Ada yang kupikirkan saat ini--yang memang sedang heboh-hebohnya menggerayangi pikiranku tak karuan. Tentang dia. Tak kutemui jawaban, dari mana aku bisa menyukai dirinya.Â
Kita memang sering bersama sejak SMA. Dia baik, mau menemani aku yang nyaris tak berteman dan nyaris selalu kesepian. Aku kagum padanya, dia mau main denganku yang membosankan, bahkan ketika yang lainnya sedang melakukan hal yang asyik. Bahkan sampai sekarang, dia masih baik padaku.Â
Aku selalu mengatakan ini pada diriku, jangan menyukainya, berterima kasihlah padanya karena dia mau menemanimu, jangan melunjak! Tentu kutahan kuat-kuat, tapi siapa yang tahu kekuatan macam apa yang dimiliki perasaan ini, yang bisa menghancurkan bendungan terbesar yang sudah kudirikan susah payah.
Dia menjadi jauh lebih istimewa dari sebelumnya. Aku malu pada benda-benda di angkasa yang menatapku iba. Dia hanya berbaik hati padaku, kenapa aku menuntutnya untuk lebih baik lagi padaku? Begitu tak berterima kasihnya kah aku padanya?
Kuangkat cangkir di atas meja di samping kananku, kuteguk tehnya pelan-pelan, tak ingin lidahku terbakar. Aku tak langsung menaruhnya. Kupandangi dulu gelombang kecil di dalamnya. Tiba-tiba aku jadi gugup. Kepalaku mengangkat, tapi kutahan tak melihat ke langit, tak mau dikasihani lagi. Kuhempaskan sebagian karbondioksa. Gugupnya tak juga hilang.
Telingaku menangkap suara bising mesin motor, perlahan mendekati rumahku. Begitu akrab, indah, juga horor. Aku menaruh cangkir teh itu kembali ke atas meja terburu-buru, membuat sedikit dari isinya tumpah. Namun tak kupikirkan. Hanya suara motor itu yang kubiarkan menguasai seluruh perhatianku. Aku berdiri tegap. Kakiku tak bisa mengangkat, berat sekali. Suara motor itu berhenti di depan pintu rumahku. Astaga, aku harus apa...?! Tak ada hal lain yang memenuhi penglihatanku selain sosok yang dengan sibuk membuka helm dan turun dari motor itu dari balik pagar yang rendah.
Aku semakin gugup saat dia memanggil namaku. Seolah ada kekuatan magis yang mengantarku menuju pagar, memberikan akses padanya untuk masuk. Rasanya aku tidak sambil berpikir sama sekali.
"Lama, ya?" Tanya dia, sambil membuka retsleting jaket hitamnya, mengekspos kemeja putih di dalamnya.
Aku menggeleng. "Nggak, kok."
Aku mempersilakannya untuk duduk. Kami pun duduk. Dia di kanan, aku di kiri.
Dia melihat secangkir teh di atas meja. "Sampai sambil ngeteh gini. Maaf, ya..."
"Nggak kok, serius gak apa-apa!"
Dia tersenyum padaku, sangat ragu. Tengah malam begini, datang padaku. Pasti karena ada sesuatu yang tak dapat dia tahan lagi.
Orang tuaku sudah tidur. Aneh, mereka tak marah saat aku bilang ingin menunggu lelaki, barangkali sampai sangat larut. Kuanggap karena mereka sudah tahu tentang dia.
Kutawarkan dia teh, kopi, sirup atau air mineral, tapi semuanya dia tolak. Dia hanya butuh ditemani, katanya.
Sejenak, kami hening. Tak ada satu pun yang memulai pembicaraan.
Dia menyulutkan rokok yang dia tahu tak kusukai baunya. Asapnya mengempas ke mana-mana, membuatku sesak. Aku mengenalinya, hampir lebih dari siapapun. Saat dia tak peduli lagi dengan apa yang tidak kusukai, artinya ada banyak hal yang memberati benaknya.
"Dia minta gue nikahin dia."
Mataku hampir saja membelalak sejelas-jelasnya. Kutahan degup di dadaku yang berubah lebih kencang dan menjadi perih. Kukatakan pada diriku, aku harus bijaksana.
"Ya... nikahi, dong. Lo sama dia udah jalan 7 tahun, loh. Kalian juga udah sama-sama siap, kan?"
"Tapi..."
Dia mendesis, membuang abu rokok ke atas asbak yang sudah sengaja kusiapkan untuknya.
"Perempuan itu?" Tebakku.
Dia mengisap rokok itu kembali dalam-dalam, menciptakan asap yang lebih tebal. Sampai-sampai aku batuk. Tak tampak ada satu pun sesal dari wajahnya, apalagi kata maaf.
"Dia tahu gue lebih sayang perempuan itu dari dia. Dia bilang, gue harus milih; nikah sama dia, atau mengejar perempuan itu."
Dia menghabiskan rokoknya, memencet puntungnya di dalam asbak. Dia ingin mengambil sebatang lainnya, tapi langsung kurebut seluruh bungkusnya. Dia menatapku agak sinis.
Kugenggam erat-erat bungkus rokok itu. "Terus masalahnya?"
"Gue masih mau jadi serakah," Dia menatapku penuh tantangan seolah kalimatnya barusan tidak sedikit pun bermasalah.
Keningku mengernyit dalam-dalam. Perlahan kerut-kerutnya melesap, dibawa pikiran lain.
Sekarang dia bicara tentang serakah. Kenapa dia bisa bicara tentang serakah semaunya? Dan bisa menjadi serakah semaunya? Saat ini, bukankah dia sudah menjadi orang serakah yang sukses? Belum cukup, kah?
Seketika aku tahu kenapa aku cinta dia, tapi juga enggan untuk mencintainya. Bukan sekadar karena dia diam-diam menyukai perempuan selain kekasihnya.
Atmosfer dalam hatiku seakan berubah. Tanpa ragu, kuangkat cangkir dan menyiramkan isinya ke wajahnya. Sebagian isinya membasahi sebagian kecil jaketnya, melindungi kemeja putih yang ia kenakan. Dia sedikit terperanjat, tapi tampaknya dia tahu bahwa memang seharusnya dia mendapatkan itu.
"Gue selalu berpikir untuk jadi serakah. Tapi gue tahu, saat gue serakah, gue akan merugikan orang lain. Ada kebahagiaan orang lain yang harus dikorbankan. Gimana caranya lo memperbaiki semua itu? Atau lo mau meninggalkan tanggung jawab itu begitu aja?"
Dia bahkan tidak berusaha untuk mengeringkan wajahnya yang basah dengan air teh itu. Dia berusaha menjangkau rokoknya dari kedua tanganku. Tentu tidak langsung kuberikan. Ketika kumelihat ada kesungguhan di matanya, baru kuberikan.
Dia lalu berdiri, merenggangkan tubuhnya sambil mengeluh, "Disiram teh."
Samar-samar, aku mendengar dia terkekeh sambil kemudian mengelap wajahnya dengan bagian lengan baju yang tidak basah. Aku pun berdiri, melihat dia melangkah keluar dari teras.
"Tolong, kasih kepastian untuk mereka."
Dia membalik badannya, melihat ke aku. "Iya."
"Jangan iya doang."
"Iya, paham."
Untuk beberapa saat, suasana menjadi canggung.
"Besok jalan-jalan, yuk. Keliling aja pakai motor. Yang lama," ajaknya pakai gestur mengendarai motor.
Aku tersenyum, mengangguk.
Dia mengucap terima kasih dan kukatakan bahwa aku senang bisa menjadi ada untuknya.
Dia menutup retsleting jaketnya. Mesin motor menyala, helm sudah membungkus kepala, dia siap untuk pergi. Kuingat baik-baik senyumnya malam itu. Seiring dengan kecepatan yang ia tambah, motornya semakin bergerak menjauh dan tak terlihat lagi. Ketika suara motornya hilang, aku pun merasa kesepian, juga rindu.
Aku melihat ke langit, juga benda-benda yang hinggap padanya, yang kuyakini sedang tersenyum bangga padaku dan mengatakan; sudah waktunya untuk tidur dan semoga kamu mimpi indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H