Meningkatnya pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara menjadi landasan utama penerapan tourism tax di Indonesia tahun depan. Jumlah wisatawan mancanegara pada 2023 mencapai angka 735.947 kunjungan atau meningkat sebesar 503,34% dibandingkan tahun 2022 yang berjumlah 121.978 kunjungan. Meskipun pariwisata merupakan sumber pendapatan utama bagi sebagian besar negara berkembang, peningkatan aktivitas pariwisata juga menimbulkan berbagai masalah (Hernandez-Maskivker et al., 2021). Untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah perpajakan melalui tourism tax yang dianggap efektif untuk menginternalisasi biaya eksternal dan memperoleh manfaat yang adil dari pariwisata bagi masyarakat tuan rumah (Kato et al., 2011).
The World Tourism Organization mendefinisikan tourism tax sebagai pajak yang berlaku khusus untuk wisatawan dan industri pariwisata. Sementara UNWTO (1998) mendefinisikan tourism tax sebagai "pajak yang diterapkan secara khusus untuk wisatawan dan sektor pariwisata atau, sebagai alternatif, jika tidak spesifik untuk sektor pariwisata, pajak yang diterapkan secara berbeda di destinasi wisata." Secara umum, tourism tax mencakup pajak masuk dan keluar seperti visa, izin perjalanan atau pajak keberangkatan penduduk; pajak perjalanan udara; pungutan bandar udara, pelabuhan laut, dan perbatasan jalan; pajak jalan raya, perjudian; PPN; pajak lingkungan (UNWTO, 1998). Pada tahun 2014 dalam "Tourism Trends and Policies", OECD juga mengelompokkan pajak, biaya, dan pungutan yang berkaitan dengan pariwisata menjadi 6 kategori, yaitu: kedatangan dan keberangkatan; perjalanan udara; hotel dan akomodasi; penurunan tarif konsumsi, lingkungan; dan insentif.
Tourism tax dianggap sebagai kebijakan yang berorientasi global karena telah dilakukan di banyak negara dengan tujuan memaksa wisatawan yang memperoleh manfaat dari layanan publik menanggung biaya pariwisata yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk penerimaan negara dan mendukung investasi publik dalam pengembangan perlindungan lingkungan dan pembangunan infrastruktur untuk mengelola dampak pariwisata. Pajak ini juga mendorong peningkatan konsumsi wisatawan dan menciptakan lapangan kerja pada sektor pariwisata. Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Vinsensius Jemadu mengatakan bahwa tourism tax akan mulai diterapkan di Bali pada bulan Februari 2024 dan dalam waktu dekat akan diberlakukan di lima destinasi wisata utama seperti Danau Toba (Sumatera Utara), Candi Borobudur (Jawa Tengah), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), dan Likupang (Sulawesi Utara).
Kelebihan
Melalui penerapan tourism tax, pemerintah dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur dan mengembangkan permintaan pariwisata jangka panjang. Selain itu, pendapatan dari pajak merupakan bagian besar dari basis pendapatan perekonomian, mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, dan sangat menentukan produk domestik bruto, lapangan kerja, pemanfaatan sumber daya, serta menopang kebutuhan lingkungan dan ekonomi masyarakat setempat yang mungkin mengalami degradasi akibat aktivitas wisata yang masif. Tourism tax dikenakan pada wisatawan (bukan penduduk setempat), namun memberikan berbagai manfaat bagi penduduk setempat dalam peningkatan layanan dan investasi infrastruktur seperti jalan, bandara, pusat konvensi, pertamanan, papa tanda sehingga meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat, sementara dana daerah dari pemerintah dapat diarahkan untuk kepentingan publik lainnya, seperti pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
George (2010) menyatakan bahwa tourism tax dapat menjadi pajak perlindungan warisan budaya terhadap wisatawan yang mengonsumsi aset budaya dapat memberikan sumber daya yang besar untuk melestarikan warisan budaya khususnya untuk aset warisan budaya yang berwujud. Dengan tourism tax, wisatawan tidak hanya dapat mengapresiasi perlindungan warisan budaya setempat tetapi juga berkontribusi terhadap kebijakan pelestarian budaya untuk generasi mendatang dan mencapai kesetaraan (Chea, 2013). Penerimaan dari tourism tax dapat ditujukan untuk mendanai pengembangan, pemeliharaan, dan perlindungan lingkungan serta pengelolaan dampak wisatawan di lingkungan berbasis alam terutama yang menjadi tempat pariwisata dengan lebih baik. Tourism tax juga dapat berpotensi sebagai langkah strategis untuk mendukung pencapaian target net zero emission dan terus berupaya bertransisi menuju ekonomi berkelanjutan sebelum tahun 2040.
Kekurangan
Selain kontribusi ekonominya, muncul juga dampak yang semakin besar mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan lingkungan terutama karena melebihi daya dukung berbagai situs warisan alam (Fresneda-Fuentes et. al., 2022) meliputi meningkatnya kontaminasi atau polusi tanah, air, dan udara; penimbunan sampah; rusaknya lahan pertanian maupun perkebunan; kemacetan di tempat-tempat menarik; terancamnya satwa liar dan habitat; serta penipisan sumber daya akibat penggunaan air yang berlebihan.
Destinasi pariwisata rentan terhadap eksternalitas negatif pada bidang sosial dan budaya yang berpengaruh terhadap kemerosotan dan penipisan sumber daya lokal serta penurunan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian seperti menimbulkan masalah tata kelola di destinasi yang mengalami over tourism (Eckert dkk. 2019), angka kriminalitas yang cukup tinggi, kejenuhan dalam pelayanan kota dan layanan kesehatan masyarakat, degradasi warisan budaya dan seni arsitektur sehingga menimbulkan tekanan pada infrastruktur.
Meskipun di banyak negara tourism tax merupakan sumber pendapatan yang substansial, namun penerapan tarif pajak yang tinggi dapat mengurangi daya saing destinasi wisata apabila pajak yang dipungut tidak digunakan untuk pengeluaran terkait pariwisata karena biaya yang harus ditanggung oleh wisatawan semakin meningkat dan berakibat menurunkan profitabilitas pariwisata. Selanjutnya Adedoyin et al (2021) menekankan bahwa peningkatan tourism tax tanpa peningkatan belanja publik yang signifikan bersifat kontraktif dan akibatnya merugikan industri pariwisata. Dalam jangka panjang, hal ini juga menurunkan total pendapatan yang dikumpulkan pemerintah. Bagi penduduk negara tujuan wisata di pulau-pulau kecil sangat bergantung pada impor produk-produk konsumen dasar dan memiliki kekuatan pasar yang sangat kecil sehingga mereka cenderung menjadi pengambil harga di pasar dunia sehingga sangat rentan terhadap perubahan di pasar internasional yang mungkin terjadi karena perubahan kebijakan perpajakan. Dengan kata lain, kebijakan tourism tax yang baru akan diterapkan dapat mengganggu perekonomian pasar.
Saran
Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi tercapainya penerimaan tourism tax yang optimal dan manfaat dari instrumen fiskal tersebut. Pertama, penting bagi wisatawan untuk diberi tahu mengapa uang tersebut diperlukan, dibutuhkan dan kemana hal tersebut akan diarahkan serta menyadari manfaat yang diperoleh dari pembayaran tourism tax karena hal ini akan berdampak positif terhadap dukungan mereka terhadap opsi pembayaran dan willingness to pay (WTP). Penelitian terdahulu menunjukan bahwa menginformasikan pengunjung tentang penerapan tourism tax yang dipungut dapat meningkatkan WTP mereka (Eagles et al., 2002) dan kesediaan membayar dipengaruhi secara signifikan oleh pengetahuan sebelumnya tentang tourism tax (Tovmasyan, 2021). Lebih lanjut, Tsvetanova dan Seetaram (2019) membuktikan bahwa wisatawan memiliki kesadaran lebih besar terhadap masalah lingkungan dan lebih bersedia membayar untuk mengurangi eksternalitas negatif.
Untuk mengurangi dampak ini, diperlukan investasi dan alokasi sumber daya yang memadai dalam pengurangan kerusakan lingkungan, menghalangi pariwisata massal, perlindungan ekologi dan lingkungan, promosi produk pariwisata ramah lingkungan dan mendorong tindakan yang lebih ramah lingkungan sehingga menciptakan keseimbangan antara kegiatan pariwisata dan konservasi lingkungan. Namun sayangnya, pemerintah kerap mengabaikan masalah lingkungan karena hal tersebut dianggap barang bersama (tragedy of commons) sehingga sumber daya keuangan yang terbatas digunakan untuk hal lain (kemiskinan, pendidikan, kesehatan).
Kedua, strategi pemasaran juga harus diperhatikan sebelum penetapan tourism tax karena menjelaskan mengapa wisatawan harus membayar lebih untuk menikmati destinasi wisata tersebut. Dengan cara ini, wisatawan menerima informasi yang relevan dan tepat yang memungkinkan untuk meningkatkan pengambilan keputusan dan menghasilkan ekspektasi yang memadai tentang tujuan wisata. Oleh karena itu, penting untuk menghindari kesalahan dalam melakukan transformasi yang dangkal, didukung oleh strategi pemasaran yang sederhana.
Ketiga, perumus kebijakan perlu memahami dan mempertimbangkan preferensi wisatawan sehingga penerapan tourism tax memiliki tingkat penerimaan lebih besar. Hal ini berkaitan dengan kesediaan wisatawan untuk membayar sejumlah uang tambahan agar sebuah destinasi menjadi menarik, harus ada investasi publik dalam pembangunan infrastruktur umum dan pariwisata atau peningkatan layanan publik sebagai sarana untuk meningkatkan pengalaman wisatawan. Selaras dengan Lindsey dan Holmes (2010) yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan direkomendasikan untuk mendapatkan informasi yang berguna dari masyarakat yang akan terpengaruh oleh keputusan politik.
Keempat, tourism tax yang berkelanjutan memerlukan perencanaan yang cermat dan efektif oleh pembuat kebijakan sebelum memberlakukan pajak tersebut agar dapat lebih memenuhi biaya pengelolaan seluruh sumber daya sehingga kebutuhan ekonomi, sosial, dan estetika dapat terpenuhi, sekaligus menghormati integritas budaya, proses ekologi yang esensial, keanekaragaman hayati, dan sistem pendukung kehidupan (UNWTO, 2003).Â
Dalam beberapa dekade terakhir, telah terjadi diskusi yang signifikan mengenai peningkatan yang tak terbendung dalam pengeluaran publik untuk kegiatan wisata, dengan adanya tuntutan agar pemerintah merefleksikan sumber pendanaan yang saling melengkapi untuk mempertahankan semua kegiatan tersebut. Adedoyin dkk. (2021) juga menekankan bahwa meningkatkan pajak pariwisata tanpa disertai dengan peningkatan pengeluaran publik yang signifikan secara korelatif akan menyebabkan kontraksi dan akibatnya merugikan industri pariwisata, dengan demikian menyoroti tujuan fiskal ekstra dari pajak dan biaya.
Kelima, mengidentifikasi variabel sosio-demografis dan karakteristik perjalanan yang menumbuhkan efektivitas dalam perumusan dan implementasi kebijakan untuk mencapai tujuan terkait dengan pengelolaan berkelanjutan dan pengalaman wisatawan di destinasi (Durn-Romn, 2020). Di sisi lain, pemerintah dihadapkan pada pasar pariwisata yang semakin tersegmentasi yang dibentuk oleh kelompok-kelompok wisatawan dengan kebutuhan dan minat berbeda menjadi tantangan signifikan yang harus dihadapi oleh perumus kebijakan dan pengelola destinasi wisata. Bagi masing-masing negara, menerapkan tarif yang berbeda untuk pasar sumber yang berbeda dapat membantu memaksimalkan total pendapatan tourism tax sekaligus memastikan bahwa jumlah kedatangan wisatawan tetap terjaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H