Mohon tunggu...
Aulia ShalsabilaHakim
Aulia ShalsabilaHakim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apakah Transportasi Umum Berbasis Rel di Indonesia Selamanya Efektif

22 Agustus 2023   19:41 Diperbarui: 22 Agustus 2023   19:47 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, negara terus berusaha untuk meminimalisir asap kendaraan bermotor dengan menghimbau para masyarakatnya untuk menggunakan kendaraan umum alih-alih menggunakan kendaraan pribadi. Tentu aksi ini diharapkan untuk mengurangi emisi gas beracun di udara. Namun apakah pengalihan dengan menggunakan transportasi umum berbasis rel di Indonesia adalah jawaban yang efektif? Disini saya akan mencoba untuk mengulas dari sudut pandang kekurangan dari solusi memakai transportasi umum berbasis rel di Indonesia.

 

Dalam memenuhi kebutuhan transportasi umum berbasis rel, tentu negara perlu mengerahkan armada kereta api dengan memproduksi kereta api sesuai dengan kebutuhan. Tentu dalam hal tersebut negara memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan pada tahun ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui mencatat Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) mencatat posisi utang per 31 Juli 2023 sebesar Rp7.855,53 triliun. Mengambil masalah yang diambil dari jurnal http://repository.lppm.unila.ac.id/10964/1/Komparasi%20Pembangunan%20Kereta%20Cepat....pdf biaya total yang digunakan dalam membangun pekerjaan struktur dari kereta cepat seperti membangun jembatan, terowongan termasuk biaya pemeliharaan infrastruktur yang terdiri dari biaya staff dalam memelihara infrastruktur dan juga termasuk biaya pemelihraan gedung mencapai Rp46.880.877.218.889 dimana panjang lintasan 142,3 km.

Dalam hal ini, kita pun perlu memperhatikan juga terkait dari segi polusi suara yang dapat berdampak buruk bagi masyarakat di sekitar lintasan. Anak-anak yang ingin menempuh pendidikan terdampak akibat bisingnya kereta api. Sekolah seharusnya  menciptakan  lingkungan  yang tenang dan kondusif demi terciptanya proses pembelajaran secara maksimal. Efek kebisingan yang  terpapar  pada  siswa yang sedang  belajar  mengakibatkan  penurunan  performa  belajar siswa. Hal ini  akan mengurangi   tingkat konsentrasi siswa dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas. Selain  kebisingan  berpengaruh terhadap  konsentrasi,  kebisingan  juga  berdampak  pada  gangguan  komunikasi (diangkat dari jurnal: https://jurnal.uns.ac.id/prosidingsnfa/article/view/16366/13154 ). Diambil dari Wardhana 2001, tingkat  kebisingan  sebesar  80  dB tidak  disarankan  untuk  manusia  mendengar  secara  terus  menerus  selama  lebih  dari  8  jam. Sedangkan tingkat kebisingan lebih dari 120 dB sangat tidak diizinkan karena akan merusak pendengaran manusia.

Tingkat  kebisingan  sesuai  dengan  Kepututusan  Menteri  Lingkungan Hidup tingkat kebisingan untuk sekolah maksimal 55 dB. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan belajar mengajar dapat berjalan secara maksimal, tanpa gangguan suara lain yang sangat besar tingkat kebisingannya.Pada  Keputusan  Menteri  tersebut  tidak  dituliskan  tingkat  kebisingan  pada  stasiun  kereta api.  Namun  sebagai  gambaran  tingkat  kebisingan  maksimal  pada  tabel  tersebut  disebutkan bahwa  pelabuhan  laut,  kawasan  industri,  tempat  rekreasi,  dan  tempat  perdagangan  dan  jasa tingkat kebisingannya sebesar 70 dB.

Berdasarkan penelitian dari jurnal tersebut disebutkan juga bahwa rata-rata titik minimal, rata-rata, dan maksimal, maka diperoleh informasi bahwa  pada  pukul  11.31 --12.00  merupakan  tingkat  kebisingan  tertinggi  di  SMA  Negeri  37 Jakarta  yang  mencapai  nilai  rata-rata  sebesar  70,50  dB  (kategori  bising)  pada  5  titik pengukuran.

Adanya penggunaan transportasi umum berbasis rel tentu membuat pemerintah untuk mengalih fungsikan lahan yang salah satunya merupakan lahan pemukiman. Adanya hal ini berpotensi terjadinya penggusuran lahan secara paksa bagi masyarakat. penggusuran paksa tanpa putusan Pengadilan Negeri hingga terjadi pelanggaran HAM oleh PT Kereta Api Indonesia (PT. KAI). Salah satu contohnya dikutip dari https://scholar.archive.org/work/nxzedkwi4jem7nbbq5vfsxxvbq/access/wayback/https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/ham/article/download/450/pdf Pelaksanaan proyek PT. KAI didukung oknum Pemerintah Daerah yang justru ikut mendukung perampasan lahan milik warga baik yang mempunyai Sertifikat Hak Milik (SHM) maupun yang tidak. Meski proses hukum sengketa lahan warga Kebonharjo, Tanjung Emas Semarang belum selesai namun pihak PT. Kereta Api Indonesia (KAI) Daop IV Semarang, Jawa Tengah, tetap memaksakan pembangunan proyek reaktifasi jalur rel KA dari Stasiun TawangPelabuhan Tanjung Emas terus berjalan.

Dari uraian-uraian di atas, perlu kita tinjau kembali apakah solusi permasalahan polusi serta kemacatan dengan transportasi umum berbasis rel apakah selamanya menguntungkan atau bahkan menambah penderitaan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun