Salah satu mata kuliah di Kriminologi yang bagi saya menarik dan sangat relevan dengan peran saya sebagai pendamping adalah Kriminologi Forensik. Fokus pembahasan kriminologi "forensik" adalah pengaplikasian kajian-kajian kriminologi dalam investigasi berbasis hukum untuk mengungkap suatu kejahatan. Ilmu kriminologi forensik memiliki hubungan yang erat dengan disiplin ilmu forensik lain.
Di kelas ini setiap minggunya, dihadirkan akademisi dan/atau praktisi dari berbagai bidang ilmu untuk membagikan peran disiplin ilmunya dalam investigasi kejahatan. Salah satu pembahasan menarik yang menurut saya paling linear dengan peran saya sehari-hari sebagai pendamping korban kekerasan seksual adalah ilmu psikologi forensik.
Pada pertemuan kali itu, kami diberikan kesempatan untuk mempelajari dasar-dasar aplikasi psikologi forensik dalam membantu jalannya proses peradilan. Psikologi forensik sendiri merupakan metode pengaplikasian psikologi untuk mengungkap suatu kasus di ranah hukum. Penerapannya bukan didasarkan oleh common sense melainkan berbagai metode praktik profesional yang saintifik, teknis, dan terspesialisasi dengan ilmu-ilmu psikologi.Â
Aplikasi psikologi forensik dalam pengungkapan kejahatan sangat krusial dalam proses pengambilan keterangan atau kesaksian, baik dari sisi terduga pelaku/tersangka, saksi, maupun korban, yang mana ada hampir di setiap kasus, salah satunya di kasus kekerasan seksual. Ketika mendampingi proses advokasi kasus-kasus kekerasan seksual untuk penanganan internal di tingkat kampus saja, keterangan korban dan/atau saksi dalam jalannya proses penanganan sudah amat sangat penting.Â
Walaupun begitu, peran seorang psikolog forensik pun di satu sisi bisa menjadi sangat dilematis.Â
Di satu sisi, korban kekerasan seksual memiliki hak untuk mendapatkan pemulihan dan juga pendampingan selama proses hukum berlangsung, salah satunya dari aspek psikologis yang dapat dibantu prosesnya dengan kehadiran psikolog. Dengan demikian, "psikolog" forensik di satu sisi juga perlu untuk sensitif terhadap pengalaman korban. Â
Namun, di sisi lain, psikolog forensik haruslah tetap objektif dalam menggali dan mengevaluasi keterangan yang disampaikan oleh terduga pelaku, korban, maupun saksi-saksi demi kepentingan hukum dan jalannya peradilan. Psikolog forensik tidak boleh bias dengan nilai-nilai, pengalaman, atau budaya.Â
Menanggapi dilema ini, psikolog forensik tentu memiliki "standar operasional prosedur" (SOP) dalam menjalankan tugasnya. Namun, dengan kehadiran SOP pun, kenyataannya penerapan psikologi forensik tetaplah kompleks.Â
Pada akhirnya, dengan metode saintifik pun, psikolog forensik tetap bukanlah Tuhan yang dapat benar-benar menyimpulkan apakah keterangan yang disampaikan jujur atau bohong. Namun, dengan metode ilmiah yang ada, psikolog forensik berupaya untuk bergerak mendekati kebenaran.Â
Dari "dilema" ini, tercetuslah suatu ungkapan menarik bahwa "psikolog tidak bisa memakai jubah klinis dan jubah forensik secara bersamaan". Pemakaian dua "jubah" secara bersamaan terbukti dapat menyebabkan konflik peran. Walaupun psikolog forensik tetaplah seorang "psikolog", perannya tidaklah sama dengan psikolog klinis lain.Â
Pengetahuan baru ini membuat saya kembali berefleksi. Walaupun saya bukan psikolog (tidak mendekati sama sekali), tetapi saya bisa menjumpai keterkaitan dan mendapatkan ilmu-ilmu baru dari penerapan disiplin ilmu forensik.Â