Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar nasihat untuk "tetap positif," "ambil hikmahnya," atau "jangan menyerah!" Walaupun niatnya baik, dorongan ini bisa menjadi toxic positivity jika mengabaikan emosi negatif yang juga penting untuk dirasakan. Toxic positivity adalah dorongan untuk selalu tampak bahagia atau berpikir positif, meski sebenarnya perasaan yang kita alami lebih kompleks. Alih-alih membantu, toxic positivity dapat membuat kita merasa tidak diperbolehkan untuk merasakan emosi negatif, yang justru berdampak buruk.
Berikut adalah cara mengenali toxic positivity, perbedaan dengan sikap positif yang sehat, dan tips untuk merespons emosi secara bijak.
1. Apa itu Toxic Positivity?
Toxic positivity terjadi ketika seseorang, baik diri sendiri atau orang lain, berusaha menutupi emosi negatif dengan berpura-pura bahagia atau dengan menekankan sisi positif secara berlebihan. Hal ini sering dilakukan agar orang merasa lebih baik, tetapi dalam jangka panjang dapat menyebabkan stres dan perasaan tidak autentik.
Contoh-contoh toxic positivity yang umum antara lain:
* "Jangan sedih, semuanya akan baik-baik saja."
* "Kamu harus bersyukur, masih ada yang lebih menderita."
* "Jangan pikirkan yang buruk, ambil sisi positifnya saja."
Kalimat-kalimat ini terdengar menyemangati, tetapi sebenarnya dapat membuat seseorang merasa bahwa perasaannya tidak valid atau tidak layak untuk diekspresikan.
2. Perbedaan Sikap Positif dan Toxic Positivity