RUU KUHP telah resmi ketok palu pada 6 Desember 2022 lalu. Namun, saat ini rakyat masih menggelar berbagai aksi untuk mengecam pengesahan KUHP baru tersebut. Berbagai aksi seperti aksi solidaritas tutup mulut hingga aksi cabut KUHP bermasalah masih terus dilakukan hingga saat ini.Â
Para pengguna media sosial juga ramai-ramai menggunakan tagar #SemuaBisaKena dan #Tiba-TibaDiPenjara sebagai bentuk penolakan terhadap substansi KUHP yang bermasalah. Lantas, apa saja pasal-pasal ranah publik yang membuat DPR menjadi "sasaran tinju" berbagai pihak yang menentang isi KUHP baru?
Pasal 218 dan Pasal 219 tentang Penghinaan Presiden
Salah satu hak asasi manusia yang diatur dalam ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) adalah hak untuk menyuarakan dan mengekspresikan pendapat. Pasal ini dapat berpotensi melanggar hak tersebut dengan memidanakan siapa saja yang dianggap menghina presiden.Â
Selain itu, tidak terdapat parameter yang jelas mengenai perbedaan antara kritik dan hinaan, sehingga dikhawatirkan setiap kritik yang diajukan kepada presiden bisa saja diadukan dengan dalih menyerang harkat dan martabat kepala negara, baik Presiden maupun Wakil Presiden.
Padahal, kepala negara merupakan bagian dari lembaga negara yang tidak perlu dilindungi harkat dan martabatnya karena merupakan objek kritik bagi rakyat.Â
Pihak-pihak yang diadukan melalui Pasal 218 dapat dipidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Sedangkan Pasal 219 yaitu dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 240 dan Pasal 241 tentang Penghinaan Lembaga NegaraÂ
Lagi-lagi, pasal ini bisa saja memenjarakan pihak-pihak yang "dianggap" menghina lembaga negara. Padahal, pasal penghinaan ini seharusnya ditujukan untuk kasus penghinaan antarpribadi saja, bukan untuk lembaga negara yang mempunyai kekuasaan dan merupakan bagian dari objek kritik sebagaimana halnya presiden.Â
Bagi siapa saja yang diadukan atas penghinaan lembaga negara dan terbukti memenuhi delik dapat dipidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV untuk Pasal 240 serta pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori V untuk Pasal 241.
Pasal 256 tentang Unjuk Rasa Tanpa Pemberitahuan
Pasal ini dianggap problematik karena dianggap mengekang kebebasan masyarakat dan memberi kemunduran pada demokrasi di Indonesia. Jenis pasal ini seringkali digunakan di era penjajahan kolonial Belanda, era orde lama, dan pemerintahan orde baru untuk memantau situasi serta gerak-gerik masyarakat.Â
Pasal ini juga berpotensi menjadi alat untuk membatasi suara dan pergerakan masyarakat dengan dalih ketertiban umum. Bagi siapa saja yang melanggar ketentuan dalam pasal ini akan dipidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
KUHP baru yang digadang-gadang membawa sejumlah misi pembaharuan hukum yang di antaranya yaitu dekolonialisasi, demokratisasi, dan harmonisasi justru malah membawa nilai-nilai yang tidak mencerminkan ketiganya. Pembuatan RUU KUHP kemarin pun dianggap belum mengimplementasikan prinsip demokrasi karena kurangnya partisipasi publik serta pertimbangan aspirasi dari masyarakat oleh pemerintah.
Oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat perlu bersama-sama mengawal isu yang terjadi pada KUHP baru ini agar pemerintah dapat membuat undang-undang yang sesuai dengan aspirasi rakyat serta situasi demokrasi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H