transportasi massal O-Bahn. Jika dirasa memiliki manfaat, jenis transportasi ini akan diterapkan di beberapa kota besar Indonesia sebagai alternatif dari kemacetan.
Kementrian Perhubungan (Kemenhub) tengah mengkaji modaSeperti apa O-Bahn itu?
Baik dari rupa eksterior, interior, ukuran bus, kapasitas penumpang, mesin, sebenarnya tidak ada bedanya dengan bus pada umumnya. O-Bahn bahkan masih memakai ban karet. Namun O-Bahn memiliki trek sendiri seperti rel kereta.
Maksudnya: Ini adalah sebuah bus, namun infrastruktur layanannya serupa dengan kereta perkotaan.
Menengok O-Bahn di Negara Lain, Bus dengan Rel KhususÂ
Transjakarta? Bus sama-sama memiliki jalurnya sendiri, bukan?
Kalau begitu apa perbedaannya dengan Bus Rapid Transit (BRT) sepertiJenis transportasi ini sebenarnya sudah ada di beberapa negara seperti Jepang, Inggris, Australia, dan Jerman (Negara pencetus O-Bahn).
O-Bahn adalah singkatan dari kata bahasa Jerman Omnibus Bahnhof. Dalam bahasa Inggris disebut sebagai Guided Bus atau Bus Berpandu.Â
Ban depan bus dipasang roda pandu khusus untuk mengatur kemudi di lintasan jalur O-Bahn. Sehingga sopir tidak perlu lagi mengatur arah bus, hanya mengatur kecepatan saja. Bus akan ikut ke mana arah trek.
Bukan BRT Biasa
Meski berada dalam klasifikasi BRT, O-Bahn memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki layanan bus BRT lainnya. Yaitu:
1. Operasional Bus tidak dapat diganggu oleh transportasi lain.Â
Jalur O-Bahn dirancang khusus layaknya rel kereta. Dua batang beton terbentang panjang dan memiliki celah di tengah. Sehingga jalur O-Bahn benar-benar steril. Tidak ada mobil yang berani masuk atau akan terperosok ke dalam celah.
"Kalau jalur BRT Transjakarta masih bisa dilanggar oleh kendaraan lain."
Petugas kepolisian pasti tidak akan melakukan diskresi, seperti membiarkan mobil masuk ke jalur Transjakarta pada saat macet yang biasanya terjadi sepanjang jalan Sudirman.
Pelayanan transportasi umum dapat optimal dengan O-Bahn, penumpang bisa dilayani dengan cepat sampai tujuan.
Baca juga: Transjakarta Sudah Punya 122 Rute, Kenapa Jakarta Masih Macet?
2. Sistem transportasi ini merupakan perpaduan antara BRT dan LRT.
LRT atau light rail transit adalah sistem transportasi berbasis rel yang dimensi keretanya lebih ringan, lebih kecil, dan kapasitas yang sedikit dibanding dengan MRT.
Jika berbicara soal kapasitas, LRT dan BRT sebenarnya memiliki daya tampung yang hampir sama. Namun infrastruktur pengadaan/perawatan kereta LRT jauh lebih mahal dan lebih lama dibanding membangun sistem BRT.
O-Bahn menjadi alternatif jika ingin mewujudkan transportasi umum yang pelayanannya lebih efektif dari BRT, namun biaya lebih murah dan praktis dibanding LRT.
Namun tidak harus semua jalur layanan menggunakan trek. Ketika beroperasi nanti, O-Bahn juga bisa melayani penumpang di jalan raya tanpa trek khusus. Seperti feeder Transjakarta yang bisa masuk dan keluar jalur.
3. Bus Bisa Melaju di Atas Kecepatan 80 Km/jam
Tidak seperti BRT Transjakarta yang kecepatannya hanya dibatasi 50 Km/jam untuk keselamatan perjalanan, O-Bahn bisa melaju lebih cepat hingga 80 km/jam karena sopir tidak memegang kendali bus.
Bus melaju mulus dan cepat di atas trek layaknya kereta berjalan tanpa hambatan.
4. Tidak Menimbulkan Polusi Suara
Sejarah sistem O-Bahn adalah karena adanya penolakan warga Essen, Jerman terhadap pembangunan kereta metro.Â
Alasan warga menolak karena kereta akan menimbulkan polusi suara, sehingga jalur yang awalnya akan dibangun rel, diganti dengan beton.
Baca Selengkapnya: Menilik Plus Minus Penerapan O-Bahn Busway
Meski Begitu, O-Bahn Bukan Satu-satunya Solusi
O-Bahn mungkin saja unggul dari BRT dan LRT, Namun sejumlah pengamat transportasi menilai O-Bahn belum mendesak untuk dibangun.
Konsep BRT seperti Transjakarta sebenarnya sudah cukup. Karena dengan BRT pemerintah bisa menghemat dana 20% dan lebih cepat mewujudkannya di kota-kota lain.
Jika kajian yang dilakukan Kemenhub disetujui, rencananya O-Bahn akan beroperasi di kota-kota besar Indonesia seperti Surabaya, Medan, dan Bandung.
Transportasi sekaligus Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai Teknologi O-Bahn tidak murah, memakan biaya dan waktu yang lama untuk dipelajari.
Pengamat"Teknologi yang tidak murah, masih asing di Indonesia, butuh waktu menyiapkan prasarana pendukung dan mempelajari teknologinya. Untuk lima tahun ke depan cukup sebagai wacana saja."
Pengamat Tak Setuju RI Kembangkan Transportasi O-Bahn
Lagi pula, Transjakarta sudah ideal dijadikan contoh sistem transportasi terintegrasi untuk kota lain. Tidak perlu menggelontorkan dana untuk insfrastruktur seperti trek khusus.Â
Sebab kunci dari kelancaran BRT adalah sterilnya jalur. Lebih baik dana tersebut digunakan untuk membeli armada BRT yang lebih banyak agar bisa mengangkut banyak penumpang dalam satu jam.
Baca Juga: Pemahaman BRT di Indonesia yang Salah Kaprah
Jika sumber dana untuk membangunnya terbatas, dikhawatirkan pelayanan O-Bahn tidak maksimal. Penumpang akan menunggu lama karena bus yang tersedia sedikit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H