Mohon tunggu...
Aulya Setyasih
Aulya Setyasih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Pariwisata

Saya suka membaca, menulis, dan traveling. Kini saya sedang menempuh pendidikan S1 Pariwisata di Universitas Gadjah Mada.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ekowisata dan Problematikanya

2 Desember 2022   15:15 Diperbarui: 2 Desember 2022   15:18 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kalau bicara belum optimal, memang belum karena masih tumpang tindih peraturan, masih ego sektoral” (Priherdityo, 2015). 

Indonesia memiliki banyak potensi terhadap ekowisata tetapi minim sekali upaya untuk melakukan optimalisasi ekowisata. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya jumlah Taman Nasional yang tersebar di seluruh Indonesia, namun tidak semua mendapatkan perhatian yang sama. Dari sekitar 50 Taman Nasional di Indonesia hanya 20 Taman Nasional yang benar-benar mendapatkan perhatian yang cukup dari para stakeholders dan bisa dijadikan sebagai model untuk Taman Nasional lainnya. Misalnya, Taman Nasional Danau Sentarum yang terletak di hulu Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Taman Nasional terdekat dari Pontianak ini, memiliki luas wilayah 1.320 km². Namun, sayangnya stakeholders di sana belum bisa membentuk tata kelola yang baik. Sementara untuk akses jalan ke kawasan ini bisa tergolong kurang memadai sama halnya dengan sarana prasarana yang disediakan, kurang memadai. Hal ini bisa dibuktikan dari kutipan seorang perwakilan WWF Indonesia, Angga Prathama, 

“Kalau boleh jujur sedih rasanya melihat akses dari Sarawak ke Danau Sentarum seperti jalan tol. Sedangkan dari arah Indonesia, akses ke Danau Sentarum, yah tidak usah dijelaskan sedih pokoknya,” (Priherdityo, 2015).

Tidak hanya di Taman Nasional Danau Sentarum, kawasan Taman Nasional lainnya seperti Taman Nasional Gunung Rinjani juga sempat mengalami situasi overtourism dimana hasil dari kunjungan pendakian wisatawan 2016 berupa 186.036 kg sampah per tahun akibat dari kurangnya pengetahuan terhadap pengelolaan sampah. Titik balik dari adanya overtourism terjadi pada tahun 2020 ketika Pandemi Covid-19. Pengelola mengeluarkan Keputusan Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Nomor: SK./D3/T.39/TU/KSA/07/2020 yang berisi tentang ketentuan durasi pendakian, kuota pendakian, jalur trekking, dan ketentuan mengenai sampah. Keluarnya keputusan ini tentu menuai banyak pro kontra dari para pendaki (Jaya, 2021). Mereka merasa peraturan ini terlalu kaku dan banyak dari mereka ter-blacklist karena tidak bisa memenuhi aturan tersebut (Hadi, 2020).

Terjadinya penolakan pada awal fase terbentuknya sebuah kebijakan merupakan hal yang sangat wajar terjadi. Namun, munculnya kebijakan baru juga perlu ditinjau lebih jauh lagi apakah benar adanya kebijakan tersebut bisa membawa dampak yang lebih baik untuk kawasan tersebut. Kasus di Taman Nasional Gunung Rinjani yang berawal dari permasalahan sampah dan overtourism, kemudian pengelola mengeluarkan peraturan untuk menjaga dan mengoptimalisasi kawasan tersebut, merupakan salah satu langkah yang benar. Pasalnya, dalam ekowisata tidak diperlukan keuntungan yang maksimal melainkan dibutuhkan optimalisasi untuk ekowisata supaya kawasannya bisa berkelanjutan dan memberikan manfaat serta keuntungan untuk lingkungan sekitarnya, terutama bagi masyarakat lokal.

Pengembangan Ekowisata Masa Depan

Berdasarkan kasus-kasus ekowisata yang telah terjadi, khususnya di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa tidak semua sumber daya manusia memiliki kemampuan untuk mengelola ekowisata. Salah satu penyebabnya adalah minimnya pengetahuan mengenai ekowisata dan kurang terlibatnya stakeholders ekowisata dalam pengelolaan. Oleh karenanya, perlu dilakukan pelatihan dan edukasi tentang ekowisata kepada para stakeholders, terutama masyarakat lokal yang mengelola.

Dengan sumber daya manusia yang lebih berkualitas dalam melakukan pengelolaan ekowisata dalam negeri, infrastruktur berupa aksesibilitas dan sarana prasarana ekowisata bisa terpenuhi tanpa menyalahi aturan dari prinsip ekowisata. Adanya hal ini juga sebetulnya telah diperkuat dengan keluarnya dukungan dari pemerintah berupa Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Namun, terkadang peraturan ini belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan masing-masing kawasan ekowisata dinaungi oleh Pemerintah Daerah, sehingga kebijakan dan kendali dipegang oleh masing-masing Kepala Daerah, baik Gubernur atau Bupati/Walikota setempat.

Keamanan dari pelaksanaan ekowisata juga perlu untuk diperhatikan, mengingat ekowisata sangat erat kaitannya dengan alam liar sehingga rawan sekali untuk terjadi kecelakaan. Untuk meningkatkan aspek keamanan pada ekowisata diperlukan sinergi dari berbagai pihak untuk mencegah dan menanggulangi permasalahan keamanan. Misalnya, pihak polisi untuk melakukan patroli dan pihak forestry untuk melakukan pengecekan kondisi tanaman apakah membahayakan atau tidak bagi lingkungan. Dengan begitu wisatawan yang datang akan merasa aman dan nyaman ketika berkunjung ke destinasi tersebut. 

Referensi

Baroroh, K. (2019). PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH EKOWISATA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI SMA. Ekonomi dan Pendidikan, 16(2), 69 - 80.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun