Di desaku ada dongeng yang melegenda tentang seorang pembunuh bayaran. Namanya Jeff, tak ada yang tau nama lengkapnya, tidak ada yang tau juga seperti apa wajahnya. Hanya desas-desus mengatakan kalau Jeff adalah pria bertubuh tinggi yang kerap memakai pakaian serba hitam dan menunggangi kuda hitam.
Para orang tua sering meminjam namanya untuk menakut-takuti anak mereka agar tidak pulang larut, tapi seiring berjalannya waktu, anak-anak itu telah tumbuh dan mulai tidak memercayai dongeng tentang Jeff si pembunuh. Termasuk aku. Aku dan empat temanku lainnya kini bebas bermain sampai waktu petang, tak ada siapapun yang bisa menghentikan. Kami baru akan pulang bila perut berbunyi karena lapar, titik. Meskipun ketika sampai di rumah kami harus diomeli sampai pusing, tapi rasa puas bermain tak membuat kami kapok.
Suatu sore, hujan turun tiba-tiba ketika kami hendak pulang ke rumah. Sontak kami berpencar, aku bersama satu temanku berlari ke arah gubuk di samping lapangan sepak bola, sementara tiga temanku lainnya malah berlari ke arah pepohonan. Aku tak mengerti kenapa mereka malah berteduh di sana, sudah kuteriaki agar ikut berteduh di gubuk, tapi mereka tak dengar.
Dalam derasnya hujan, aku melihat tiga temanku menunjuk-tunjuk sesuatu, awalnya aku tidak sadar apa yang mereka tunjuk, tapi teman di sampingku menepuk pundak dan membuatku menoleh ke belakang. Di belakang gubuk tempatku berteduh, ternyata ada seekor kuda hitam. Aku pun terjengkang kaget. lekas mengajak temanku untuk lari, tapi temanku menolak, dia mengatakan padaku agar tidak usah panik, itu hanya kuda.
Ya, dia benar. Itu hanya kuda. Kuda hitam yang besar dan gagah. Seolah hewan itu sudah terlatih berlari ke sana-ke mari menjalankan misi.Â
Aku menelan ludah, entah kenapa rasanya aku teringat sesuatu tentang kuda hitam.
"Siapa di desa kita yang punya kuda hitam?" bisikku.
Kuda itu mendengus ketika aku sibuk mengamatinya. Ekornya bergoyang kecil dan badannya bergerak-gerak, entah mengapa di mataku dia tampak gelisah. Anehnya hal itu malah membuatku terpukau.
Hujan reda tak lama kemudian, aku bergegas bangkit karena mendapat ide bagus. Aku memutuskan untuk belajar menunggangi kuda. Sempat terjadi keributan karena teman-temanku lainnya ingin merebut kuda itu dariku, tapi aku cukup egois untuk tak membiarkan mereka menyentuhnya. Aku dan kuda hitam itu berkeliling lapangan yang becek dengan perlahan. Ini di luar perkiraanku, ternyata menunggangi kuda tak sesulit yang kukira. Kuda ini terlihat menyeramkan, tapi sebenarnya dia patuh.
Ketika melirik ke pinggir lapangan, teman-temanku rupanya sudah berbalik badan, bersiap untuk pulang dengan kekecewaan. Aku hanya tertawa kecil, biarkan saja. Aku juga akan pulang setelah sepuluh menit lagi.
Tapi kuda hitam bertingkah aneh tiap kali aku mengarahkannya untuk menepi. Aku tak bisa langsung turun tanpa bantuan pijakan. Sementara matahari sebentar lagi benar-benar tenggelam. Aku sedikit panik melihat tak ada orang lain di sekitar lapangan.