Mohon tunggu...
AULIA WAHYU KHOIRUNNISA
AULIA WAHYU KHOIRUNNISA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa magister di bidang Pendidikan Bahasa Inggris yang memiliki passion mendalam dalam pengembangan pembelajaran bahasa berbasis teknologi dan pengembangan materi ajar digital serta pemahaman pedagogis yang adaptif terhadap kebutuhan pembelajar modern.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Social Media dan Self-Worth: Mengukur Harga Diri dari Likes bagi GenZ

26 Oktober 2024   16:15 Diperbarui: 26 Oktober 2024   17:01 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penting bagi Gen Z untuk memahami bahwa likes bukanlah ukuran sejati dari nilai diri. Beberapa langkah yang bisa diambil untuk membangun self-worth yang lebih sehat :

  • Digital Detox Berkala

Di era digital yang serba terhubung ini, penting bagi kita untuk melakukan "digital detox" atau detoksifikasi digital secara berkala. Dengan meluangkan waktu untuk benar-benar offline, kita memberikan ruang bagi diri sendiri untuk melakukan refleksi mendalam tanpa gangguan notifikasi yang tak henti. Cobalah membatasi waktu scrolling media sosial yang seringkali tanpa disadari menghabiskan berjam-jam waktu produktif kita. Alihkan fokus pada interaksi nyata dengan orang-orang terdekat – sebuah obrolan hangat di kedai kopi atau tawa riang bersama keluarga jauh lebih berharga daripada ratusan 'like' di media sosial.

  • Membangun Validasi Internal

Ketergantungan pada likes dan komentar di media sosial seringkali membuat kita lupa bahwa validasi sejati berasal dari dalam diri. Mulailah mengembangkan hobi dan passion yang membuat Anda merasa hidup – entah itu melukis, berkebun, atau berolahraga. Tetapkan standar keberhasilan berdasarkan pencapaian personal yang nyata, bukan sekadar metrics di dunia maya. Yang tak kalah penting, perkuat hubungan interpersonal offline Anda. Sebuah pelukan hangat dari sahabat atau kata-kata penyemangat dari mentor jauh lebih bermakna dibanding ribuan follower di media sosial.

  • Literasi Media Sosial

Menjadi pengguna media sosial yang cerdas berarti memahami cara kerjanya secara mendalam. Penting untuk mengerti bagaimana algoritma bekerja dalam menampilkan konten di feed kita – konten yang kita lihat seringkali sudah diatur sedemikian rupa untuk membuat kita terus scrolling. Sadari bahwa konten viral yang tampak spontan seringkali merupakan hasil perencanaan matang dengan strategi marketing di baliknya. Kembangkan kemampuan untuk membedakan antara realitas sebenarnya dengan curated content yang telah melalui proses editing dan penyesuaian. Dengan pemahaman ini, kita bisa memanfaatkan media sosial secara lebih bijak tanpa terjebak dalam ilusi kesempurnaan yang sering ditampilkan.

Peran Orang Tua dan Pendidik

Orang tua dan pendidik memiliki tanggung jawab penting dalam membantu Gen Z mengembangkan hubungan yang sehat dengan media sosial. Beberapa aspek kunci yang perlu diperhatikan antara lain dengan diskusi terbuka tentang dampak media sosial sangat penting untuk dilakukan secara rutin dan mendalam. Orang tua dan pendidik perlu menciptakan ruang yang aman bagi Gen Z untuk berbagi pengalaman mereka di media sosial, baik yang positif maupun negatif. Dalam diskusi ini, mereka dapat membahas berbagai topik seperti cyberbullying, FOMO (Fear of Missing Out), kecanduan media sosial, dan dampaknya terhadap kesehatan mental. Dengan adanya dialog yang terbuka, Gen Z akan merasa lebih nyaman berbagi kekhawatiran mereka dan mencari bantuan ketika menghadapi masalah di dunia digital.

Kedua, pengajaran critical thinking dalam konsumsi konten merupakan keterampilan vital yang harus dikembangkan. Gen Z perlu dilatih untuk mempertanyakan kebenaran informasi yang mereka terima, mengidentifikasi berita palsu, dan memahami bagaimana algoritma media sosial bekerja. Mereka juga perlu diajarkan cara mengevaluasi kredibilitas sumber informasi, memahami konteks dari setiap postingan, dan mengenali konten yang dimanipulasi atau menyesatkan. Keterampilan berpikir kritis ini akan membantu mereka menjadi konsumen media yang lebih cerdas dan bertanggung jawab.

Yang ketiga, dukungan emosional dalam menghadapi tekanan sosial digital menjadi komponen yang sangat crucial. Orang tua dan pendidik harus peka terhadap tekanan yang dihadapi Gen Z di media sosial, seperti standar kecantikan yang tidak realistis, komparasi sosial yang berlebihan, dan kebutuhan akan validasi melalui likes dan followers. Mereka perlu memberikan dukungan emosional yang konsisten, membantu membangun kepercayaan diri yang tidak bergantung pada metrics media sosial, serta mengajarkan strategi coping yang sehat ketika menghadapi anxiety atau stress yang dipicu oleh penggunaan media sosial.

Menuju Paradigma Baru

Generasi Z perlu memahami bahwa likes, followers, dan metrics lainnya hanyalah sebagian kecil dari ekosistem digital yang lebih besar. Nilai sejati seseorang tidak dapat diukur dari angka-angka di layar smartphone. Diperlukan kesadaran kolektif untuk:

  • Menciptakan ruang yang lebih aman dan supportive di media sosial adalah tanggung jawab bersama seluruh pengguna platform digital. Hal ini dapat dimulai dengan menghindari ujaran kebencian, cyberbullying, dan komentar-komentar negatif yang dapat merusak mental orang lain. Sebaliknya, kita perlu mengembangkan budaya saling mendukung, memberikan komentar yang konstruktif, dan menciptakan lingkungan digital yang membuat setiap orang merasa diterima dan dihargai. Moderasi konten yang bertanggung jawab dan pelaporan konten berbahaya juga menjadi bagian penting dalam mewujudkan ruang digital yang lebih aman.
  • Menghargai keunikan dan autentisitas setiap individu menjadi kunci dalam membangun ekosistem digital yang lebih sehat. Setiap orang memiliki cerita, pengalaman, dan sudut pandang yang berbeda-beda yang layak untuk dihargai. Kita perlu menghentikan budaya membanding-bandingkan diri dengan orang lain atau merasa terpaksa mengikuti tren demi mendapatkan pengakuan. Yang lebih penting adalah bagaimana kita dapat mengekspresikan diri secara jujur dan tulus, sembari menghormati keberagaman yang ada di dunia digital.
  • Membangun komunitas digital yang lebih sehat membutuhkan kesadaran dan komitmen dari semua pihak. Ini termasuk mendorong interaksi yang berkualitas dibandingkan sekadar mengejar kuantitas engagement, berbagi konten yang bermanfaat dan inspiratif, serta menciptakan diskusi yang membangun. Komunitas digital yang sehat juga ditandai dengan adanya ruang untuk berdialog secara respectful, kemampuan untuk menerima perbedaan pendapat, dan fokus pada nilai-nilai positif yang dapat membantu pengembangan diri setiap anggotanya.

Media sosial akan terus menjadi bagian integral dari kehidupan Gen Z, namun penting untuk menjaga keseimbangan antara eksistensi digital dan kesehatan mental. Self-worth sejati berasal dari dalam diri, bukan dari validasi external berupa likes. Dengan pemahaman ini, Gen Z dapat memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk mengekspresikan diri dan terhubung dengan orang lain, tanpa menjadikannya sebagai satu-satunya ukuran harga diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun