Mohon tunggu...
Adelia Tri Pramudya M
Adelia Tri Pramudya M Mohon Tunggu... -

travelling, love and happiness follow me at @dhelauriel

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

5 Broken Cameras: Karya Seorang Petani di Ajang Oscar

24 Februari 2013   08:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:47 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="900" caption="5 Broken Cameras (Poster: meetinthelobby.com)"][/caption]

Beberapa hari menjelang perhelatan Oscar dimulai, ada sebuah berita yang sangat menarik perhatian saya untuk membacanya. Salah satu nominator Oscar tahun ini berasal dari Negara Palestina yang sudah 30 tahun berperang dengan Israel. Namun yang lebih mengherankan lagi, film ini dibuat oleh Emad Burnat seorang petani dari Afganistan dan Guy Davidi dari Israel. Sungguh bertolak belakang dari apa yang saya fikirkan terhadap kedua Negara tersebut.

Film ini sendiri dimulai ketika anak Emad Burnat, Gibreel, lahir pada tahun 2005 bersamaan dengan pembangunan tembok pemisah Bill’in di desanya. Emad Burnat yang memang mempunyai hobi untuk merekam apapun, mendokumentasikan kejadian nyata yang dialami oleh dirinya dan tetangganya selama lima tahun dalam menghadapi konflik antara palestina dan Israel. Dalam kurun waktu lima tahun, lima kameranya telah hancur dan bahkan salah satu diantaranya masih menyimpan sebutir peluru dari tentara Israel. Dalam filmnya dia berkata “I know they may knock my door at any moment. But, I’ll just keep filming. Because it help me confront life and survive.”

Sutradara film yang berbudget 47 miliar ini, Guy Davidi, berkata bahwa kerjasamanya dengan Emad Burnat hanya sebatas antara sesama teman. Memperlihatkan bahwa Israel dan Palestina bekerja sama, tidak akan menyelesaikan masalah (peperangan). Justru saat ini, terjadi perebutan saat Negara Israel meng-klaim bahwa negaranya yang telah membuat film tersebut. Tentunya orang Palestina tidak terima dengan hal tersebut, mereka berkata bahwa film tersebut adalah karya dari warga negara mereka. Walaupun dana untuk pembuatan film tersebut berasal dari orang Israel dan Perancis.

Terlepas dari perseteruan tersebut, film ini sudah berhasil memenangkan beberapa penghargaan seperti World Cinema Documentary Directing Award pada Sundance Film Festival tahun 2012 dan the Best Documentary award tahun lalu pada Jerusalem Film Festival. Film dokumenter yang masuk dalam nominasi di ajang Oscar untuk kategori film dokumenter terbaik ini untuk kali pertama diputar di Palestina, pada Senin (28/1).

"Film ini dipersembahkan kepada mereka yang telah menjadi korban dan martir. Dan film ini lebih besar daripada saya juga daripada desa Bil'in. Lebih besar bahkan daripada publik yang mengikuti prosesi Oscars, dan mereka semua akan tahu perjuangan kami di sini," ujar Burnat seusai preview film ini di Tepi Barat, Palestina seperti dikutip Reuters, Rabu (30/1). Film ini mampu menggugah semangat orang-orang di Palestina dan mereka berharap agar seluruh dunia tahu perjuangan mereka untuk memperebutkan kemerdekaan. Sebagai bangsa yang pernah di jajah, seharusnya Indonesia mampu mengapresiasi film ini dan turut membantu Negara Palestina yang masih menderita diantara negara-negara yang menjunjung tinggi kemerdekaan.

Film 5 Broken Cameras akan bersaing dengan empat nominator kuat lainnya, seperti The Gatekeepers yang menceritakan tentang konflik selama satu dekade di Timur Tengah yang diamati oleh para pemuka Israel.

Beberapa hari setelah mendapat undangan dari The Academy Awards untuk menghadiri ajang penghargaan Oscar, Burnat membawa keluarganya ke Amerika. Namun malangnya, mereka sempat ditahan oleh pihak imigrasi di Bandara Udara LA karena mereka tidak percaya bahwa seorang warga Negara Palestina mampu menembus ajang Oscar. Michael Moore, sutradara film dokumenter AS, "berkicau" pada akun Twitter-nya, @MMFlint, bahwa Burnat mengontaknya sesudah dihentikan di bandar udara internasional tersebut.

"After 1.5 hrs, they decided to release him & his family & told him he could stay in LA for the week & go to the Oscars. Welcome to America," tulis Moore. "It's nothing I'm not already used to," he told me later. "When u live under occupation, with no rights, this is a daily occurrence," tulis Moore juga. (Dhela Auriel)

Diolah dari berbagai sumber

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun