Jadi Sampai Kapan Para Korban Pelecehan Seksual di Indonesia Benar Benar Mendapatkan Keadilannya?
“Unbelievable” merupakan drama Netflix yang rilis pada tahun 2019. Serial yang merupakan serial terbatas dari Netflix ini ternyata memang berdasarkan kisah nyata yang benar adanya, Kisahnya sendiri berawal dari kasus yang menimpa gadis berusia 18 tahun bernama Marie Adler pada tahun 2008 yang di perkosa dikamar apartemenya yang berlokasi di Lynnwood, Washington.
Hal yang langsung terlintas di pikiran pada saat menyaksikan adegan tersebut adalah, bahwa disaat korban berada di dalam rumah pemerkosaan tetap bisa terjadi dan entah mengapa masyarakat selalu membawa bawa alasan karena pakaian korban? nilai pertama yang bisa dipetik dan merupakan poin pentingnya adalah bahwa berhentilah menyalahkan korban atau Victim Blaming kepada setiap kasus kasus pelecehan.
Kemudian dari peristiwa yang dialaminya tersebut Marie melaporkannya ke aparat kepolisian, yang menjadi awal letak kegeraman serial ini dan menjadi rentetan permasalahan kasusnya korban saat melihat bagaimana rumitnya birokrasi dari kepolisian daerah tersebut dalam menangani kasus pelecehan seksual. mulai dari cara pemeriksaa, saat menginterograsi korban juga bagaimana justru aparat yang seharusnya melindungi masyarakatnya ini justru bagaikan penyerang untuk Marie sehingga membuat dirinya bingung, ketakutan, panik dan sampai pada titik dimana Marie justru menjadi bungkam.
Dari serial 2019 ini kita bisa mendapat gambaran bagaimana realitanya penanganan kasus pemerkosaan di Washington sana yang mungkin tak jauh berbedanya dengan realita di negeri kita. mengapa? pasalnya tindakan aparat yang cenderung menghakimi korban serta terus menerus membebani korban dengan pertanyaan pertanyaan terkait kejadian yang menimpa mereka justru bagaikan menginterogerasi tanpa memikirkan kondisi itu sendiri.
Terlebih pihak pihak yang seharusnya menjadi pelindung dan pendukung korban justru melakukan victim blaming kepada si korban. apa itu victim blaming? singkatnya yaitu tindakan menyalahkan korban atas persitiwa yang dialaminya, dan hal inilah yang jelas terjadi di dalam serial dimana marie sebagai korban justru di pojokkan oleh aparat kepolisian sampai kepada orangtua asuh beserta teman temanya.
Rumit memang, dan miris sekali seakan Marie diserang oleh detective untuk mengakui kebohongan, hal ini tentu membuat marie tertekan, dan kesulitan sampai pada akhirnya dari kejadian kejadian tersebut Marie membuat pengakuan kalau dia tidak di perkosa, bahkan sampai akhirnya kepolisian menuntut dia karena dianggap membuat laporan palsu alhasil Marie didenda membayar sekitar 500 dollar US.
Berbagai perasaan berkecamuk tentu pada saat menonton serial ini mulai dari jengkel, sedih, campur aduk dengan berbagai semua kejadian tersebut, sampai ketika 2 tahun setelahnya muncul hal serupa yaitu kasus pemerkosaan yang kisahnya dapat dikatakan mirip dengan Marie, kasus tersebut ditangani oleh 2 orang detektif perempuan bernama Karen Duvall dan Grace Rasmussen yang benar benar mengusut tuntas kasus yang terjadi kepada korban korbanya dan mereka sepakat untuk bekerja sama mengusut tuntas kasusnya karena berbagai kemiripan atas kejadian pelecehan seksual yang dialami para korbannya.
Hingga adegan adegan penelusuran detective tersebut yang dapat saya katakan benar benar berbeda seperti apa yang dilakukan detektif yang mengangani kasus marie sebelumnya. kisah kisah perjuangan kedua detektif perempuan ini patut dan layak disimak disepanjang jalannya episode.
sampai pada akhirnya kasus pemerkosaan yang ditangani kedua detektif tersebut menemukan titik terang dan juga menjadi awal berubahnya hidup marie karena dari kasus pemerkosaan tersebut terselip bukti bahwa marie benar benar korban pelecehan seksual.
tidak ingin terlalu spoiler namun pada intinya atas hasil usaha para detektif yang bertugas menangani kasus perkosaan tersebut hingga ditemukannya bukti di TKP pelaku mengenai Marie Adler lah yang membuat fakta yang sebenarnya bahwa ternyata benar adanya bahwa Marie adalah korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelaku yang sama tersebut.
Menonton kisah yang “Luar Biasa“ tentang betapa buruknya pihak kepolisian di Washington pada saat itu dalam menangani kasus Marie membuat kita sedikit banyak menjadi berkaca melihat realitas yang sama dengan apa yang terjadi di negeri kita saat ini. selain itu poin yang menarik untuk di bahas juga tentang bagaimana kedua detektif perempuan duval dan grace dalam melakukan pekerjaanya sebagai detektif benar benar berbeda dari yang dilakukan oleh detective yang menangani kasus marie.
Perspektif keduanya dalam menyelsaikan kasus merupakan salah satu bukti bahwa seharusnya mungkin kedepannya peran peran perempuan di perbanyak dalam kasus kasus seperti ini. Pernyataan ini bukan semata mata “Propaganda Feminisme” seperti apa yang dipahami masyarakat awam pada umumnya Bukan pula semacamauntuk meninggikan salah satu gender tertentu, tentu tidak, melainkan memang kita butuh banyak persepktif dari perempuan dalam memahami kasus kasus berbasis gender seperti ini.
Belajar dari kisah nyata ini juga, tentu timbul harapan semoga apa yang dialami Marie tidak dialami lagi oleh kita diluar sana. Tentu menjadi sebuah pembelajaran kedepannya untuk aparat kepolisian dalam menangani kasus dan bagaimana seharusnya kita selalu ada di pihak korban bukannya malah melakukan victim blaming dan menginvestigasi korban dengan cara yang salah, biarkan juga korban memilih menceritakan kejadiannya kepada siapa bukanya dipaksa menceritakanya kesemua pihak yang merasa bertanggung jawab.
Selain itu penanganan kasus kasus pelecehan seksual benar benar harus ditangani dengan tuntas dan sedetail mungkin, apalagi akhir akhir ini realitasnya di Indonesia sendiri kasus kasus pelecehan seksual sepertinya tidak ditangani sebagaimana mestinya bahkan harus menunggu viral dulu barulah kemudian kasusnya ditangani aparat.
Itupun kalau setelah viral dan pada akhirnya pelaku mendapatkan hukumanya, kalau tidak? Mereka tetap saja berkeliaran bebas diluar sana. Hal ini yang memang fakta dilapangan , jelas saja karena hukum di Indonesia masih belum adanya undang undang yang mengatur mengenai pelecehan seksual dengan benar. bagaimana dengan RUU PKS? mengutip seperti apa yang dikatakan DPR bahwa pembahasan RUU PKS itu “sulit” jadi sampai sekarang pun tidak adanya undang undang yang benar benar berpihak kepada korban.
bagaimana pelaku bisa dituntut dan korban bisa mendapatkan perlindungan dan keadilan sebagaimana mestinya kalau tidak ada UU yang mengatur itu sebagaimana RUU PKS, padahal isi dari RUU PKS benar benar bermaksud untuk melindungi para korban dan hal inilah yang harus segala diatur segera mungkin, tapi nyatnya pembahasanya dari dulu tidak pernah usai bahkan seperti hilang ditelan bumi hingga DPR lebih memilih Omnibus law yang mungkin pembahasanya lebih mudah dibandingkan RUU PKS?
Terakhir sebagai renungan dari kisahnya Marie, berhentilah menyalahkan korban, berhentilah menyalahkan apa yang yang korban kenakan atau bagaimana mereka berperilaku, rangkulah mereka, beradalah di pihak korban ketika mereka berani bersuara, ketika mereka berani melapor, ketika mereka menjadi korban, juga yang paling penting semoga aparat aparat yang berkepentingan bisa menjalankan tugasnya dengan benar benar sebagaimana mestinya,
masyarakat sendiri pun juga seharusnya ada selalu berada di pihak korban supaya tidak ada lagi kasus kasus yang justru merugikan korban itu sendiri. karena kenyataanya seperti apa yang dikatakan marie “If the truth is inconvenient, they don’t believe it”, semoga Marie menjalani kehidupanya dengan kedamaian dan kalau kalian udah nonton series ini, yuk terus bersuara dan lakukan aksi atau seruan untuk menuntut terus pengesahan RUU PKS agar nggak ada lagi korban yang takut bersuara di luar sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H