Mohon tunggu...
M Aulia Rahman
M Aulia Rahman Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

City life enthusiasts

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyikapi Perbedaan Keyakinan dan Batasan-batasannya

28 Oktober 2015   14:55 Diperbarui: 8 Juni 2024   09:38 2821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: regional.kompas.com

tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu” – Gus Dur

 Kita hidup dalam negara yang penduduknya heterogen. artinya memiliki bermacam-macam agama, suku, adat, ras, dan keyakinan. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan kita akan menjalin hubungan dengan seseorang ataupun kelompok yang berbeda dengan keyakinan kita. Sehingga sudah sepatutnya kita menyadari pentingnya bersikap toleransi antar agama.

Toleransi adalah sebuah bentuk sikap dari adanya persinggungan hak-hak individu dalam masyarakat atau hak-hak masyarakat dalam negara. Istilah toleransi sendiri ini janganlah didramatisir, dibuat konsep sedemikian rupa lalu mencampur-aduknya. Jadi sudah ada petunjuk jelas di dalam agama, mana yang boleh, dan mana yang tidak boleh.

Akhir-akhir ini memang banyak orang memberikan makna toleransi sengaja agar masyarakat tidak paham. Ada orang yang sengaja mendistorsi makna toleransi dengan tujuan tertentu sehingga membuat makna toleransi menjadi rancu. 

Toleransi bukanlah menyamaratakan seluruh agama-agama yang ada, melainkan kita menghormati keyakinan orang lain. Meskipun kita sudah mengetahui agama yang kita yakini adalah yang benar, setidaknya biarlah mereka tetap pada keyakinannya masing-masing.

Agama Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin yang sangat mengajurkan agar umatnya hidup memiliki rasa toleransi baik sesama muslim maupun terhadap agama lainnya, agar tercipta kehidupan yang damai, rukun dan tentram. Islam sangat mengajarkan agar umatnya hidup saling memenuhi atau memperhatikan hak-hak orang lain. 

Contohnya ketika kita bertetangga dengan non Muslim, kemudian dia sakit, kita dianjurkan membesuk dan membawa makanan untuknya. Atau Ketika kita menemui orang yang sedang kecelakaan, haruslah kita menolongnya. Secara kemanusiaan, umat Islam wajib memberikan pertolongan kepada siapa pun yang membutuhkan, tidak perlu menanyakan terlebih dahulu agamanya apa.

....Dan janganlah sekali- kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al- Maidah: 8)

Bahkan dalam firman Allah yang lain, tidak ada larangan bagi kita untuk berperilaku adil kepada non muslim agar terpelihara kehidupan yang damai.

 Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang - orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang – orang yang berlaku adil. (QS Al- Mumtahanah: 8)

Rasulullah SAW sendiripun telah memberi contoh kepada kita semua. Pada masa hidupnya, toleransi antar umat beragama beliau gambarkan dalam hubungan jual beli dan saling memberi dengan non muslim. Selain itu Rasulullah SAW juga tidak enggan untuk menerima hadiah apapun dari umat lain.

Boleh menerima hadiahnya non muslim ahli harb, karena Nabi SAW menerima hadiah dari Makukis penguasa Mesir (Kitab Al-Mughni,Ibnu Qudamah, juz 13, hal 200).

Ketika Madinah berhasil dikuasai oleh umat Islam, dalam masa kekuasaan Nabi Muhammad SAW, beliau tidak melarang umat lain untuk hidup di kota itu, bahkan tidak mengusirnya. Sebagaimana diketahui, penduduk Madinah sebelumnya tidak beragama Islam. Tetapi menetapkan Jizyah yang berarti pajak bagi umat non Muslim, mereka tetap diberi kesempatan untuk tinggal di Madinah. Disisi lain, sebagai umat Islam, kita juga perlu tegas jika menyangkut masalah aqidah dan ibadah.

Batasan Bertoleransi 

Mengingat pada setiap akhir Desember, umat Kristiani merayakan hari besar agamanya yang mana mereka menda'wakan bahwa nabi Isa adalah anaknya Allah. Untuk itu jika kita mempunyai kerabat yang berbeda agama, tidak perlu bagi kita larut dalam perayaan mereka. Karena Allah sangatlah murka dangan apa yang mereka lakukan:

Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak”. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung- gunung runtuh, karena mereka menda'wakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. (QS Maryam: 88- 91)

Lain lagi Jika seorang muslim yang menjadi pejabat kemudian diundang oleh mereka sebagai pengayom. Hal ini masih dapat dimaafkan, tetapi tentu hanya seremonialnya saja dan jangan sampai mengikuti bagian dari ibadah mereka. Sehingga kalau kemudian doa bersama atas nama tuhan yang mereka anut, ini sudah termasuk dalam perilaku syirik. Tetapi bagi seorang muslim yang tidak mempunyai jabatan apa- apa, untuk apa larut dalam perayaannya?

Kita sendiri beribadah juga tidak mengharapkan kehadiran mereka dan mereka tidak mengharapkan kesaksian dari kita. Mengenai hal ini, ada perlunya kita mengetahui asal- usul diturunkannya surat Al-Kaafiruun. Dimana pada saat itu Rasulullah diakui sebagai pemimpin Mekah oleh kaum Quraisy dengan syarat kedua kubu saling menyembah apa yang diyakininya.

Dalam riwayat yang dikemukakan bahwa al- Walid bin al- Mughirah, al- 'Ashi bin Wa-il, al- Aswad bin Muthalib dan Umayyah bin Khalaf bertemu dengan Rasullah dan berkata: “Hai Muhammad! Marilah kita bersama menyembah apa yang kami sembah dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah dan kita bersekutu dalam segala hal dan engkaulah pemimpin kami”.

Maka Allah menurunkan surat Al- Kaafiruun ini yang isinya secara tegas bahwa seorang Muslim jangan mau dipengaruhi oleh orang kafir. 

Katakanlah: “Hai orang- orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS Al-Kaafiruun: 1-6).

Namun saat ini masih banyak masyarakat yang intoleran. Hal ini disebabkan kurang pahamnya terhadap agama yang diyakini, dan mudah terpengaruh atau terhasut omongan orang-orang yang ingin memecah-belahkan kedamaian antar agama. Sering kita lihat Islam dijadikan kambing hitam dalam suatu kasus. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa hal:

  • Pertama, seseorang memiliki agama, tetapi tidak mau mempelajari agamanya dengan baik.
  • Faktor yang kedua terlalu fanatik dalam mempelajari suatu ajaran, dan menganggap bahwa ajaran yang diyakini paling benar.
  • Yang terakhir mengerjakan sesuatu tanpa dicari kebenarannya, hanya mengikuti dan mempercayai apa yang dikatakan oleh pemuka agama atau orangtua mereka, tanpa mencari dasar-dasar kebenarannya.

Hal tersebutlah yang membuat kita sebagai umat beragama terlihat tidak toleran. Sebagai umat Islam, sepatutnya lah kita mengetahui batasan-batasan toleran yang sesuai dengan ajaran Islam. Agar tetap terjalin hubungan yang damai dengan penganut agama lain. Namun disatu sisi keimanan kita terhadap agama Islam jangan sampai menipis.

 *Tulisan ini juga terpublish dalam buletin “Nuansa Qolbu” Pers Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta : edisi 14

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun