Oleh: Auramanur Jafar Sidiq, Club Educator, 21070906
April pada tahun 1955, tepatnya di minggu ketiga tanggal 18 terjadi suatu peristiwa yang amat luar biasa bagi negara-negara Asia-Afrika di Dunia. Berkumpulnya 29 negara dari berbagai delegasi, golongan dan lini insan di kala itu, menjadikan kota Bandung ramai penuh- sesak seperti acara tahunan suatu suku adat di panggung bernama Gedung Merdeka.
Peristiwa ini bisa diibaratkan “Pawai besar skala Internasional” Why? Karena hampir semua golongan masyarakat dan delegasi para negara menyaksikan terjadinya konferensi tersebut.
Ketika Presiden Soekarno menyampaikan pidato pembukaannya tentang perjuangan dan penderitaan rakyat Asia-Afrika dalam melawan kolonialisme dan imperialisme penjajahan bangsa eropa, beliau mengingatkan kewajiaban memberi arti dan isi pada kemerdekaan suatu bangsa.
“Pawai saja tidak akan membawa integrasi ketika rasa hormat manusia hancur” (Barry McGuire) kutipan inilah yang cocok menggambarkan situasi pidato pembukaan KAA saat itu. Berangkat dari latar belakang itulah negara-negara dari Asia-Afrika berkumpul dan bersatu dalam konferensi ini membangun satu rasa dan juang yang sama untuk mendapatkan “KEMERDEKAAN HAKIKI”. Maka dari itu, presiden Sukarno berusaha untuk memutus tali rantai dari “the life line of imperialism” yang sudah mengakar di Indonesia selama 350 tahun.
Terdapat 2 aktor intelektual yang berpengaruh dalam proses suksesnya Konferensi Asia Afrika. Pertama para pelajar Cosmopolitan Indonesia di Belanda yang mengembangkan jaringan antikolonial internasional di Eropa pada tahun 1920-an dan yang kedua Sukarno dengan kosmopolitanisme pikirannya yang memiliki gagasan tentang penyatuan gerakan nasionalisme Indonesia dengan Pan islamisme di tahun 1920.
Menurut bapak Ali Sastroamidjojo sendiri bahwa kerjasama itu bisa direalisasikan kedalam bentuk konkrit karena aliansi informal Asia dan Afrika dalam menyikapi kolonialisme di Afrika Utara. Dalam bukunya yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi, Bung Karno juga sering berbicara tentang perjuangan pembebasan nasional di Afrika Utara.
Gagasan tentang kerjasama Asia Afrika ini mendapatkan panggungnya untuk pertama kalinya di Konferensi Kolombo yang diadakan di tahun 1954 di Kolombo. Terjadinya konferensi ini awalnya adalah usulan dari Perdana Menteri Ceylon (Srilanka) Sir John Kotelawala untuk mengumpulkan negara-negara Asia ketika itu untuk menyuarakan suaranya dalam politik internasional. Tentunya hal ini dibentuk dari kesamaan historis dan pandangan yang relatif sama.
1 Bapak Ali Sastroamidjojo secara umum meminta waktu untuk diberikan kesempatan untuk berbicara mengenai gagasannya kerjasama Asia Afrika dan juga didalam bukunya Dr. H. Roeslan Abdulgani itu Ia mengatakan bahwa “Sukarno mendiskusikan perihal hal ini sudah jauh-jauh hari dan sekarang sangat mendukung sekali ini karena menurut beliau kerjasama Asia Afrika ini adalah gagasan yang telah diperjuangkan oleh para pemimpin Indonesia itu sejak masa kolonial”.
Meskipun Jawaharlal Nehru tertarik dengan ide itu, tetapi dia membayangkan bagaimana sulitnya mengadakan konferensi yang besar yang mempertemukan negara Asia dan Afrika karena negara-negara Asia dalam yaitu memiliki perbedaan ideologi politik kultural.
Gagasan kerjasama Asia-Afrika itu karena alasannya Asia-Afrika dan juga PBB sendiri sudah mulai terbentuk secara informal yang menyikapi isu-isu kolonialisme di Afrika Utara.
Kelompok Asia-Afrika menurut gagasan ini sangat relevan dan konkrit untuk negara Asia- Afrika yang dianggap lemah tak berdaya sehingga bisa menyuarakan keprihatinan mereka di KAA. Di dalam Konferensi Kolombo mereka menerima usulan bapak Ali Sastroamidjojo untuk mengadakan konferensi Asia-Afrika di Indonesia.
Pada akhirnya seiring waktu berjalan, bapak Ali Sastroamidjojo berhasil meyakinkan para pemimpin Asia-Afrika. Relevansi gagasan dari konferensi Asia-Afrika ini menghadapi berbagai dampak yang terjadi di wilayah Asia dan juga baru merealisasikan sebuah kerjasama mengeluarkan konsep yang bisa disebut Pancasila. “Kalau kita kan Pancasila, mereka juga punya konsep Pancasila gitu loh berisi tentang gagasan mereka tentang eksistensi-eksistensi damai antara India dan Cina dan juga di regional Asia itu” (tutur dosen sejarah UGM itu). Jadi gagasan itu semakin dilihat relevan dan yang paling krusial.
Konferensi Asia-Afrika ini menjadi turning Point dalam sejarah abad ke-20. Karena untuk pertama kalinya 29 negara Asia dan Afrika yang baru merdeka itu pertama kalinya berkumpul di tanah air Indonesia. Mereka sendiri baik para pelajar dari Asia di masa kolonial mereka lebih nyaman berkumpul di Eropa karena lebih aman akhirnya pasca perang dunia kedua mereka bisa berkumpul di tanah mereka sendiri.
Hal ini menjadi momentum penting negara- negara yang disebut dunia ketiga untuk membicarakan konperensi mereka dalam politik internasional termasuk menyikapi perang dingin didalamnya.
Mayoritas yang tidak memiliki haluan non-blok meskipun pada akhirnya haluan non-blok berhasil di konferensi ini jadi ada kelompok negara yang pro Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Tetapi yang luar biasa adalah setelah prestasi di dalam Konferensi ini yang melelahkan sekali sehingga akhirnya negara-negara Asia-Afrika itu bisa menghasilkan konsensus.
Karena ada kesamaan pandangan terhadap kolonialisme dan imperialisme dan dikira bisa menghasilkan konsensus bersama untuk mencari satu formulasi dalam mengkritik kolonialisme dan imperalisme.
Jadi mereka mengutuk kolonialisme dalam segala bentuknya intervensi eksternal atas kedaulatan dan mengkritik kontestasi perang dingin, penggunaan nuklir dunia, serta mendorong terciptanya perdamaian dunia. Itu semua terangkum dalam “Dasasila Bandung” atau nantinya dikenal sebagai bahasa yang digunakan oleh akademisi dan aktivis internasional sebagai “Bandung Spirit”.
Roeslan Abdulgani merupakan tokoh penting yang pertama kali memperkenalkan term “Bandung Spirit” di bukunya. Jadi menurut Roeslan Abdulgani mudahnya adalah anti kolonialisme, imperialisme dan upaya politik Asia- Afrika mendorong perdamaian. Kemudian dalam bukunya Ia menafsirkan spirit Bandung sebagai penolakan subordinasi ekonomi dan penjelasan budaya dari akar-akar utama imperialisme.
Laura Bier (2010) dia mengatakan ada tiga komponen kunci dari semangat ini yang pertama dukungan terhadap gerakan kemerdekaan nasional yang kedua adalah penentangan terhadap kolonialisme, ekonomi, pengaruh budaya dan campuran tangan politik tidak langsung meskipun kita telah merdeka yang ketiga adalah exchange dan koperasi antara negara-negara Asia dan Afrika.
Meskipun negara-negara Asia dan Afrika setelah itu tidak ada lagi Konferensi yang dibicarakan namun dalam berbagai forum dan juga forum-forum aktif masih relevan dengan situasi yang kita hadapi saat ini.
Intinya nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang sempit, Ia adalah nasionalisme yang luas – nasionalisme yang muncul dari pengetahuan tentang tatanan dunia dan sejarahnya. Bung Karno ingin mendekolonisasi tatanan dunia lama dengan menciptakan tatanan dunia baru di mana negara-negara merdeka, berdaulat dan setara.
“Mudah-mudahan penjelasan saya bisa sedikit memberikan gambaran tentang kompleksitas dari sejarah Konferensi Asia-Afrika itu sendiri terima kasih Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”. (tutup bapak Wildan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H