Mohon tunggu...
Aurellia Virgie Andjani
Aurellia Virgie Andjani Mohon Tunggu... Editor - Student

An undergraduate Dutch Studies student at Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kontroversi Beschuit met Muisjes: antara Warna Tradisi dan Suara Modernitas

17 Juli 2024   11:59 Diperbarui: 17 Juli 2024   12:01 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: blackbirdsfeathers

Beschuit met Muisjes adalah salah satu tradisi Belanda yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Hidangan ini terdiri dari roti kering yang disebut ‘beschuit’ dan di atasnya ditaburi ‘muisjes’ atau adas manis berlapis gula dengan warna merah muda atau biru. Beschuit met muisjes biasa disajikan untuk merayakan kelahiran buah hati dengan warna yang mencerminkan jenis kelamin sang bayi.

Tradisi Beschuit met Muisjes dimulai pada abad ke-17 dan masih dipertahankan hingga saat ini. Adas manis diyakini dapat merangsang produksi ASI yang pada saat itu sangat dibutuhkan karena hampir tidak ada alternatif lain jika produksi ASI terhambat.

Kampanye pemasaran yang dilakukan produsen muisjes, De Ruijter, membuat tradisi ini mendapatkan popularitas nasional pada tahun 1938. Saat itu, De Ruijter mengirimkan satu kaleng besar muisjes berwarna oranye ke Istana Soestdijk sebagai hadiah kelahiran Putri Beatrix.

Selain dianggap sebagai simbol kesuburan, adas manis dipercaya dapat membantu melindungi anak yang baru lahir dari roh jahat dan penyakit. Pemberian hidangan ini kepada tamu kunjungan bersalin juga melambangkan kebahagiaan dan keberuntungan.

Meskipun tradisi ini sangat dihargai, terdapat kontroversi yang muncul di zaman modern terutama terkait dengan isu gender. Penggunaan warna muisjes yang mencerminkan jenis kelamin bayi menjadi sorotan karena berkaitan dengan stereotip gender.

Warna merah muda untuk bayi perempuan dan biru untuk bayi laki-laki dianggap memperkuat pembagian gender tradisional yang sudah ketinggalan zaman dan menetapkan identitas gender sejak dini. Penggunaan warna berdasarkan gender ini pun menuai kritikan karena dinilai tidak mendukung upaya menuju kesetaraan gender.

Di sisi lain, masyarakat yang masih ingin mempertahankan tradisi ini menganggap penggunaan warna menjadi cara yang menyenangkan dan tradisional untuk merayakan kelahiran bayi secara kultural.

Sebagai respons terhadap kritik tersebut, beberapa orang telah mencoba memodifikasi tradisi ini agar lebih sesuai dengan nilai-nilai modern. Misalnya, ada yang mulai menggunakan warna-warna netral atau pelangi untuk menghiasi muisjes sebagai upaya mengurangi stereotip gender.

Seorang pengusaha, Olaf Ouwerkerk, memperkenalkan muisjes tanpa warna gender tradisional, melainkan warna-warna yang mewakili kota di Belanda. Warna hijau dan putih untuk anak-anak yang lahir di Rotterdam, kuning dan hijau untuk bayi-bayi di Den Haag, serta merah, putih, dan hitam untuk bayi-bayi di Amsterdam.

Sumber: RTL.nl
Sumber: RTL.nl

Hal ini memperlihatkan bagaimana tradisi dapat dipengaruhi oleh isu-isu sosial yang lebih luas, serta bagaimana masyarakat menafsirkan dan mengadaptasi konsep-konsep gender dalam konteks budaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun