Di era digital yang serba terkoneksi ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi Generasi Z yang tumbuh bersama perkembangan teknologi. Namun, di balik kemudahan berbagi momen dan terhubung dengan dunia, muncul fenomena menarik sekaligus mengkhawatirkan: pengukuran harga diri berdasarkan jumlah likes, followers, dan engagement di media sosial.
Likes Sebagai Mata Uang Digital Harga Diri
Bagi Generasi Z, likes telah berevolusi menjadi lebih dari sekadar simbol apresiasi digital. Likes kini menjadi semacam "mata uang" yang menentukan nilai sosial seseorang di dunia maya. Semakin banyak likes yang didapat, semakin tinggi pula persepsi tentang popularitas dan penerimaan sosial. Fenomena ini menciptakan lingkaran yang kompleks dimana validasi eksternal melalui media sosial menjadi tolok ukur utama dalam menilai self-worth atau harga diri.
Dampak Psikologis: Ketika Likes Mendikte Mood
Generasi Z memiliki keterikatan yang kuat dengan media sosial, di mana validasi dalam bentuk "likes" sangat memengaruhi kondisi psikologis mereka (PrakashYadav & Rai, 2017). Penelitian oleh Sherman et al. (2016) mengungkapkan bahwa remaja menunjukkan respons neural yang signifikan terhadap umpan balik sosial di media sosial, terutama saat menerima "likes". Studi lanjutan dari Sherman et al. (2018) memperlihatkan aktivasi area otak yang terkait dengan sistem penghargaan ketika seseorang menerima validasi sosial dalam bentuk "likes".
Wadsley et al. (2022) menemukan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan terkait erat dengan motif berbasis penghargaan, di mana kurangnya "likes" dapat memicu kecemasan dan masalah psikologis lainnya. Hal ini didukung oleh temuan Duerler et al. (2022) yang menjelaskan bagaimana pengaruh sosial, termasuk validasi melalui "likes", dapat memengaruhi adaptasi sosial dan kesejahteraan mental melalui mekanisme neurobiologis, khususnya melibatkan sistem serotonin.
FOMO dan Anxiety: Sisi Gelap Validasi Digital
Fear of Missing Out (FOMO) menjadi momok tersendiri bagi Gen Z. Kebutuhan untuk selalu update dan mendapat pengakuan sosial menciptakan tekanan konstant untuk menghasilkan konten yang "Instagram-worthy" atau "TikTok-able". Hal ini sering kali mengarah pada:
- Kecemasan berlebihan tentang citra diri
- Kompulsif checking media sosial
- Obsesi terhadap metrik engagement
- Perbandingan sosial yang tidak sehat
Authenticity vs Algoritma
Paradoks menarik muncul ketika Gen Z harus memilih antara menampilkan diri secara autentik atau mengikuti tren dan algoritma untuk mendapatkan likes. Banyak yang akhirnya terjebak dalam dilema; tetap menjadi diri sendiri dengan risiko mendapat sedikit engagement, atau mengikuti formula viral dengan mengorbankan keaslian.
Redefinisi Self-Worth di Era Digital