Kuartal III sampai akhir tahun 2008 merupakan periode yang sulit bagi beberapa negara terutama negara berkembang, termasuk Indonesia. Para investor mencabut modal yang sedianya sudah ditanamkan pada surat-surat berharga dan saham di negara berkembang untuk menjaga likuiditasnya sebagai dampak dari penurunan kepercayaan pada pasar keuangan global yang diawali dengan permasalahan sub-prime loans di Amerika Serikat. Dampaknya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia mengalami kekeringan likuiditas yang berakibat pada terganggunya sektor perekonomian.
Permasalahan sub-prime loans atau yang biasa disebut sebagai sub-prime mortgage di Amerika Serikat lebih kepada pelonggaran kredit pembelian rumah yang diberikan oleh perbankan kepada nasabah yang mempunyai kemampuan bayar meragukan (sub-prime). Harga rumah yang terus membumbung tinggi berbanding lurus dengan nilai agunan yang tinggi pula membuat bank-bank memiliki keyakinan tinggi untuk dengan mudahnya menggelontorkan pinjaman kepada nasabah.
Sayangnya "bubble" pecah, harga rumah anjlok, pinjaman kepada nasabah menjadi kredit macet, sehingga banyak bank mengalami kebangkrutan. Ujungnya bank investasi sekaliber Lehman Brothers, yang tetap tegap diterpa the great depression tahun 1930an kolaps.
Pasca kejatuhan Lehman Brothers, pasar keuangan di Indonesia guncang. Indeks Harga Saham Gabungan runtuh, dari yang bernilai 2.500 di pertengahan tahun menjadi 1.200 pada November 2008. Kesulitan juga dialami oleh perbankan dan korporasi dalam negeri untuk mencari pinjaman khususnya dalam dolar, apabila ada tawaran pinjaman harus dibayar dengan biaya tinggi.
Serangkaian peristiwa tersebut berpeluang membuat gamang kinerja pasar dan lembaga keuangan, lebih jauh lagi berisiko terjadi instabilitas keuangan, sehingga Bank Indonesia memerlukan kebijakan sebagai instrumen untuk memitigasi risiko yang bisa berdampak sistemik pada sistem keuangan dan kegagalan finansial yang lebih dalam.
Penilaian risiko: unsur penting kebijakan makroprudensial
Situasi ekonomi secara global di tahun 2008 tidak menentu. Indonesia dihadapkan pada masalah deleveraging global, yaitu investor menjual secara masif saham dan surat-surat berharga rupiah yang dipegangnya untuk dibelikan dolar dan devisa lain guna dikembalikan ke negara asal, akibatnya Indonesia mengalami kekeringan likuiditas. Permasalahan tersebut berasal dari risiko eksternal (dampak dari peristiwa sub-prime mortgage di Amerika Serikat) yang ternyata berpengaruh pada sistem keuangan domestik terutama pada risiko likuiditas.
Keruntuhan indeks yang telah dibicarakan di atas juga sebagai gambaran atas tergerusnya kepercayaan pada pasar domestik. Pada saat yang sama, imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) meningkat menjadi di atas 17%. Kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dari deleveraging global, dimana para pemegang surat berharga ingin secepatnya mendapatkan likuiditas (dalam rupiah) untuk selanjutnya dibelikan dolar dan dibawa pergi. Sebagaimana yang dapat kita lihat, risiko likuiditas ternyata berpengaruh dan sangat berkaitan dengan risiko pasar.
Permasalahan lain yang terjadi adalah peningkatan risiko kredit, dimana perbankan dan korporasi domestik mengalami kesulitan untuk memperpanjang atau mendapatkan pinjaman baru, khususnya dalam dolar dan apabila ada tawaran pinjaman harus dibayar dengan biaya tinggi.
Hal itu disebabkan oleh dua hal: pertama, bunga yang diminta kreditur sangat tinggi (sejalan dengan kenaikan suku bunga global diatas 8%); kedua, lonjakan premi credit default swap (CDS), yaitu premi yang harus dibayar debitur sebagai jaminan gagal bayar (sejalan dengan kenaikan risiko gagal bayar pada saat itu).