebagai kewajiban, lalu sudahkah kau melakukan kewajibanmu? Untuk menyiraminya dengan kasih sayang yang benar? Untuk merengkuhnya dalam cinta tanpa syarat? Untuk memperhatikan setiap dahaga jiwanya? Untuk memberinya semangat dan penghargaan? Apakah dengan memberinya makan tiap hari maka kewajibanmu sudah tunai?

Sakit itu terasa sampai ke dalam setiap tetes darah dan sumsum tulangnya. Dan bukan hanya aku saja yang bisa turut merasakannya. Tak perlu hati selembut kapas untuk bisa tersentuh oleh goresan-goresan luka itu. Kau pun sebenarnya tahu.

Ibu, apakah lantas dia membencimu? Sama sekali tidak, Bu. Dia hanya merindukan senyum dan belaian jemarimu. Ketika dia mengatakan bahwa merindukanmu itu sama seperti menggenggam asap atau air, aku seperti meleleh dalam kehancuran tak bertepi. Menggenggam asap atau air, sesuatu yang sia-sia. Sedalam itukah kau tikamkan belati untuk melukai jiwa putihnya?

Ibu, tidakkah ada setitik saja cinta masih tersisa dalam hatimu? Ijinkan seseorang membantumu menemukan kembali titik cinta itu. Seseorang yang sangat ahli dalam menyelami keinginan jiwamu.

Ibu, aku tahu aku tak punya hak apa-apa untuk memintamu melakukan apa pun. Aku bukan siapa-siapa. Tapi sekali lagi, aku cuma seorang ibu, yang pernah juga menjadi seorang anak. Kurasa kau pun juga sama sepertiku. Kurasa kau pun sama dengan semua orang dewasa di dunia ini yang pernah melalui masa kanak-kanak dan remaja. Bila memang masa lalumu menyakitkan, apakah adil kalau kau menorehkan juga rasa sakit itu dalam kehidupan bidadari cantikmu?

Tak pernah ada kata terlambat untuk sebuah permintaan pertolongan. Kecuali bila memang dia sudah terlalu remuk untuk bisa disusun lagi. Aku khawatir waktu itu akan segera datang kalau kau tak mau berubah.

Ibu, maafkan aku bila terpaksa harus memainkan jemariku di atas keyboard laptop untuk menuliskan semua ini. Aku sudah tidak tahan lagi melihat semuanya. Bila kau memintaku untuk tak peduli, aku bisa melakukannya. Tapi sungguh mati hati nuraniku berontak.

Atas nama harumnya cinta, berikan cinta itu pada buah hatimu. Setitik saja, setulusnya, maka dia akan memelukmu jauh lebih erat daripada yang pernah kau bayangkan. Karena sesungguhnya dia sangat menyayangimu. Setidaknya, ada seseorang yang sudah mengajarinya untuk mempertahankan sisa cinta itu.

Ini bukan tentang aku, Ibu. Ini tentang lembaran hidupmu. Ini tentang luka dan cinta bidadari cantikmu...

* * * * *

(s.e.m.a.t.a.f.i.k.s.i)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun