Mohon tunggu...
Auliya Ahda Wannura
Auliya Ahda Wannura Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Seorang Penulis freelance dan solo traveler.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tuntutan Kehidupan dan Masyarakat Membuat Pria Sulit Mengungkapkan Perasaan Mereka

12 Desember 2023   14:05 Diperbarui: 12 Desember 2023   14:15 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/5JOVuQ2

Tuntutan Kehidupan dan Masyarakat Membuat Pria Sulit Mengungkapkan Perasaan Mereka

Pria, tanpa disadari, seringkali terperangkap dalam jaringan norma sosial yang menuntut mereka untuk menunjukkan kekuatan dan menutupi ekspresi perasaan. Patriarki, sebagai bagian besar dari struktur masyarakat, memainkan peran kunci dalam membentuk persepsi ini. Artikel ini akan menggali lebih dalam tentang bagaimana tuntutan kehidupan dan masyarakat membuat pria sulit mengungkapkan perasaan mereka.

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk mengakui bahwa pria, seperti wanita, adalah makhluk emosional. Mereka juga merasakan kegembiraan, kesedihan, kecemasan, dan cinta. Sayangnya, dalam budaya yang sering memuja konsep maskulinitas yang tangguh, terkadang sulit bagi pria untuk merangkul dan mengungkapkan sisi emosional mereka.

Tekanan Patriarki untuk Menyembunyikan Perasaan

Patriarki telah lama menekan pria untuk menutupi perasaan mereka. Norma-norma yang diwariskan dari generasi ke generasi seringkali memandang bahwa menunjukkan kelemahan atau ketidakpastian adalah tanda ketidakmampuan seorang pria. Ini menciptakan tekanan besar bagi pria untuk selalu menunjukkan ketangguhan dan menghindari ungkapan emosional yang dianggap "lemah."

Pria Dipaksa untuk Menjadi "Kuat"

 

Pemahaman umum tentang kekuatan dalam konteks maskulinitas seringkali menyiratkan ketidakmampuan untuk merasa takut, ragu, atau rentan. Pria ditekan untuk menjadi 'kuat,' terlepas dari tantangan atau kesulitan yang mereka hadapi. Kebutuhan untuk terus-menerus menunjukkan ketangguhan ini dapat membuat mereka merasa terisolasi ketika mereka sebenarnya membutuhkan dukungan dan pemahaman.

Patriarki dan Stereotip Pekerjaan

Selain itu, patriarki juga memberikan pandangan stereotip tentang pekerjaan yang sesuai dengan jenis kelamin. Pekerjaan seperti memasak dan menyanyi sering kali dianggap sebagai profesi feminin, dan pria seringkali merasa malu atau tidak layak jika tertarik pada bidang-bidang ini. Ini menciptakan batasan bukan hanya dalam karir mereka tetapi juga dalam cara mereka mengekspresikan diri.

Dampak pada Kesehatan Mental Pria

Jurnal ilmiah telah secara konsisten menunjukkan bahwa tuntutan maskulinitas dan tekanan sosial yang melekat dalam patriarki dapat meningkatkan risiko pria untuk mengalami depresi. Merasa terkekang oleh ekspektasi sosial dan kesulitan dalam berbicara tentang perasaan mereka dapat menciptakan beban emosional yang sulit diatasi.

Dukungan dan Semangat untuk Pria

Meskipun tantangan yang dihadapi oleh pria dalam mengungkapkan perasaan mereka, ada perubahan yang terjadi di masyarakat. Semakin banyak kampanye yang muncul untuk menghancurkan stereotip gender dan mengajak pria untuk lebih terbuka tentang perasaan mereka. Dukungan dan semangat untuk pria yang memilih untuk melawan norma-norma yang telah lama ada adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih inklusif dan memahami.

Mengakhiri Teater Maskulinitas

Untuk mengakhiri teater maskulinitas yang membatasi kesejahteraan emosional pria, penting bagi masyarakat untuk lebih mendukung dan menerima kerentanan pria. Ini melibatkan mendidik diri sendiri dan orang lain tentang keberagaman ekspresi emosional serta merangkul keberagaman pekerjaan dan minat tanpa memandang jenis kelamin.

Dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan masyarakat, pria harus diberikan ruang untuk merangkul dan mengungkapkan perasaan mereka tanpa rasa takut atau malu. Menyadari bahwa pria juga manusia yang memiliki dimensi emosional yang perlu diakui dan dihargai adalah langkah pertama untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Pada akhirnya, membuka diri untuk berbicara tentang perasaan bukanlah kelemahan, tetapi keberanian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun