Mohon tunggu...
Anifatun Mu'asyaroh
Anifatun Mu'asyaroh Mohon Tunggu... freelance -

Pengangguran yang gemar berkhayal. Penulis pemula-pemalu. Pembaca diam-diam. Saya cinta fiksi 💚...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Surat (1): Surat Rindu untuk Kau yang Tak Pantas Dirindu

22 Februari 2016   04:58 Diperbarui: 22 Februari 2016   14:02 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hey, apa kabar?

Aku ingin menyampaikan kabarku, bahwa aku baik-baik saja di sini. Aku mendapatkan asupan makanan yang cukup, hiburan dan rekreasi yang tidak kurang, porsi tidur yang justru berlebihan dan kebebasan yang cukup tak pernah membuatku ingin melarikan diri dari dalam kamar kost-an. Aku sungguh termanjakan dengan kehidupanku saat ini, meskipun kuakui...aku mulai was-was dengan nasib studiku.


Kapan terakhir kali kita berjumpa?

Apakah ketika pesta kembang api tahun lalu? Oh, tidak. Tidak mungkin, aku ingat betul kalau kita batal menontonnya bersama. Kau bilang kau ingin berlayar pulang dan aku tidak mungkin memintamu untuk tetap menemaniku. Padamu aku menyebut nama seseorang yang kita sama-sama kenal, "Aku akan pergi ke pesta kembang api itu bersamanya." Berbohong? Pada saat mengatakannya, aku belum yakin jika aku sedang berbohong karena memang pada awalnya dia akan menontonnya juga. Kukira, aku akan berjumpa dengannya di pesta itu. Namun, ternyata, kami tidak saling lihat batang hidung masing-masing. Alhasil, aku pun menonton sendirian. 


Mungkin, kau tidak tahu, aku beberapa kali bercerita pada teman kerjaku bahwa aku akan menontonnya bersamamu sehingga aku menolak untuk pergi bersamanya dan satu orang yang lain. Aku sedikit kesal sekaligus malu ketika kau bertanya, "Jadi datang? Dengan siapa? Kirimi aku fotonya." Jika aku menjawab jujur tentang aku yang datang sendirian, aku akan malu karena aku semacam telah berbohong dan terkesan ngotot keterlaluan untuk datang ke acara yang penuh orang itu, sendirian. Jika aku tidak menjawab jujur, aku tidak nyaman. Akhirnya, aku menjawab bahwa aku sendirian sembari menyisipkan pesan ajakan (tanpa harapan) agar kau datang turut menyaksikan karena pestanya baru akan dimulai dalam setengah jam. Sudah pasti kau menolak. Namun, yang membuatku kesal adalah kau sama sekali tidak bersimpati padaku yang betul-betul sendirian. Tahu begitu, aku mengajak orang yang lain juga, tak hanya kau.


Jadi, kapan terakhir kali kita berjumpa yang sebenarnya berjumpa? 

Sepertinya, perjumpaan terakhir kita justru setelah pesta kembang api itu, di sebuah pesta yang lain, di pesta hajatan seseorang, yang sama-sama tidak kita kenal. Saat itu, kau bilang bahwa kau baru saja mendaki bukit yang tak tinggi bersama beberapa orang temanmu. Kalian tak jalan kaki, tapi ini bukan tidak melelahkan juga, katamu. Aku sudah tahu tentang perjalananmu itu dari seorang temanmu, maka aku hanya menjawab, "Aku tahu kok!" dan berakhirlah semua percakapan kita. Hari itu, kita tidak hanya berdua dalam menyaksikan sebuah perayaan sakral, peresmian menyatunya dua insan yang penuh cinta itu. Di saat itulah aku mencurigai satu hal bahwa kau sedikit mampu membaca gerak-gerikku. Sejak itulah, aku ingin menjaga jarak agar kau tidak mampu membacaku, agar aku tidak dapat memunculkan tanda-tanda padamu. Namun, aku bukan penepat janji yang baik. Aku masih belum mampu menjaga tekadku ini dengan baik, sebaik kau, yang justru telah mampu menjauhkan dirimu dari "ini" dengan baik, untuk mendekatkan diri dengan hal lain yang lebih baik dan menarik dari "ini", katamu. 


Mengapa rindu?

Ini adalah pertanyaan yang akan sulit untuk kujawab. Aku tidak memiliki alasan yang pasti, yang mendasari segala perbuatan tidak sopanku, merindukanmu, selama ini. Satu hal yang jelas adalah karena aku "hanya" penasaran. Aku hanya ingin tahu apa yang sedang kau pikiran dan lakukan; hanya ingin memastikan kau sedang dalam kondisi superbaik dan tidak kesepian; hanya menginginkan kau tidak hilang dan membenci keadaan yang timbul akibat apa yang sudah terjadi dan kau jalani di masa-masa itu; hanya ingin tahu bagaimana kabarmu. Apakah ini pantas disebut sebagai sekadar "hanya"? Percayalah, aku hanya merindukan keceriaanmu. Kerendahan hatimu yang kau gunakan untuk membalut kepandaianmu dan menyajikannya dalam humor dan tawa adalah hal yang tak ingin kulewatkan ketika tengah berada di satu tempat yang sama denganmu. Kukira itu ada padamu yang dulu. Itulah yang kurindukan. Keceriaanmu yang kau tampakkan pada semua orang. 


Mengapa kau tak pantas dirindu?

Ini pertanyaan sangat mudah, tetapi aku sedikit tidak rela untuk menyuarakan atau menuliskannya. Aku tengah merindukan seseorang yang bahkan dia sendiri tengah merindukan orang lain dalam waktu cukup lama; yang bahkan dia sendiri tidak mengizinkan dirinya untuk dirindukan oleh orang lain; yang bahkan dia sendiri tak pernah merindukan orang-orang yang selalu berada di sampingnya. Bukankah ini sebuah rindu yang tak terbalas? Bukankah sebenarnya kau adalah sosok yang tak pantas untuk kurindukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun