Sistem zonasi yang diterapkan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) telah menjadi topik perdebatan sejak pertama kali diberlakukan pada tahun 2017. Diperkenalkan sebagai upaya untuk mengurangi disparitas antara sekolah favorit dan sekolah biasa, sistem ini mengutamakan jarak tempat tinggal calon siswa ke sekolah sebagai faktor utama seleksi. Meskipun memiliki tujuan mulia, sistem zonasi ternyata menimbulkan berbagai permasalahan di lapangan, mulai dari ketidakpuasan orang tua hingga hambatan bagi siswa berprestasi untuk mengakses sekolah berkualitas. Maka, apakah menghapus sistem zonasi adalah solusi yang tepat, atau justru langkah mundur dalam dunia pendidikan Indonesia?
Realita Sistem Zonasi: Masalah di Lapangan
Salah satu tujuan utama sistem zonasi adalah menciptakan pemerataan kualitas pendidikan. Namun, data menunjukkan bahwa pemerataan ini masih jauh dari kenyataan. Menurut laporan Kemendikbudristek pada 2023, hanya 34% sekolah di Indonesia yang memenuhi standar sarana dan prasarana pendidikan. Artinya, mayoritas sekolah masih kekurangan fasilitas, mulai dari laboratorium hingga akses internet. Dalam konteks ini, siswa yang berada di zona tertentu tidak memiliki pilihan selain bersekolah di sekolah yang mungkin tidak memiliki fasilitas memadai.
Tidak hanya itu, sistem zonasi sering kali memicu ketidakpuasan orang tua dan siswa. Banyak orang tua yang mengeluhkan bahwa anak mereka dengan nilai akademik tinggi tidak dapat masuk ke sekolah yang diinginkan hanya karena jarak rumah mereka lebih jauh dibandingkan siswa lain. Fenomena ini sering memunculkan praktik manipulasi data, seperti pindah domisili secara administratif demi memenuhi syarat zonasi. Sebuah survei oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2022 menunjukkan bahwa 45% orang tua merasa sistem zonasi tidak adil bagi anak-anak yang berprestasi
Kesenjangan Kualitas Sekolah: Masalah yang Belum Terselesaikan
Sistem zonasi mengasumsikan bahwa semua sekolah memiliki kualitas yang setara, padahal kenyataannya jauh dari itu. Data dari Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) pada 2022 menunjukkan bahwa nilai rata-rata Ujian Nasional (UN) di sekolah-sekolah perkotaan masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah di daerah terpencil. Sebagai contoh, nilai rata-rata UN di Jakarta mencapai 78,2, sedangkan di Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya 53,4. Hal ini membuktikan bahwa sistem zonasi hanya memperbesar kesenjangan pendidikan, terutama di wilayah yang infrastrukturnya belum memadai.
.Selain itu, guru yang kompeten sering kali terkonsentrasi di sekolah-sekolah tertentu. Menurut data Kemendikbudristek, pada 2021, hanya 38% guru di Indonesia yang memenuhi standar profesional. Guru-guru ini cenderung mengajar di sekolah-sekolah favorit, meninggalkan sekolah lain dengan tenaga pendidik yang kurang memadai. Dalam konteks sistem zonasi, siswa yang berada di zona dengan sekolah berkualitas rendah tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dari guru yang lebih kompeten.
Apa Kata Para Ahli?
Banyak pakar pendidikan menyarankan bahwa solusi dari masalah ini bukanlah menghapus sistem zonasi secara keseluruhan, melainkan memperbaikinya. Prof. Dr. Anita Lie, seorang pakar pendidikan dari Universitas Surabaya, berpendapat bahwa sistem zonasi sebenarnya memiliki potensi untuk memperbaiki pemerataan pendidikan, tetapi implementasinya membutuhkan perbaikan signifikan. "Kita perlu memastikan bahwa semua sekolah memiliki fasilitas yang setara sebelum menerapkan zonasi. Tanpa itu, zonasi hanya akan menjadi alat diskriminasi baru," ujarnya dalam sebuah diskusi pendidikan pada 2023.
Namun, ada pula yang berpendapat bahwa sistem ini sudah tidak relevan dan perlu diganti. Dr. Suyanto, mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, mengusulkan agar sistem zonasi diganti dengan seleksi berbasis prestasi yang tetap memperhatikan aspek pemerataan. "Jika pemerintah ingin mempromosikan keadilan, maka keadilan itu harus mencakup hak siswa untuk mendapatkan pendidikan terbaik sesuai dengan potensi mereka," tegasnya.
Menghapus atau Mereformasi Sistem Zonasi?