Mohon tunggu...
Antonius Manan
Antonius Manan Mohon Tunggu... Guru - Penulis, Guru Penggerak, Ketua Lembaga Adat wilayah Pakala Tana Toraja, Pemerhati Sosial Budaya.

Jadikan setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wasiat Suci Ukiran Toraja: Simbol Kebesaran Budaya dan Kebijaksanaan Spiritual

7 Mei 2024   11:33 Diperbarui: 7 Mei 2024   11:49 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ukiran tradisional Suku Toraja adalah maha karya seni visual yang indah sekaligus merupakan jendela ke dalam budaya dan kearifan spiritual masyarakat Toraja. Di balik setiap goresan dan motif yang rumit, terdapat filosofi yang kaya akan makna, mengajarkan kita untuk melihat dunia melalui perspektif budaya yang berbeda dan memperdalam pemahaman kita akan hubungan antara manusia, alam, dan dunia spiritual serta dapat mengungkap rahasia rahasia yang terkandung dalam karya seni ini. Sebelum kita lanjut siapkan secangkir kopi hangat apalagi kalau itu kopi Toraja, hmm mantaap karena kita akan menjelajahi kekayaan makna spiritual dalam setiap goresannya... Ayo kita mulai...

Warisan adat istiadat Toraja

Saba' ada'ri anta ditandai,
Belanna sangka' anta dipelele

(Karena adat kita dikenal sebab budaya tradisi kita menjadi Masyhur)
Bermukim di wilayah pegunungan Sulawesi Selatan, Suku Toraja memiliki sejarah budaya adat istiadat yang kaya dan beragam. Salahsatunya adalah ukiran, seni ukir ini tidak hanya mengekspresikan keindahan visual tetapi juga sebagai sarana menghormati leluhur, alam sekitar maupun dalam bentuk metafisik
Atau ringkasnya sebagai alat untuk menjaga keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos terlebih relasi manusia dan Sang Pencipta, Hal ini dapat dilihat penggunaannya pada upacara upacara adat rambu tuka' maupun Rambu Solo'.
Ukiran ukiran ini seringkali dipercaya memiliki kekuatan magis dan dapat melindungi pemilik ukiran dari energi negatif atau menetralkan aura negatif menjadi positif.
Hal penting lainnya yang perlu dicatat bahwa ukiran Toraja menyiratkan strata sosial pemiliknya sehingga dengan melihat goresan ukiran pada rumah adat, rumah pribadi atau barang dan aksesoris lainnya dapat diidentifikasi status sosial pemilik ukiran tersebut dan dapat diidentifikasi nilai barang atau pusaka yang dilapisi ukiran tertentu.
Karya seni ukiran tidak sedikit mengalami gesekan pengaruh dari luar namun masyarakat Toraja tetap mempertahankan identitas budaya mereka yang khas dan tradisi warisan leluhurnya dengan demikian
Ukiran Tradisional Toraja tetap menjadi simbol kekayaan budaya dan warisan spiritual yang tak ternilai harganya di Nusantara Indonesia.

Asal mula ukiran Toraja

Pada tradisi lisan yang diyakini suku Toraja bahwa pada awalnya ketika rumah tongkonan hendak dibangun maka para Pande (Ahli) beserta dengan pemangku aluk (Tominaa) bermusyawarah untuk membuat sebuah rumah adat tongkonan dengan arsitektur rumah tongkonan pertama yang berada di langit maka disepakati untuk mengutus para tukang dan abdi masuk kedalam hutan untuk menebang kayu sesampainya didalam hutan mereka bertanya kepada kayu tersebut "Kayu apate" (kayu apa nama kamu) dan tiba tiba pohon itu menjawab "Akumo kayu nangka' sinangkangan ulli' to matemu" (aku ini pohon nangka dan orang mati akan bergelimpangan) mendengar jawaban kayu nangka tersebut mereka melanjutkan mencari kayu yang lain dan didapatkanlah sebuah kayu uru, namun ketika mereka bertanya kepadanya maka pohon tersebut menjawab "akumo kayu uru, sirrukan toumbating" ( saya ini pohon uru dan semua orang akan meratap sedih).
Para tukang dan hamba ini kembali melaporkan pa yang merek alami didalam hutan kepada para sesepuh dan pemangku aluk adat dan kembali mereka bermusyawarah. Nyatalah bahwa faktor kegagalan mereka mengambil kayu untuk bahan bangunan dalam hutan karena sebelumnya mereka tidak melakukan upacara penghormatan dan memberi sesajian kepada dewa pemilik hutan yang disebut "umpamamata lalanna atau ma'kolikan biang". Mereka kemudian memala' (memberi sesajian) dan kembali ke hutan. Sesampainya disana  
Tukang menanyakan kembali namanya kepada pohon itu dan dijawabnya "akumo kayu nangka' lasinangkangan eananmu" yang berarti akulah kayu nangka, hartamu akan berlimpah, setelah mengatakan hal yang demikian maka ditebanglah kayu tersebut dan kemudian berpindah ke kayu uru dan jawaban dari kayu itu " akumo disanga kayu uru, lasiuruan bai tora" yang bermakna akulah kayu uru, babimu akan banyak, besar dan bertaring. Kayu tersebut langsung ditebang begitupun seterusnya kayu kayu yang lain hingga dapat untuk bahan satu rumah tongkonan. Keesokan hari ketika mereka hendak melanjutkan menebang pohon ternyata kayu kayu tersebut sudah siap dibuat rumah. Pekerjaan itu dilakukan oleh seorang pintar nan sakti bernama pong Kalolok. Namun karena rasa iri kepada Pong Kalolok maka dia dibunuh karena dianggap saingan.
Sesudah itu mereka melanjutkan mengerjakan kayu yang lain. Siang hari datanglah wanita pembawa bekal sambil duduk diatas papan yang sudah dibentuk, tiba tiba wanita itu haid dan meleleh diatas kayu yang didudukinya. Ketika para tukang melanjutkan pekerjaannya mereka melihat darah pada kayu yang diduduki wanita tadi siang membentuk goresan goresan indah dan kemudian mereka memindahkan dengan UKIRAN pada papan lain sesuai goresan darah haid wanita. Konon darah haid wanita itu mirip kepala kerbau.
Muncullah inspirasi para tukang ukir untuk mengukir rumah dan dikembangkan dengan ukiran hasil pengamatan mereka pada alam sekitar seperti matahari maka diukirlah Pa'barre Allo, ayam jantan pada pa'manuk londong. Akhirnya ditetapkanlah dasar ukiran (Garonto' Passura')  menjadi empat jenis antara lain :


