Mengapa Menjadi Perfeksionis Sulit Diterima di Lingkungan Sosial?
Perfeksionisme sering kali dianggap sebagai kualitas yang positif karena mencerminkan komitmen untuk mencapai hasil terbaik. Namun, di banyak lingkungan sosial, termasuk di sekolah, perfeksionis sering kali mengalami penolakan. Mengapa bisa demikian?
Fenomena Penolakan Perfeksionis di Lingkungan Sosial
Di lingkungan sekolah, terutama dalam kelompok belajar, siswa perfeksionis sering kali tidak disukai oleh rekan-rekan mereka. Salah satu alasannya adalah karena mereka cenderung menetapkan standar yang sangat tinggi, baik untuk diri mereka sendiri maupun orang lain. Standar ini sering kali dianggap tidak realistis dan membebani, sehingga menimbulkan tekanan dan ketidaknyamanan dalam kelompok.
Penelitian Pruett (2004)
Penelitian Pruett (2004) menemukan bahwa siswa yang memiliki kecenderungan gifted, atau berbakat, cenderung menunjukkan tanda-tanda perfeksionisme lebih tinggi dibandingkan dengan siswa non-gifted.
Anak-anak gifted sering kali memiliki ekspektasi tinggi terhadap diri mereka sendiri, didorong oleh kemampuan kognitif yang lebih maju dan dorongan untuk mencapai kesempurnaan. Pruett menyatakan bahwa tekanan dari orang tua dan lingkungan untuk memaksimalkan potensi akademis mereka sering kali memicu munculnya perilaku perfeksionis.
Mereka tidak hanya mengejar hasil yang sempurna tetapi juga cenderung mengalami kecemasan dan ketakutan terhadap kegagalan, yang dapat mempengaruhi kesejahteraan emosional mereka.
Parenting dan Perfeksionisme
Pola asuh yang cenderung membuat anak menjadi perfeksionis biasanya ditandai dengan:
- Ekspektasi Tinggi: Orang tua yang selalu menuntut anak mereka untuk mendapatkan nilai tertinggi atau menjadi yang terbaik di semua bidang.
- Kritik Berlebihan: Orang tua yang sering mengkritik dan tidak memberikan apresiasi yang cukup untuk usaha anak.
- Kontrol yang Ketat: Orang tua yang mengontrol setiap aspek kehidupan anak, mulai dari kegiatan sehari-hari hingga pilihan pendidikan dan karier.
- Kurangnya Dukungan Emosional: Orang tua yang tidak memberikan dukungan emosional dan cenderung fokus pada pencapaian materialistik atau akademis.
Penelitian Vieth dan Trull (1999) mengidentifikasi tiga dimensi utama perfeksionisme: self-oriented, other-oriented, dan socially-prescribed. Self-oriented perfeksionisme melibatkan menetapkan standar tinggi untuk diri sendiri dan berusaha keras untuk mencapainya.
Other-oriented perfeksionisme mengacu pada harapan tinggi yang seseorang miliki terhadap orang lain, sering kali mengkritik atau kecewa ketika orang lain tidak memenuhi standar tersebut.
Socially-prescribed perfeksionisme terjadi ketika individu merasa tekanan eksternal dari orang lain atau masyarakat untuk menjadi sempurna, percaya bahwa mereka harus memenuhi ekspektasi yang sangat tinggi untuk diterima atau dihargai.
Ketiga dimensi ini menggambarkan berbagai cara bagaimana perfeksionisme dapat berkembang dan mempengaruhi perilaku serta interaksi sosial.