Ketika istilah BRT disebutkan, mungkin yang terbayang bagi kita adalah sebuah bus yang memiliki pintu tinggi dan bisa mengangkut orang banyak dari halte atau terminal. Jika cukup seperti itu, sebenarnya pemahaman tersebut kurang tepat karena konsep BRT tidak sesederhana itu.
BRT (Bus Rapid Transit) atau yang biasa disebut busway sejak awal kemunculannya di Jakarta dengan brand TransJakarta, memang membawa konsep yang baru dalam perilaku bertransportasi umum yang aman, tertib, dan nyaman.
Bus dan halte Transjakarta didesain berpintu tinggi, kebiasaan penumpang yang dulunya menunggu di sembarang tempat berubah, kini bisa tertib naik dan turun di halte.
Peluncuran koridor pertamanya 15 tahun lalu dengan rute Blok M-Kota dinilai sukses dan efektif mendorong masyarakat untuk beralih ke transportasi umum.
Pengembangan rutenya pun mengagumkan, TransJakarta kini menyandang predikat sebagai BRT terpanjang di dunia dengan total jangkauan 231 kilometer yang tersebar di 13 koridor.
Seiring waktu, Ide membangun jaringan BRT kemudian menular ke kota lain. Suksesnya TransJakarta dijadikan tolok ukur oleh daerah lain untuk mewujudkan jaringan transportasi umum. Namun entah mengapa pemerintah daerah sepertinya kurang mengkaji konsep BRT dengan benar.
Seakan dipaksakan, halte-halte bus dibangun di atas trotoar yang sempit, armada yang disediakan sedikit, tidak ada rencana jangka panjang pengembangan, hingga halte yang dibangun asal jadi atau bahkan terbengkalai.
Sehingga yang bisa saya tangkap dari implementasi BRT di daerah adalah hanya mengubah persoalan kultur bertransportasi umum masyarakat yang biasanya menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat. Sehingga satu-satunya cara adalah meniru desain bus TransJakarta, dan memanggilnya dengan julukan BRT.
Namun tidak cukup sampai di situ
Sebagaimana tercantum dalam website Institute for Transportation & Development Policy (ITDP), sebuah layanan bus perkotaan untuk bisa dikatakan sebagai Bus Rapid Transit harus memiliki 38 kriteria dasar.
Kriteria dasar layanan BRT pada umumnya sama seperti layanan berbasis rel perkotaan/metro. Untuk itu, secara infrastruktur BRT harus memiliki jalur khusus atau terpisah dari kendaraan lain untuk menjaga ketepatan waktu.
Bangunan halte yang besar untuk mengakomodasi pergerakan penumpang dengan jarak ideal antar halte adalah 300-500 meter.
Jadwal bus terukur dengan frekuensi kedatangan sesering mungkin, menggunakan gerbang pembayaran elektronik sebagai alat pembayaran untuk mempercepat transaksi.
Hal yang terpenting lainnya adalah layanan BRT harus terintegrasi dengan moda transportasi lain untuk melengkapi perjalanan dari titik awal hingga titik akhir tujuan penumpang. Untuk itu, Koridor BRT juga harus dikelilingi oleh jalur pejalan kaki yang berkualitas baik.
The BRT corridor should integrate into the rest of the public transport network, saving time and providing a seamless, high-quality experience -- ITDP
Oleh karena itu, layanan BRT merupakan layanan angkutan massal berstandar tinggi. Posisinya pun sejajar dengan kereta metro/MRT/LRT dan tidak heran banyak negara berkembang yang membangun jaringan transportasi BRT karena jumlah penumpangnya bisa menyaingi transportasi berbasis rel yang jauh lebih mahal.
Mari Kita Lihat Kembali BRT di Daerah Kita
Sesuai standar yang telah tercantum di atas. Kondisi koridor BRT di Jakarta saja bahkan ada yang belum memenuhi kriteria. Seperti jalur yang belum steril karena diserobot atau jalur yang bercampur seperti di koridor 9 dan 11.
@PT_TransJakarta kayanya susah banget ya bikin steril jalur lampu merah slipi ke arah slipi Jaya. Sering banget dipenuhi mobil jadi bikin macet. Rush hours gini kan bis penuh, klo lancar kan enak. Tolong dibantu dong. pic.twitter.com/y5v4IjriL1--- Windianingrum (@windianingrum) January 17, 2019
Baca juga: Transjakarta Sudah Punya 122 Rute, Kenapa Jakarta Masih Macet?
Sebab tujuan orang-orang naik BRT adalah karena cepat (Rapid) dan terukur. Kita bisa memprediksi akan sampai jam berapa di tujuan karena sudah terjadwal layaknya kereta. Jika Bus terjebak macet, maka siapa yang menjamin ketepatan waktu?Â
Di daerah lain seperti Yogyakarta, Solo, Semarang, Palembang, Tangerang, dan Bogor jalur khusus sebagai standar BRT pun tidak ada. Jarak antar bus tidak terukur dan halte terletak di pinggir jalan atau justru dibangun di atas trotoar yang menghalangi pejalan kaki.
Baca: Kala Bus Trans Jogja Semakin Jarang Didapat
Hingga saat ini, hanya Jakarta yang memiliki sistem BRT yang diakui oleh internasional berdasarkan penilaian ITDP. Pada tahun 2015, Layanan Transjakarta mendapatkan predikat perunggu atau bronze dalam rentang nilai 55-70 di enam koridor.
Predikat emas diterima oleh sistem BRT di Guangzhou, Tiongkok; Lima, Peru; Guadalajara, Meksiko; Bogota dan Medellin, Kolumbia dan Guatemala City di Guatemala. Sedangkan untuk perak adalah sistem BRT di Istanbul, Turki; Seichang, Tiongkok; dan Orlando,AS. -- Detik.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H