Mohon tunggu...
Muhammad Aulia
Muhammad Aulia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Jangan Mati di Jakarta

16 November 2017   15:31 Diperbarui: 16 November 2017   18:08 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meninggal dunia merupakan fenomena yang sangat menyedihkan bagi orang yang ditinggalkan. Tidak ada satu orangpun yang ingin meninggal hari ini bahkan besok pun pasti tidak ada yang menginginkannya. Namun kematian adalah hal yang pasti terjadi bagi semua makhluk yang memiliki nyawa oleh karena itu kematian haruslah dipersiapkan agar tidak menimbulkan masalah bagi orang yang ditinggalkannya dan mampu mempertanggungjawabakan segala perbuatannya kepada tuhan yang maha esa.

seseorang yang meninggal dunia tidak sesederhana yang dipikirkan. Meninggal dunia berarti meninggalkan semua hal yang bersifat keduniaan tetapi apakah ada orang yang mau meninggalkan penderitaan dan mewarisi masalah kepada keluarga yang ditinggalkan ? tentu saja tidak.

DKI Jakarta adalah Provinsi dengan luas 740 Km persegi dengan jumlah penduduk 10.187.595 jiwa dengan kepadatan penduduk 13.530 jiwa/Km persegi. Artinya dalam 10 x 10 meter luas tanah di jakarta terdapat satu jiwa, dan apabila diumpamakan seluruh warga jakarta berbaris maka setiap berjalan 10 meter akan ditemukan orang yang berbeda. Belum lagi luas wilayah jakarta digunakan untuk berbagai kebutuhan baik itu kebutuhan papan, sanitasi, dan berbagai kebutuhan hidup lainnya. 

Lantas bagaimana dengan lahan pertanian ? sudah barang tentu sangat minim dan tidak akan mampu mencukupi kebutuhan pangan bahkan untuk satu per delapan jumlah masyarakat provinsi DKI Jakarta. Permaslahan kepadatan penduduk ini menjadi permaslahan menahun yang dampaknya terjadi setiap hari.

Kepadatan penduduk ini menimbulkan problema kehidupan bagi seorang anak manusia yang dilahirkan hingga menuju alam baka. Kepadatan penduduk menimbulkan permasalahan kemiskinan, kemacetan, dan berbagai prahara sosial, bahkan sebuah keluarga mungkin kedepannya akan bingung  merasa sedih atau merasa bingung karena kerumitan penyelenggaraan prosesi pemakaman mulai dari biaya penguburan, biaya retribusi sewa tanah, balum lagi jika ada pungli dari preman yang mengaku aparat penjaga keamanan, bahkan untuk kebudayaan orang Indonesia apabila ada yang meninggal dunia akan menjalankan tradisi tertentu yang bisa menguras biaya. Maka tidak mengherankan jika banyak orang yang meninggal dibiarkan begitu saja, dan banyaknya kuburan tak terurus bahkan kuburan tumpuk.

Mungkin apabila dilihat dari sekedar materi bagi orang yang berkecukupan itu semua tidak emberatkan tetapi tidak semua orang itu memiliki nasib hidup yang berkecukupan, untuk makan saja satu hari sekali sudah sangat beruntung, belum biaya rumah, sekolah, kesehatan, dan segelintir biaya primer lainnya. Hal tersebut semakin buruk di Kabupaten Pulau Seribu dengan tanah terbatas maka seluruh biaya penanganan kematian lebih rumit dan terbilang mahal, maka tidak heran jika ada ungkapan hidup segan mati tak mau. Untuk hidup saja harus susah mati-matian bahkan untuk matipun menyusahkan yang hidup.

Fenomena ini sangatlah memprihatinkan dan harus segera diselesaikan bukan berarti hanya menyelesaikan masalah kematian semata tetapi penyelesaian masalah secara komprehensif. Masalah terbesarnya bukan saaat menangani kematian tapi apakah kita akan mati dan meninggalkan kesusahan bagi orang lain. Terkhusus kepadatan penduduk yang menimbulkan rentetan permasalahan sosial di provinsi yang menjadi Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hanya pemerintah yang bertanggung jawab tapi semua pihak musti andil, di ujung hayat kita seharusnya meninggalkan warisan ilmu dan kenangan yang berarti bukannya meninggalkan beban dan masalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun