Mohon tunggu...
Aulia Noviani Qodariah
Aulia Noviani Qodariah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Saya Aulia Noviani mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Memiliki motivasi dan semangat yang tinggi dalam mencapai tujuan. Memiliki kepribadian yang tekun, pekerja keras dan mampu beradaptasi dengan baik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan Waris Berdasarkan Asas Parental Dalam Masyarakat Multikultural Ditinjau Dari Sosiologi Hukum Islam

17 Desember 2024   00:46 Diperbarui: 17 Desember 2024   10:17 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernikahan merupakan suatu bentuk ibadah dan salah satu jalan untuk memperoleh keturunan, yang pada akhirnya akan membentuk sebuah keluarga yang diharapkan menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah. Keturunan tersebut perlu mendapatkan pembinaan agar kelak dapat mengelola harta warisan dengan baik yang diperoleh secara turun-temurun. Di Indonesia menerapkan beberapa sistem warisan, yaitu hukum waris Islam, hukum waris adat, hukum waris perdata. Dalam hukum waris adat menganut sistem patrilineal atau matrilineal (Malikilmulki & Aditya, 2023).

Islam dalam menetapkan aturan waris sangat terstruktur dan adil. Aturan ini memberikan hak kepemilikan harta bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, dengan cara yang sah secara hukum. Syariat Islam juga mengatur pemindahan kepemilikan harta seeorang setelah meninggal kepada ahli warisnya yang berasal dari kerabat dan nasabnya. Islam secara rinci menjelaskan melalui Al-Qur'an bagian untuk setiap ahli waris dengan tujuan untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat. Meskipun demikian, di Indonesia terdapat beberapa adat yang memiliki sistem pembagian warisan sendiri yang dikenal dengan hukum waris adat (Haniru, 2014).

Penerapan asas parental dalam pembagian waris merupakan salah satu bagian penting dari hukum waris Islam yang menekankan pada hubungan kekerabatan langsung, terutama dalam garis keturunan darah. Asas ini berfungsi untuk memastikan keadilan dalam pembagian harta waris antara ahli waris yang memiliki hubungan darah dengan pewaris. Dalam masyarakat yang mayoritas beragama Islam penerapan asas parental diharapkan dapat menjaga nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan keluarga, sesuai dengan prinsip-prinsip yang sudah diterangkan dalam Al-Qur'an dan Hadis. Namun tantangan kerap kali muncul ketika asas parental diterapkan dalam masyarakat yang multikultural, di mana terdapat berbagai kelompok etnis dan budaya dengan sistem hukum adat yang berbeda. Masyarakat multikultural sering kali memiliki tradisi dan nilai-nilai yang mungkin tidak sepenuhnya sejalan dengan prinsip dasar hukum Islam, termasuk dalam hal pembagian warisan. Misalnya dalam beberapa kebudayaan lokal terdapat praktik pembagian warisan yang lebih mengutamakan hak waris perempuan atau memiliki sistem kekerabatan yang berbeda, seperti patrilineal atau matrilineal. Hal ini menimbulkan perbedaan persepsi antara hukum adat dan hukum Islam mengenai pembagian harta warisan.

Penerapan asas parental dalam konteks ini memerlukan kajian mendalam untuk memahami bagaimana hukum Islam dapat diharmonisasikan dengan norma-norma sosial yang ada tanpa dipengaruhi oleh globalisasi, perubahan struktur keluarga, dan tuntutan kesetaraan gender juga memengaruhi bagaimana asas parental diterapkan dalam masyarakat multikultural. Oleh karena itu, penting untuk meninjau penerapan asas parental dalam hukum waris Islam dari perspektif sosiologi hukum yang gunanya untuk memahami interaksi antara hukum Islam dan sistem hukum serta budaya lokal, serta mengidentifikasi solusi yang dapat mengakomodasi kebutuhan sosial tanpa mengesampingkan prinsip keadilan yang terkandung dalam hukum Islam

HUKUM WARIS

Hukum waris dalam Islam didefinisikan sebagai hukum yang  menjelaskan mengenai ketetapan atau aturan-aturan yang berkaitan dengan pengalihan hak dan atau kewajiban atas tirkah atau harta yang ditinggalkan seseorang yang telah meninggal dunia atau harta peninggalan mayit kepada ahli waris yang mendapatkan bagiannya masing-masing. Istilah lainnya dari hukum waris ialah hukum faraid yang berasal dari shigat jamak dari lafaz fari'dhah yang bermakna bagian. Secara istilah syarak, fardh ialah bagian yang telah ditetapkan untuk ahli waris, sedangkan ilmu yang menjelaskannya disebut dengan ilmu faraid (ilmu waris), sedangkan menurut Muhammad Asy-Syarbini ilmu waris adalah Ilmu yang menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembagian harta peninggalan mayit (tirkah), cara atau metode perhitungan dan bagian-bagian para ahli waris. Kompilasi hukum Islam Pasal 171 ayat (1) mengartikan hukum waris sebagai hukum yang mengatur mengenai pemindahan hak miliki atas harta peninggalan pewaris, menentukan yang berhak menjadi ahli waris dan bagiannya masing-masing (Hamidah, et al., 2021). 

Dalam hukum waris Islam, ada beberapa istilah yang perlu diketahui, yaitu pewaris, harta peninggalan (tirkah), dan ahli waris. Dengan kata lain, rukun waris mencakup tiga hal, yaitu (1) pewaris (muwarits), (2) harta peninggalan (mauruts), dan ahli waris (waarits). Pewaris (muwarits) adalah orang yang meninggalkan ahli waris dan tirkah atau harta peninggalan beragama  islam, sedangkan tirkah atau harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh muwaris atau pewaris yang dapat berupa :

  • Harta peninggalan pewaris yang bisa dinilai dengan uang, piutang atau aktiva;
  • Harta peninggalan pewaris yang berupa hutang yang belum terbayar saat pewaris wafat atau pasiva;
  • Harta yang dimiliki bersama dari pasangan suami dan istri dengan ketentuan apabila saat akad dilangsungkan nikah ada syirkah;
  • Harta bawaan yang didapatkan suami atau istri sebelum berlangsung akad nikah, baik yang berasal dari harta hibah, warisan, atau usaha;
  • Harta milik suami dan istri setelah akad perkawinan, akan tetapi tidak didapatkan dari usaha yang dilakukan bersama seperti mendapatkan harta warisan, hadiah, atau lainnya;
  • Harta suami istri atau salah satu diantara mereka yang diperoleh selama pernikahan;
  • Harta bawaan suami istri yang tidak dapat dimiliki langsung;
  • Harta pusaka yang bisa dibagi pada ahli waris adalah seluruh harta peninggalan setelah harta suami istri dan harta pusaka dipisahkan, harta bawaan yang tidak bisa dimilki dan dikurangi dengan wasiat dan hutang.

Ahli waris meupakan seseorang yang mempunyai hubungan darah atau kekerabatan dengan muwarits atau pewaris saat meninggal dan beragama Islam serta tidak ada penghalang untuk bisa menjadi ahli waris karena hukum. Ahli waris ialah sekumpulan dari orang atau individu atau kerabat yang berhak mendapatkan harta warisan. Adapun yang berhak mendapatkan warisan ialah:

  • Anak dan keturunannya, baik yang laki-laki atau perempuan;
  • Kedua orang tua (ibu atau bapak) dan apabila mereka sudah tidak ada, maka penggantinya;
  • Saudara baik laki-laki ataupun perempuan dan keturunannya dan pasangan suami istri

Dalam pembagian waris ini sering kali mengalami permasalahan yang terjadi oleh karena itu jika terjadi masalah waris dan penyelesainnya hendak menggunakan hukum waris Islam, maka Pengadilan Agama lah yang biasanya menangani sengketa waris. Hal ini sudah tercantum dalam Pasal 49  UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama (Cahyani, 2018).

ASAS PARENTAL DALAM HUKUM WARIS ISLAM

Asas parental  dalam konteks hukum waris ialah prinsip yang mendasari pembagian harta warisan berdasarkan hubungan darah atau kekerabatan langsung antara pewaris (orang yang meninggal) dan ahli warisnya. Dalam hukum Islam, asas ini menegaskan bahwa harta warisan harus dibagikan kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan nasab dengan pewaris seperti anak, orang tua dan pasangan. Dalam hukum waris Islam prinsip ini diatur secara rinci dalam Al-Qur'an khususnya pada surah An-Nisa ayat 11-12 yang menetapkan panduan yang jelas dan juga terstruktur untuk menghindari perselisihan dalam pembagian waris. Terdapat tiga sistem kekeluargaan yang pada umumnya digunakan oleh masyarakat dalam kaitannya dengan aktor genetika masing-masing yaitu sebagai berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun