Mohon tunggu...
Aurellia Virgie Andjani
Aurellia Virgie Andjani Mohon Tunggu... Editor - Student

An undergraduate Dutch Studies student at Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Resensi Novel Kondensasi Karya Poppy D. Chusfani: Menyusutkan Hidup melalui Tetesan Makna

21 Desember 2023   05:21 Diperbarui: 15 Juni 2024   10:00 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber oleh Gaelic Matters

“Fight, don't flight. Take contol. There's no victory without a fight.”

Keseluruhan isi novel “Kondensasi” karya Poppy D. Chusfani seolah tergambarkan melalui quotes tokoh dalam novel tersebut. Tentang bagaimana mereka harus berani melawan rasa takut dan berdamai dengan keadaan masing-masing yang tentu tidaklah mudah. Cerita menarik yang dibungkus melalui genre misteri-horor ini seakan membisikkan bahwa tak masalah untuk memiliki rasa takut. Tentu hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar bagi siapapun, tetapi jangan membiarkan rasa takut menelan dirimu.

Novel “Kondensasi” diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada April 2023 lalu dengan total 168 halaman. Novel ini bercerita mengenai Aislin yang memiliki kemampuan untuk menyerap berbagai emosi dari orang lain. Aislin pun mendirikan tembok dalam hatinya agar tidak mudah terpengaruh dengan berbagai emosi negatif. Namun, tuntutan pekerjaan mengharuskan Aislin menyepi ke pulau pribadi bersama empat orang rekannya. Tak hanya terjangan emosi rekan-rekannya yang membuat Aislin kewalahan, sesuatu bangkit di pulau tersebut dan mengusik mereka. Aislin tidak tahu apakah kewarasannya bisa bertahan. Novel ini menarik untuk dibaca karena mengangkat suatu mitologi Irlandia, yakni Banshee. Konon katanya,

“When you see or hear a banshee, something terrible is going to happen or someone is going to die.” (bag. 6)

Sumber oleh Gaelic Matters
Sumber oleh Gaelic Matters

Kepiawaian Poppy menggambarkan keadaan pulau yang terisolasi dan atmosfer kabut yang mencekam berhasil membuat adrenalin pembaca ikut terpacu bersamaan dengan ketegangan para tokoh. Mulai dari pemandangan yang dilihat Aislin di cermin atau bagaimana frustasinya Citra ketika bajunya bersimbah darah. Puncaknya adalah ketika Banshee menampakkan diri karena berhasil memakan ketakutan mereka. Aislin menyaksikan sulur-sulur kabut berwujud jemari bercakar menyelubungi mereka semua dan bahkan mencekik tenggorokan teman-temannya.

“Suara itu memanggil, menggodanya untuk bergabung dengan ayahnya, menggodanya untuk menyerah, tertawa parau penuh kepuasan sinting dan kemenangan.” (bag. 10)

Bahasa yang digunakan adalah bahasa informal sehari-hari sehingga cerita tidak terkesan kaku dan membosankan.

Hullo, Aislin. Just checking if you’re all right. I miss you. Call me when you can.
Hi Geralt. I’m great. Been working. Call you next week.
(bag. 2)

Alur maju-mundur yang dikemas dengan apik banyak menyelipkan adegan flashback tokoh di tengah situasi masa sekarang. Namun, cara Poppy melakukan perpindahan alur tidak membuat pembaca menjadi bingung sehingga pembaca dapat mengikuti jalan cerita dengan baik. Pembaca juga tidak dibuat bosan karena Poppy sukses membangun excitement pembaca sehingga dapat meresapi sekaligus menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Pembaca bahkan seolah ikut berpetualang bersama dengan Aislin.

Penggambaran tokoh sangat beragam dan terkesan menyenangkan. Sebagai makhluk sosial, manusia hidup berdampingan antara satu dan lainnya dengan beragam karakter. Sama seperti dalam novel “Kondensasi”, karakter setiap tokoh yang berbeda-beda memberikan warna untuk jalan cerita. Aislin yang judes dan menutup diri diimbangi dengan karakter Rama yang tengil dan ceria. Setiap karakter tidak digambarkan sempurna, melainkan memiliki kekurangan masing-masing layaknya manusia sebenarnya.

Namun, mereka menunjukkan character development yang baik sebelum cerita berakhir. Aislin yang tertutup dan membentengi diri dari sekitar, berubah menjadi sosok yang lebih terbuka. Rama yang di awal cerita dianggap sebagai ‘tuan muda’ dan tingkahnya menyebalkan, ternyata adalah orang yang perhatian dan juga dewasa. Citra yang sebelumnya menyimpan dendam kesumat terhadap Uksan, akhirnya bisa berdamai dengan keadaan dan berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Begitu pula dengan tokoh lainnya.

Menjelang akhir novel, sayangnya pembaca dapat menebak bagaimana cerita akan berakhir sehingga excitement yang dari awal berhasil dibangun oleh penulis menjadi hancur. Cerita juga terkesan tanggung karena penulis seolah terburu-buru dalam menulis ending.

Meski demikian, “Kondensasi” bukan sekadar kisah mengenai penyusutan, melainkan juga perluasan makna dan penemuan diri di tengah kekacauan psikologis. Sebuah perjalanan batin yang memukau dan mengusik keheningan yang tersembunyi di balik emosi manusia.

Buku ini menyuguhkan perjalanan emosional dan intelektual yang disajikan melalui keindahan penyusutan bahasa dan narasi. “Kondensasi” memberikan pandangan baru tentang kompleksitas kehidupan yang diuraikan menjadi kata-kata yang sederhana, tetapi dalam. Membiarkan kita menghargai setiap detik dalam tetesan makna yang membentuk perjalanan kita. Pembaca diajak untuk merenung, tertawa, dan terkadang menangis. Setiap cerita menjadi tetesan yang berdampak, seolah mengajak kita untuk mempertimbangkan makna yang lebih mendalam di balik setiap momen singkat dalam kehidupan kita.

Tertarik untuk membaca?

Resensi oleh: Adrina Ramadhani & Aurellia Virgie Andjani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun