Mohon tunggu...
Auliya Ihza H
Auliya Ihza H Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menyoal Mudahnya Sebuah Hoaks Tersebar

28 Juni 2021   09:44 Diperbarui: 29 Juni 2021   11:52 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia saat ini masih berada dalam masa pandemi Covid-19. Hingga Juni 2021, pandemi Covid-19 di Indonesia telah berlangsung lebih dari satu tahun, dan sebagaimana yang kita rasakan bersama, pandemi telah membuat banyak penyesuaian terjadi. Pandemi Covid-19 juga meningkatkan berbagai tren salah satunya adalah tren penggunaan teknologi komunikasi. Hampir semua kegiatan masyarakat dilakukan menggunakan teknologi, mulai dari absen kantor yang dilakukan secara digital, rapat melalui virtual bahkan ceramah atau ibadah pun juga melalui jaringan digital.

Kuatnya arus informasi dan komunikasi di era globalisasi semakin memudahkan masyarakat untuk memperoleh informasi melalui berbagai sarana, terutama internet. Tidak hanya sekadar menerima informasi, masyarakat juga memiliki kesempatan untuk menciptakan, mengolah, dan menyalurkan narasi melalui berbagai media digital, tidak terkecuali media sosial. Dengan kemudahan akses dan penggunaannya, media sosial menjadi rentan atas penyebaran hoaks.

Fenomena Penyebaran Hoaks dan Ujaran Kebencian

Fenomena penyebaran hoaks dan ujaran kebencian bukan lagi menjadi fenomena baru di lingkup global, tidak terkecuali di Indonesia. Sejak manusia mulai memahami bahwa media memiliki kekuatan untuk memengaruhi opini publik, pembuatan hoaks telah menjadi salah satu alat yang efektif untuk meraih perhatian publik.

Hoaks (Inggris: hoax), atau berita palsu, merupakan konten yang memuat informasi palsu dan disajikan sebagai berita nyata. Pada umumnya, berita palsu disebarkan secara masif dengan menggunakan bot, yaitu sebuah perangkat lunak yang berfungsi untuk menduplikasi berita (ataupun tulisan lainnya) secara otomatis dan berulang-ulang. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) pada tahun 2017, saluran penyebaran hoaks terbesar di Indonesia adalah melalui media sosial dan aplikasi chatting.

Media sosial merupakan media yang paling efektif dalam penyebaran informasi kepada publik. Keefektifannya karena tidak perlu didistribusikan lagi ke publik secara fisik, cukup hanya dengan memiliki akses internet. Penyebaran informasi pada media online sangat mudah dilakukan, karena itu penyaringan informasi pada media online tidak dapat dilakukan, semua orang yang memiliki akses ke dalam media online dapat melakukan penyebaran informasi tanpa adanya penyaringan terlebih dahulu, dan dapat dikatakan penyebaran informasi ini dilakukan dengan cara bersembunyi dibalik akun kosong (tidak menyertakan data diri) atau sumber yang tidak jelas faktanya. Karna ketidakjelasan fakta yang disebarluaskan maka informasi bersifat hoax dan dapat menimbulkan ujaran kebencian.

Penggunaan internet pada zaman milenial menjadi ajang "perang komunikasi politik". Media Sosial digunakan sebagai senjata disinformasi untuk berbagai kepentingan. Muncul cyber troops atau cyber army sebagai komponen penting dalam perang komunikasi, dan masyarakat menjadi mudah larut, tersentuh emosi dan terlibat perang komunikasi.

First Draft, sebuah organisasi nirlaba yang mendukung jurnalis, akademisi, dan teknolog dalam upaya pemberantasan hoaks di era digital memasukkan ketujuh jenis informasi palsu ke dalam dua kategori besar. Yakni, disinformasi dan misinformasi. Golongan paling besar dari pembagian hoax adalah Misinformasi, Disinformasi dan Malinformasi. Misinformasi merupakan informasi salah yang disampaikan baik sengaja maupun tidak. Sedangkan disinformasi merupakan kesengajaan dalam membuat informasi palsu dengan tujuan tertentu. Sedangkan berbeda dengan dua kategori sebelumnya, pada kategori malinformasi berita yang disampaikan adalah berita dengan informasi yang benar, namun sengaja disebarluaskan oleh pihak tertentu dengan maksud buruk. Biasanya berupa informasi dalam ranah privasi seseorang.

Hal itu, menurut koordinator riset First Draft Claire Wardle dalam artikel berjudul Fake news. It's complicated (2017).

"To understand the current information ecosystem, we need to break down three elements: The different types of content that are being created and shared, the motivations of those who create this content,and the ways this content is being disseminated."

Claire Wardle mengatakan untuk memahami kondisi informasi saat ini, perlu membaginya menjadi tiga bagian besar, yakni, melihat perbedaan berbagai jenis konten yang dibuat dan dibagikan, motivasi mereka yang menciptakan konten ini, dan bagaimana cara konten ini disebarluaskan.

Faktor yang menjadikan fenomena hoaks dan ujaran kebencian antara lain adalah perkembangan teknologi yang mendukung platform media sosial memiliki fitur "share" dan kemudahan untuk menggunakannya. Termasuk juga fitur tangkapan layar atau screenshot yang menjadikan sebuah informasi baik tulisan maupun gambar mudah sekali disebarluaskan. Terkadang apa yang tertangkap di layar bukanlah sebuah konteks yang utuh dan tentu saja ini mengandung resiko jika tersebar informasi tanpa diketahui "utuhnya" konteks tersebut. Belum lagi jika sudah tersebar secara luas dan tidak diketahui siapa pembuat pertama.

Dilansir dari Tirto, dari sebanyak 2.360 artikel hoaks pada 2020, tema yang paling banyak ditemukan adalah politik, sekitar 40,8%. Tema politik masih mendominasi, bahkan jumlahnya dua kali lipat dari tema Kesehatan yang berhubungan dengan COVID-19, sebanyak 24,1%.

Dari pengalaman saya, sering sekali mendapat informasi seputar Covid-19 dan penanganannya yang ternyata (setelah saya cek) adalah hoaks. Seperti bagaimana Covid-19 sebetulnya adalah sebuah konspirasi, atau bagaimana pengaruh meminum minyak kayu putih terhadap kesehatan, pernyataan seorang dokter dari lingkup Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dsb. Apakah Anda juga pernah mendapat pesan serupa?

Bono Setyo, dalam tulisannya yang berjudul Media Sosial dan Hoax, menyebutkan bahwa kurangnya kesadaran untuk bertabayyun atau meneliti kebenaran informasi yang didapatkan, juga dianggap sebagai salah satu faktor mengapa hoaks mudah sekali menyebar di Indonesia. Beritanya darimana, penulisnya siapa, kapan terjadinya, apakah sesuai dengan kejadian sesungguhnya atau tidak, bahkan bila perlu membandingkan sumber berita satu dengan yang lain. Hal ini agar mengetahui berita mana yang benar dan berita mana yang salah. Karena kebenaran itu mahal harganya. Alasan pentingnya tabayyun dalam menerima berita adalah untuk menghindari dari sikap asal membagikan berita. Ketidakmauan bertabayyun ini erat kaitannya dengan rasa suka atau ketidaksukaan terhadap sesuatu, dalam artian ada bumbu opini pribadi dalam memaknai sebuah informasi. Opini pribadi ini dapat menjadi lebih serius apabila dikeluarkan oleh seorang influencer karena peluang untuk menyebarnya informasi tersebut menjadi lebih besar.

Kita juga perlu melihat kredibilitas sebuah portal berita saat mendapatkan sebuah informasi yang sumbernya adalah website atau portal berita, karena ada 43.000 portal berita yang tidak terverifikasi. Kebenaran berita yang ada dalam portal berita patut untuk dipertanyakan. Hasrat meragukan atau merasa sangsi atas suatu informasi ini juga perlu dimiliki agar terhindar dari hoaks.

Saya sendiri sering merasa sangsi apabila ada informasi yang judulnya begitu berlebihan, apalagi terdapat keterangan "Diteruskan berkali-kali".

Salah satu cara untuk mengecek apakah informasi yang saya terima itu termasuk hoaks atau tidak, adalah dengan mengkopi teks yang ada, lalu saya tempel pada search bar dan melihat hasil penelusuran yang ada. Sudah banyak platform yang melakukan verifikasi informasi dan memberikan penjelasan apakah informasi tersebut hoaks apa tidak. Platform tersebut juga memiliki fitur bagi masyarakat yang ingin melaporkan berita hoaks. Beberapa diantaranya adalah TurnBackHoax.id, HBT - Hoax Buster Tools, dan Cekfakta.com.

Untuk media sosial Facebook, gunakan fitur Report Status dan kategorikan informasi hoaks sebagai hatespeech/ harrasment/ rude/ threatening, atau kategori lain yang sesuai. Jika ada banyak aduan dari netizen, biasanya Facebook akan menghapus status tersebut. Untuk Google, bisa menggunakan fitur feedback untuk melaporkan situs dari hasil pencarian apabila mengandung informasi palsu. Twitter memiliki fitur Report Tweet untuk melaporkan cuitan yang negatif, demikian juga dengan Instagram. Kemudian, bagi pengguna internet, kita dapat mengadukan konten negatif ke Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan melayangkan e-mail ke alamat aduankonten@mail.kominfo.go.id.

Banyaknya berita hoaks yang menyebar di berbagai media tidak lepas dari peran dari pembuat berita palsu yang terorganisir. Hal seperti ini harus diperhatikan oleh masyarakat agar tidak salah memahami. Tidak jarang ujaran kebencian menjadi sebuah tren dalam membuat berita hoaks. Ujaran kebencian yang telah menyebar di masyarakat menjadi motivasi adu domba. Karena seringkali, ujaran kebencian dikaitkan dengan persoalan SARA, sehingga mudah terbawa emosi dan akhirnya terjadi perselisihan.

Semoga kita terhindar dari hoaks, dan kita juga dapat lebih cermat saat menyebarkan informasi atau mendapatkan informasi sekalipun itu adalah dari keluarga atau orang terdekat kita.

*Artikel ini merupakan salah satu tugas pada mata kuliah Media Studies yang diampu oleh Dosen Prof. Dr. Iswandi Syahputra, S. Ag., M.Si. dan Drs. Bono Setyo, M. Si.,

Ditulis oleh Auliya Ihza Husnudldlon (20200012111)

Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies konsentrasi Kajian Komunikasi Masyarakat Islam - Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun