Banyak yang bilang bahwa Sukarno itu orang sakti karena luput dari hal-hal mistis. Baik itu properti yang digunakannya, seperti peci hitam, cicin merah delimanya, dan tongkat komandonya. Banyak orang-orang yang sampai saat ini mencari barang-barang pusaka yang berhubungan dengan Bung Karno. Namun dimata para sejarawan, hal-hal ini tentu dapat berhubngan jika barang pusaka dan data tersebut benar adanya, sehingga bisa dibuktikan dan dapat diarsipkan untuk Museum Nasional demi melestarikan sejarahnya.
Sejujurnya, saya pun bangga karena cinta yang dimiliki Bung Karno bisa saya rasakan juga lewat buku otobiografinya. Presiden Sukarno yang mengajarkan kita untuk mencintai sesama manusia melalui hakikat sosialisnya, menyadarkan kita akan pentingnya bersaudara, berkeluarga dan bernegara. Tidak ada kasta!!, jusrtru yang di tekankan itu mencintai rakyat kecil, dengan begitu kita akan saling peduli untuk dan saling menyayai kepada yang lemah. Bung Karno juga memperkenalkan budaya asli Indonesia, yaitu gotong royong yang mendarah daging dan tertanam sejak nama Nusantara lahir.
Buku ini menceritakan rekam jejak kehidupan Bung Karno dari kecil sampai ia tua. Meski termasuk buku lawas dan antik, konteks yang disajikan dalam buku ini masih layak dan relevan untuk dibaca hingga saat ini. Penulisan otobiografi ini pun terasa mengalir ketika dibaca. Meski secara fisik cukup tebal, namun karena cara penulisannya yang mengalir, buku ini pun jadi terasa ringan untuk dibaca.
Buku ini sangat cocok untuk jadi rujukan bacaan. Buku ini dapat digunakan sebagai sumber primer, karena diperoleh dari hasil sejarah lisan. Apalagi bagi yang mengaku dirinya sebagai ‘sukarnois’. Dan buku ini layak dijadikan tambahan sebagai koleksi yang wajib dimiliki bagi para pencinta esai-esai Bung Karno. Dan buku ini tidak kalah bagusnya dengan buku “DBR” yang banyak dicari-cari.
Dari penjelasan mengenai penulisan sejarah lisan yang ditulis oleh Cindy Adams dapat disimpulakn bahwa tema-tema mengenai sejarah ‘tokoh elit’ baik itu Presiden, pejabat tinggi, raja atau pun ratu dengan para ajudannya yang terkenal, merupakan tema yang sudah banyak ditulis dan diteliti oleh para sejarawan. Adapun sebaliknya pembantu, tukang becak, dan buruh, merupakan tema-tema yang sulit ditemukan dalam sumber-sumber arsip. Karena itu, penggunaan sumber-sumber Sejarah lisan dapat dianggap sebagai sejarah alternatif penting dan menawarkan banyak harapan.
Dengan demikian, maka sejarah lisan membutuhkan metode untuk menelusuri dan menggali pengalaman serta kesaksia narasumber dari pengalaman-pengalaman mereka yang dapat direkam lalu dicatat. Hal itu karena hasil wawancara yang dimuat dalam buku tersebut dalam kenyataannya bermanfaat sebagai sumber sejarah. Tentunya untuk kemaslahatan rakyat republik Indonesia.
“Djangan Sekali-kali Meninggallkan Sedjarah!” Ir. Sukarno
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H