Kala pagi, aku mencari kopi. Aku yang bukan pecinta kopi sejati ini masih setia dengan kopi sasetan, boleh beli di warung dekat rumah. Setelah kuseduh, aku bawa ke luar rumah. Lalu aku melihat langit pagi, lebih indah dari kemarin hari. Kuhirup udaranya dalam-dalam sampai hinggap di dalam tubuhku sambil berharap agar aku sehat-sehat saja.
Kurasa aku akan lebih sehat setelah ini, setelah aku buang dia jauh-jauh. Dia... yang bahkan tidak pernah anggap aku benar-benar ada. Aku duduk, lalu kutaruh kopiku di atas meja di samping kananku.
Dia... teman kantorku, kami kerap bersama sejak training. Sesekali kalau ada waktu, kami jalan ke mana-mana yang kami suka. Tanpa takut perempuannya akan cemburu padaku, dia selalu datang padaku dan mengajakku ke mana saja, cerita apa saja, tanpa tahu perasaanku jadi semakin ada-ada saja. Laki-laki tampan super menawan sepertinya, mana iya melirik aku yang tidak dilihat sebagai ancaman oleh perempuannya yang punya riwayat sangat cemburuan.
Pada suatu waktu, dia mengajakku untuk makan di suatu restoran sebab dia mau traktir aku sesuatu berhubung dia dapat reward atas kinerjanya yang sangat baik. Namun perasaanku yang sudah menjadi tidak karuan terhadap dia dan selalu membuatku bingung harus bertingkah seperti apa di depannya, aku pun jadi tidak punya keberanian untuk berlama-lama berdua saja dengannya.
"Kamu ikut aku aja. Aku takut salah tingkah," ajakku pada temanku.
"Memangnya boleh? Segan, ah. Dia kan, mau traktir kamu."
"Biarin aja. Dia baik, kok. Nggak akan masalah nambah satu orang aja."
Karena tidak enak hati, maka aku hubungi dia, kutanyakan langsung pada dia apa temanku boleh datang atau tidak. Tanpa ragu, dia menjawab, "Boleh, kok. Ajak aja."
Segera kuhubungi kembali temanku sampai akhirnya dia mau.
Hari itu, pertama kalinya mereka bertemu. Temanku yang cantik dan periang cepat akrab dengannya. Sementara aku yang pendiam memang kerap diam saja, bahkan sebelum aku memandangnya lebih dari sekadar teman. Mereka membicarakan banyak hal, tentang pekerjaan sampai masa depan. Pembicaraan mereka sangat menarik, jauh lebih menarik dari aku yang suka ngawur dan bicara itu-itu saja, bahkan seringkali hanya bisa menunggunya berbicara. Di ujung perjumpaan, mereka bertukar nomor ponsel. Aku pun mulai cemburu.
Waktu itu aku tidak curiga apa-apa sebab dia sering ceritakan perkara percintaannya yang manis sekaligus rumit padaku. Dari ceritanya selama ini, tidak aku tangkap sedikit pun kesedihan atau kesengsaraan yang bisa dijadikan sebagai suatu alasan untuk kemudian dia menghubungi temanku... setiap hari. Temanku cerita tentang apa saja yang mereka bicarakan, terdengar manis seperti sudah menjadi kekasih. Aku merasa tidak perlu mengingatkan temanku bahwa dia sudah punya perempuan sebab dia sudah paham betul berhubung dia adalah sumur tempatku berteriak soal cintaku pada dia.
Aneh betul. Tiba-tiba dia menjaga jarak dari aku, entah apa sebab pastinya. Tentu aku curiga ada sangkut-pautnya dengan temanku. Badanku jadi panas, sampai ke ujung kepala. Jantungku berlarian panik, teriakannya agak tertahan.
Aku kirim pesan pada temanku. Kuceritakan tentang sikap dia yang aneh dan mengkhawatirkan. Bukan mengkhawatirkan karena dia jadi orang gila, melainkan aku takut dia menjauh dariku.
"Dia menjauh dariku. Entah kenapa," begitu bunyi pesanku yang amat singkat sebab aku bingung harus mulai cerita dari mana.
Temanku tidak menjawab. Sabtu dan Minggu lewat, hari Senin di siang buta temanku mengirim pesan, membicarakan hal lain seputar buku menarik yang baru ia beli. Pikiran aneh pun muncul, dia beli buku itu dengan siapa? Tapi aku memilih untuk ikuti alurnya saja, tidak mau pertemananku jadi hancur. Juga aku masih ingin mempercayainya bahwa dia temanku. Aku kerap cerita tentang dia kepadanya artinya dia tahu pasti aku suka dengan dia, jadi seharusnya dia bisa menjaga perasaan.
Di suatu Minggu aku pergi ke toko buku sendirian, mencari buku yang temanku rekomendasikan. Buku itu masih ada di rak, seperti tidak banyak disentuh, laksana harta karun yang tak banyak diketahui banyak orang. Keluar dari toko buku, aku melihat temanku... dengan dia.
Dadaku seketika jadi sesak. Mereka bergenggaman tangan sangat erat, tubuh mereka bersentuhan, berjalan beriringan. Aku berbalik badan, kusempatkan diriku untuk mengunjungi toko-toko lainnya, sekadar untuk bersembunyi. Aku menahan air mataku sampai rumah. Â Aku menangis bukan karena putus cinta, tapi dikhianati orang yang aku percaya adalah neraka. Dan fakta bahwa aku masih melihat foto dia bersama perempuannya di media sosial, membuatku sangat marah pada dia.
Aku kirim pesan pada temanku tanpa basa-basi, "Apa kamu berpacaran dengan dia?"
Sampai hari ini, pesanku tidak dibalas. Nomor ponselku juga di-block. Aku ngeh betul temanku dan dia sering sedang ada di tempat yang sama dari media sosial, meski tidak pernah tampak berdua. Makan di meja yang sama. Juga dia yang menggenggam figurin kucing kesayangan temanku sebagai 'jimat keberuntungan'.
Aku tidak ada masalah lagi dengan temanku, tetapi temanku yang memutuskan tali silaturahim yang sudah kami ikat selama 15 tahun lamanya hanya karena laki-laki hidung belang itu. Laki-laki itu juga jadi jaga jarak padaku. Saat teman sekantor kami menikah dan aku cuma mau nebeng sebab akses ke gedung pernikahannya sangat sulit, dia malah bilang ingin pergi sen-di-ri-an. Namun kabarnya, dia malah pergi dengan perempuan itu. Maksudku, memangnya kenapa kalau tambah aku?
Ah... kopiku sampai dingin. Aku habiskan semuanya dalam lima teguk. Lantas kupandangi langit pagi yang lebih cerah dari kemarin hari. Aku bahagia di sini, sementara menurut perasaanku, dia sedang menangis di depan perempuannya, juga temanku.
Catatan Penulis:Â cerita ini hasil dari penggabungan seluruh cerita cinta saya, juga ada yang bukan dari cerita cinta saya, tapi supaya lebih menggemaskan saya tambahkan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H