Pada awal abad ke-19 Prancis mengembangkan Code Civil (Hukum Perdata) dan Code de Commerce (Hukum Dagang) yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip hukum Romawi. Ketika Belanda dijajah oleh Prancis dari tahun 1806 hingga 1813, kedua kodifikasi ini diberlakukan di Belanda. Setelah Belanda merdeka dari pengaruh Prancis, mereka tetap menggunakan dasar-dasar dari Code Civil untuk menyusun sistem hukum sendiri.
Hukum perdata Belanda berakar dari hukum Romawi, yang kemudian berkembang melalui pengaruh hukum Prancis, terutama Code Napoleon yang disusun pada awal abad ke-19. Pada tahun 1814, Belanda mulai menyusun kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) yang dikenal sebagai Burgerlijk Wetboek (BW), berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang telah ada sebelumnya di Prancis. BW resmi diberlakukan pada 1 Oktober 1838 setelah melalui proses kodifikasi yang panjang.
Penjajah Belanda menempuh kebijakan politik hukum yang lebih refrensif terhadap tanah jajahannya.
Pengaruh Hukum Belanda terhadap Sistem Hukum Nasional
Perubahan ketiga Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001 telah menempatkan ketentuan Indonesia sebagai negara hukum dalam batang tubuh, sebagaimana tertuang pada Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya bahwa prinsip negara hukum ditempatkan pada penjelasan umum angka IV tentang Sistem Pemerintahan Negara, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka.
Hukum perdata Belanda mulai diterapkan di Indonesia pada tahun 1848, ketika BW diberlakukan untuk semua warga negara yang berada di wilayah Hindia Belanda. Namun, penerapan ini dilakukan dengan mempertimbangkan sistem hukum adat yang berlaku dikalangan masyarakat pribumi. Dalam praktiknya, terdapat pemisahan anatara golongan Eropa dan pribumi dalam penerapan hukum perdata yang menciptakan ketidakadilan dan dualisme hukum.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, KUHPerdata tetap berlaku sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Pasal II aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa semua peraturan yang ada, termasuk KUHP, tetap belaku hingga digantikan oleh Undang-Undang baru. Meskipun demikian, beberapa bagian dari KUHPerdata telah dicabut atau direvisi untuk mencerminkan nilai-nilai lokal dan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Seiring dengan perkembangan zaman, upaya untuk mereformasi sistem hukum perdata terus dilakukan. Beberapa Undang-Undang baru telah dikeluarkan untuk menggantikan atau merevisi ketentuan dalam KUHPerdata, seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Proses reformasi ini bertujuan untuk mengakomodasi perubahan sosial dan budaya serta meningkatkan keadilan dalam penerapan hukum.
Hukum pidana Belanda mulai diterapkan di Indonesia dengan pengenalan Wetboek van Strafrecht (KUHPerdata) yang diadopsi dari Code Napoleon Prancis. Setelah melalui berbagai perubahan, kitab hukum pidana ini secara resmi berlaku di Hindia Belanda sejak 1 januari 1918. Hukum ini mencakup berbagai hukum kejahatan dan pelanggaran serta jenis hukuman yang dapat dijatuhkan seperti hukuman mati, penjara, dan denda.
Sejak reformasi 1998, Hukum pidana Indonesia terus mengalami perubahan karena menyesuaikan perkembangan zaman melihat Indonesia yang terus berkembang. Perubahan dinamika masyarakat, kemajuan teknologi, dan meningkatnya kesadaran akan hak asasi manusia. Hal tersebut yang menuntut adanya pembaruan hukum yang lebih responsif dan adaptif.
 terdapat dorongan untuk memperbarui dan menyesuaikan hukum pidana dengan nilai-nilai lokal dan kebutuhan masyarakat.  Proses ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi dan praktisi hukum, denga tujuan menciptakan sistem hukum lebih responshif dan adil.