1. Pa' Tedong
2. Pa' Barre Allo
3. Pa' Manuk Londong
4. Pa'sussun (Pa'sussu')


Keempat dasar passura' ini harus ada pada setiap rumah tongkonan baik  tongkonan Layuk, tongkonan kaparengngesan, tongkonan pekamberan pekaindoran. Ragam ukiran Toraja merupakan simbol kearifan dan keberadaan dari pemilik tongkonan (Toma'rapu tallang tosangkaponan ao'). Apabila kita hendak mengetahui stratifikasi sosial rumpun keluarga atau dalam bahasa setempat disebut tana' maka dapat dilihat dari status tongkonan yang disimbolkan melalui ukiran. Ukiran menempati urutan pertama dalam bahasa simbol sekaligus media komunikasi non verbal yang menjelaskan pesan kepada setiap pembacanya. Alphabet mulai dikenal oleh masyarakat suku Toraja ketika pemerintah Hindia Belanda melalui peran para zending (Penyebar agama kristen) mengajarkan tulisan ke anak anak di sekolah sekolah yang didirikan, namun ketika kita memutar jam waktu ke zaman Primitif Toraja maka kita dapat mengetahui bahwa ukiran merupakan alat komunikasi yang menyampaikan pesan atau maksud pemilik ukiran.

Penjelasan tentang makna filosofis di balik goresan.

Kembali keempat dasar passura' Toraja yaitu :

1. Pa'tedong adalah sejenis ukiran yang menyerupai muka kerbau. Berasal dari kata Tedong yang berarti kerbau. Kerbau dalam masyarakat Toraja adalah binatang peliharaan yang utama. Bagi masyarakat Toraja kerbau memiliki fungsi ganda seperti emas kawin, alat transaksi dalam jual beli dan sebagai korban persembahan kepada Dewa dan leluhur. kerbau memiliki strata dan jenis-jenis seperti, kerbau  Saleko, Bonga, Lotong boko', Pudu', Sori, Tekken Langi', balian dan Sambao. Dalam hal ini Bonga dan Saleko menempati strata tertinggi untuk jenis kerbau dan hanya digunakan dalam tingkatan upacara teratas pada rambu solo' yaitu rapasan (standar 24 ekor kerbau).
Ukiran Pa'tedong bermakna kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat Toraja. Jenis ukiran ini dilukiskan pada indo' para (papan besar teratas) dan pada pintu pintu rumah dan pada sangkinan rumah maupun Alang (lumbung padi) juga pada manangnga Banua (penyanggah rumah)


2. Pa' Barre Allo
Dari kata Barre atau berre' yang berarti terbit, Barre juga bermakna bulat dan Allo yaitu matahari, sehingga secara harfiah Barre Allo yaitu matahari terbit dan matahari yang bulat. Ukiran ini menyerupai bulatan matahari yang memancarkan sinar. Biasanya ditemukan pada bagian muka dan belakang rumah adat Toraja pada Para Longa yaitu papan atas berbentuk segitiga dan umumnya diatas ukiran Pa'barre Allo diletakkan ukiran Pa'manuk Londong.
Secara filosofis matahari dapat diartikan sebagai kemuliaan dengan pancaran sinarbya dipagi hari yang bermakna kehidupan yang bersumber dari Puang Matua (Tuhan Sang Pencipta) sehingga Pa'barre Allo diletakkan diatas para longa bermakna kemahatinggian. Ukiran Pa'bare Allo juga dijumpai pada balun (pembungkus mayat) untuk para bangsawan atau orang yang sundun alukna (sempurna ritus penghormatan terakhirnya) dengan harapan menjadi pemberi berkah kepada anak cucunya sekaligus sumber kehidupan, sehingga secara umum makna ukiran Pa'Barre Allo yaitu segala sesuatu baik sumber kehidupan dan berkat di dunia berasal dari Puang Matua dan pemilik tongkonan mempunyai kedudukan tertinggi dan mulia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun