Akhirnya, Serie A harus mengakui bahwa liga mereka tidak lagi superior. Tiga kompetisi teratas Eropa saat ini jelas dalam genggaman Premier League Inggris, La Liga Spanyol, dan Bundesliga Jerman. Serie A makin terpuruk dengan hanya meloloskan satu wakil ke babak 16 besar, AC Milan. Bahkan kondisi bisa lebih buruk jika melihat fakta anak asuh Massimilano Allegri digempur habis-habisan oleh anak-anak de Amsterdammers sepanjang pertandingan. Untungnya sang kiper kawakan Christian Abbiati tampil prima dan menjadi pelakon terbaik dalam laga di San Siro dinihari tadi. Entah sejauh mana langkah Rossoneri di Champions musim ini. Meskipun sejujurnya sangat sulit untuk kembali merengkuh trofi si kuping lebar yang kedelapan dengan keberadaan tim-tim lain yang lebih mapan.
Bagi penggemar sepakbola Italia musim ini adalah musim yang menyesakkan. Kenangan kejayaan era 80-an hingga 90-an telah memudar tak berbekas. AC Milan yang gagah dengan trio Belanda-nya ataupun Juventus era Lippi menjadi kenangan yang mungkin menjadi barang langka di masa datang. Kekuatan uang telah berbicara. Sejak era 2000-an klub-klub Italia telah dililit masalah finansial, salah satunya karena belanja pemain tak terkendali di masa keemasannya. Sepanjang tahun 1990-an, sepakbola Italia rutin mencetak rekor pemain termahal dunia atas nama Gianluigi Lentini, Ronaldo, atau Christian Vieri. Pada masa itu Serie A adalah kiblat sepakbola dunia. Pemain terbaik dari segala penjuru dunia selalu memimpikan bermain di ketatnya liga Italia. Pemain muda berbakat pun berbondong-bondong mencicipi legitnya calcio nan eksotis di negeri Pizza. Oleh karenanya datanglah Roberto Carlos muda, Alvaro Recoba muda, Hernan Crespo muda, sampai Manuel Rui Costa muda. Sekarang pemain terbaik dunia enggan bermain di Serie A. Selain tidak menguntungkan secara ekonomi, kekhawatiran gagal bersinar juga menjadi pertimbangan. Serie A adalah liga yang kejam dan menjadi kuburan banyak pemain besar jika gagal beradaptasi (lihat kasus Hristo Stoitchkov, Pedrag Mijatovic ataupun Rivaldo).
Saatnya sepakbola Italia berbenah. Peningkatan jumlah pemain asing ternyata tidak berimbas positif bagi prestasi klub Serie A. Cesare Prandelli telah menyatakan kekhawatirannya dengan makin menjamurnya pemain asing yang berlaga di Serie A, hampir mencapai 60%. Bahkan tim gurem seperti Catania maupun Verona makin fasih menggunakan stranieri. Hal itu jelas mematikan potensi pemain domestik yang sebenarnya dapat diandalkan. Padahal kualitas punggawa asing yang direkrut tidak terlalu istimewa. Italia adalah tipikal negara yang jarang memiliki meteor yang meroket di usia muda (seingat saya terakhir Antonio Cassano dan Mario Balotelli). Stephen El Shaarawy saat ini terengah-engah mendapatkan posisi inti di Milan dengan kedatangan Valter Birsa dan Ricardo Kaka. Begitu pula Lorenzo Insigne di Napoli. Klub-klub perlu memberikan kesempatan yang lebih besar pada potensi domestik karena bagaimanapun Azzurini adalah runner up Piala Eropa U-21 di bawah Spanyol tahun lalu.
Harus disadari roda dunia terus berputar. Mungkin saat ini Serie A sedang berada di titik nadir. Lupakan upaya untuk menyalip Bundesliga Jerman dalam koefisiensi Eropa. Bisa-bisa Ligue 1 Perancis malah mengejar dan menyingkirkan Serie A dari urutan ke-4 kompetisi paling gemerlap di Eropa. Perbaikan manajemen kompetisi, stadion, pemasaran, dan pembinaan pemain muda mutlak diperlukan. Mungkin memerlukan waktu untuk kembali menjadi kompetisi primadona. Filosofis permainan klub-klub Italia perlu diperbarui. Jika tahun-tahun lalu klub Italia bangga akan pertahanan yang solid dengan permainan pendek merapat (corto stretto), saat ini zaman telah berubah. Sepakbola makin mengagungkan permainan menyerang dan mengandalkan kecepatan. Terus terang Serie A lemah dalam hal itu ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H