Awal tahun ini kita dihebohkan dengan fenomena sharing economy, mungkin kita sudah mengetahui makna dari istilah tersebut. Setidaknya, berilah kesempatan kepada penulis untuk memberikan gambaran mengenai sharing economy kepada khalayak yang belum mengetahui.
Rhenald Kasali secara tersirat dalam artikelnya yang ramai dibicarakan di internet menggambarkan bahwa sharing economy lebih kepada mempersilahkan orang lain yang lebih memerlukan untuk menikmati assets pribadi. Tujuannya agar assets tersebut menjadi produktif atau tidak underutilized atau nganggur. Selanjutnya penulis telah mendarat di Amerika Serikat untuk menemui dua ekonom, Horton dan Zeckhauser. Menurut mereka sharing economy atau peer-to-peer market yang ditopang dengan perusahaan startup teknologi merupakan hal baru dalam dunia sewa-menyewa. Pada satu sisi pemilik menggunakan asetnya untuk keperluan konsumsi pribadi, namun sewaktu aset tersebut tidak dipergunakan, mereka akan menyewakannya, maka jangan heran bahwa sharing economy, menurut Rhenald Kasali, dapat mengurangi pemborosan.
Sharing economy nampaknya telah berhasil mengatasi problem utama yang ditimbulkan dari ekonomi berbasis kepemilikan asset (owning economy). Sistem ekonomi kapitalis yang tidak adil itu dapat digeser eksistensinya dengan sharing economy yang lebih humanis. Namun sebenarnya apabila kita mau menelusuri lebih dalam lagi, sharing economy berpotensi dapat membuka ekses-ekses owning economy. Apabila tidak ada regulasi dan persiapan matang, akan terjadi pergeseran (shifting) yang diwarnai dengan gejolak masyarakat. Dalam artikel ini, penulis ingin menyoroti permasalahan yang mungkin bisa timbul dari fenomena sharing economy dari lintas bidang.
Karakteristik Masyarakat
Aset pribadi dapat disewakan kepada orang yang membutuhkannya selama tidak digunakan oleh pemilik. Prinsip tersebut dapat berjalan dengan adanya permintaan akan barang. Masyarakat dengan dana berlebih (the have) bisa “meng-ada-kan” barang tersebut agar mendapatkan keuntungan, meskipun tren akan mempengaruhi permintaan, namun dengan motif ekonomi yang tinggi masyarakat bisa memanfaatkan tren tersebut semaksimal mungkin. Bibit-bibit owning economy akan kembali tercipta tidak hanya oleh satu pelaku saja, kemungkinan besar banyak masyarakat dari golongan the have telah memikirkan untuk memasuki bisnis tersebut. Pada akhirnya setelah tren tersebut sudah lalu, aset tersebut akan terbengkalai atau underutilized. Jalan kembalinya prinsip owning economy telah dibuka kembali. Bahkan yang membuka pintu adalah sharing economy sendiri.
Pemerintah harus sigap apabila serius ingin mengembangkan sharing economy berbasis aplikasi teknologi. Kebijakan yang tidak tebang pilih harus dikembangkan agar hal tersebut tidak menimbulkan dampak buruk yang akan menghadirkan keresahan di dalam masyarakat, khususnya para pelaku konvensional yang diserbu oleh isu sharing economy.
Aplikatif
Beberapa pengaplikasian sharing economy di Indonesia bisa berakibat buruk dan berlawanan dengan kebijakan pemerintah di beberapa daerah. Aplikasi sharing economy dalam bidang transportasi bisa membuat pemerintah lebih berpikir keras untuk menyelesaikan masalah transportasi dan kemacetan lalu lintas. Satu sisi pemerintah menggalakan kebijakan ayo naik bus agar tidak macet, disisi lain sharing economy menawarkan Uber atau Grab. Peremajaan bus Transjakarta seperti kalah tenar dengan kenyamanan yang ditawarkan Uber atau Grab pada kendaraan pribadi. Dampaknya masyarakat lebih memilih bertahan menggunakan kendaraan pribadi, sehingga kemacetan akan selalu panjang.
Kemacetan yang bisa ditimbulkan merupakan bentuk kontradiksi dari tujuan sharing economy yaitu pemborosan. Kemacetan bisa dikatakan sebagai pusat pemborosan dari berbagai bidang. Pemerintah dan peran serta masyarakat dibutuhkan untuk mengantisipasi dampak buruk pengaplikasian sharing economy agar permasalahan kemacetan bisa terus diminimalisir.
Inovatif
Aplikasi teknologi sharing economy terutama pada bidang transportasi adalah hal yang inovatif. Setidaknya beberapa pemangku kebijakan harus turut andil dalam perumusan aplikasi dari teknologi tersebut agar inovasi tersebut tidak berakhir dengan sia-sia dan tidak memberikan dampak kerugian yang amat besar bagi para pelaku transportasi, termasuk masyarakat, para pengguna transportasi, yang ada di dalamnya. Underutilized asset menjadi isu utama yang diboyong oleh sharing economy. Penumpukan aset yang lebih besar berpeluang terjadi karena implementasi sharing economy, bukan karena praktek yang terjadi tidak sesuai dengan teori, namun karena adanya motif ekonomi masyarakat dalam mengambil keuntungan. Jangan sampai kepentingan-kepentingan pribadi dalam rangka penumpukan kekayaan menjadi biang dalam menggagalkan impian indah yang dicetuskan sharing economy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H