Shifting Paradigm bisa disebut sebagai pencapaian pada satu titik dimana seseorang perlu merubah sudut pandang untuk membentuk pola pikir sehingga mampu merumuskan konsep baru dalam usaha mencapai sebuah tujuan yang lebih baik. Perubahan paradigma guna melakukan restrukturisasi pertanian patut dicoba untuk mencapai cita-cita negeri kita yaitu kemandirian pangan.
Barilla Center for Food and Nutrition sebagai salah satu lembaga pemeringkatan Food Loss and Waste, Sustainable Agriculture and Nutritional Challenges di tahun 2018 memberikan nilai kepada Indonesia sebesar 61,10 poin dalam kategori sustainable agriculture.(1) Hal tersebut menandakan bahwa Indonesia berada di jalur yang tepat untuk mewujudkan pertanian secara berkelanjutan. Di sisi lain, lembaga tersebut memberikan nilai merah, sebesar 0,00 poin dalam hal subsidi bagi pertanian. Kesimpulan awalnya adalah pertanian Indonesia perlu melakukan shifting paradigm dalam merestrukturisasi pola pengelolaan keuangan pertanian apabila benar-benar ingin memaksimalkan potensi pertanian secara berkelanjutan.
Secara umum ada dua periode pertanian di negara kita, yaitu periode tanam dan panen, atau gagal (sering disebut puso dalam pertanian padi). Periode tanam lebih dikenal sebagai periode persiapan tanam serta memulai untuk menanam benih dengan mengandalkan uang simpanan atau dengan menjual aset berwujud (kendaraan) untuk membeli benih, pupuk, menyiapkan lahan dan peralatan. Periode selanjutnya dikenal dengan periode panen yaitu akhir dari masa pertanian yang mana bisa berbuah sukses ataupun gagal (panen). Setelah panen, para petani gemar mengelola pendapatan hasil panen mereka dengan cara menyimpan uang atau disubtitusikan ke dalam aset berwujud (seperti kendaraan pribadi). Namun faktor perubahan iklim, resiko banjir, kekeringan, serangan hama, yang memperbesar resiko gagal panen, akan berbanding lurus dengan resiko kebangkrutan petani.
Asuransi Pertanian
Gagal panen dapat berimbas kepada tersendatnya aktivitas pertanian yang secara tidak langsung mempunyai efek terhadap ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi. Masyarakat (stakeholders) seyogyanya perlu memperhatikan perlindungan kepada aktivitas pertanian terutama dari sudut pandang perlindungan keuangan bagi para petani. Paradigma pengelolaan keuangan dengan menggunakan aset berwujud untuk keperluan pertanian perlu ditinjau ulang karena tidak memberikan banyak nilai tambah sehingga cukup beresiko pada keberlangsungan aktivitas pertanian, sebaliknya pengalokasian pendapatan ke program asuransi pertanian dengan program-program tambahan yang menarik di dalamnya guna menawarkan nilai tambah bisa menjadi alternatif.Â
Sejatinya asuransi pertanian, atau di Indonesia dikenal dengan program AUTP (Asuransi Usaha Tani Padi) sudah berkembang pesat di dalam masyarakat pertanian. Merujuk pada data Kementerian Pertanian, realisasi AUTP di tahun 2018 sekitar 806,2 ribu hektar dari target 1 juta hektar (80,62 persen) Â turun dibandingkan dengan tahun 2017 yang mencapai 997,9 hektar. Sedangkan klaim kerugian tahun 2018 hanya mencapai 12,2 ribu hektar.(2) Selanjutnya skema premi Asuransi Usaha Tani Padi adalah untuk 1 hektar lahan pertanian dikenakan biaya 180 ribu rupiah per musim tanam dengan pembayaran klaim kerugian sebesar 6 juta rupiah per hektar.(3) Apabila kita cari selisih kasar antara premi dengan klaim yang ditanggung penanggung (pemerintah dengan pengelola asuransinya) masih ada potensi pendapatan premi yang tersisa sebesar 465,7 milyar rupiah setahun. Pendapatan premi yang tersisa tersebut bisa dirumuskan menjadi skema baru yang berpotensi menjadi nilai tambah asuransi pertanian.
Program Hadiah dan Pemberdayaan Petani
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, disebutkan di dalam bab II pasal 3 mengenai tujuan perlindungan dan pemberdayaan petani salah satunya adalah meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta kelembagaan petani dalam menjalankan usaha tani yang produktif, maju, modern dan berkelanjutan.(4) Undang-undang tersebut bisa diimplementasikan dengan memberikan tambahan aktivitas pada asuransi pertanian dalam bentuk mengalokasikan potensi pendapatan premi asuransi yang tersisa ke dalam usaha peningkatan kemampuan dan kapasitas petani seperti sosialisasi atau pelatihan rutin.
Skema hadiah kepada para petani yang bisa menjaga produksi lahan mereka dari gagal panen selama periode tertentu, misalnya, dengan memberikan alat bantu pertanian, dan lain sebagainya, bisa menjadi cara lain agar para petani berinisiatif untuk menjaga lahan dari resiko-resiko gagal panen. Dengan hal itu, para petani dapat menjaga kualitas lahan dan outputnya menggunakan dua layer pertahanan dalam bungkus asuransi pertanian, yaitu inisiatif menjaga lahan sebagai bentuk preventif dan asuransi pertanian sebagai bentuk represif.
Tentu penawaran skema diatas harus mempertimbangkan dua hal, yang pertama adalah pertimbangan motif pemerintah dalam mengelola asuransi pertanian. Potesi pendapatan premi dalam program AUTP sungguh besar. Pemerintah perlu memodifikasi perencanaan, atau paradigma yang telah ada dalam mengelola potensi dana tersebut. Pilihannya diantara pemerintah menaruh perhatian pada pengembangan pertanian di Indonesia atau memperhatikan tingkat rentabilitas pengelola asuransi pertanian.Â
Pertimbangan kedua adalah peningkatan resiko penyalahgunaan dana yang sejatinya digunakan untuk program pemberdayaan atau hadiah kepada para petani. Dibutuhkan perencanaan matang dan pengelolaan yang benar-benar detail dan profesional dari pemerintah, sehingga konsep ini bisa dijalankan dengan tepat guna dan sasaran, sebaliknya dibutuhkan pula perubahan paradigma dari para petani. Jangan sampai program yang sudah dikembangkan sedemikian rupa menjadi tidak berarti karena beberapa oknum petani memanfaatkan celah untuk kepentingan pribadi.
Analisis regresi linear berganda mengenal koefisien determinasi (R Square). Apabila shifting paradigm dengan melakukan restrukturisasi pola pengelolaan keuangan dijadikan variabel independen (X) terhadap sumbangan pemikiran bagi pertanian Indonesia sebagai variabel dependen (Y), maka kontribusinya tidak begitu signifikan. Masih banyak shifting paradigm bidang lain yang juga harus diperhatikan agar pertanian negara kita setidaknya tidak tertinggal jauh dari negara-negara berkembang bahkan maju dan tentunya bisa menggapai cita-cita akan kemandirian pangan.
Daftar Pustaka:
(1) Barilla Center for Food & Nutrition, 2019, Food Sustainability Index, [Online], diakses tanggal 7 Mei 2019).
(2) Okenews, 2019, Kementan Optimis Target Asuransi Pertanian Tahuin Ini Tercapai, [Online] diakses tanggal 7 Mei 2019).
(3) Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2019, Asuransi Usaha Tani Padi, Solusi Kegagalan Panen, [Online], diakses tanggal 7 Mei 2019).
(4) Pemerintah Indonesia, 2013, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Sekretariat Negara, Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H