Mohon tunggu...
Aulia Nastiti
Aulia Nastiti Mohon Tunggu... -

Lulusan Komunikasi Media, Universitas Indonesia. Saat ini bekerja di bidang riset media massa. Memiliki ketertarikan pada isu-isu humanisme, media, dan psikologi. Write some lines about life in: http://aulianastiti.posterous.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

The Conductor: When Thousands of People Stare at His Hands

3 Mei 2012   08:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:47 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

The great leaders are like the best conductors –

they reach beyond the notes to reach the magic in the players”

-------- Blaine Lee

“Di sini bukan Bonek-Bonek jancuk, di sini tempat suporter damai”, lirik itulah yang pertama kali saya dengar ketika melihat sebuah The Conductor, sebuah film dokumenter independen yang sudah saya dengar sejak setahun lalau, tetapi saya baru berkesempatan menontonya ketika kelas Psikologi Komunikasi Jumat lalu. Menarik. Itulah hhal pertama dalam benak saya ketika melihat film tersebut. Menarik karena saya tidak menyangka salah satu Conductor yang ditayangkan dalam film ini adalah conductor suporter Aremania, yang menurut saya agak out of mainstream jika disebut sebagai conductor, karena sejujurnya dalam bayangan saya, seorang conductor lumrahnya ialah orang yang memimpin suatu orkestra atau paduan suara musikal. Keheranan saya terjawab seketika saat film ini diawali sebuah tulisan, ‘Conductor: A person who directs the performance’.

The Conductor merupakan sebuah film dokumenter yang mengisahkan mengenai tiga orang konduktor luar biasa yang telah menunjukkan kemampuan dan kontribusi luar biasa bagi komunitasnya masing-masing. Addie MS, AG Sudibyo, dan Yuli Soempil. Saya yakin kita semua pasti mengetahui, atau setidak-tidaknya pernah mendengar, nama Addie MS. Dia adalah pemimpin orkestra musik simfoni terkenal di Indonesia, Twilite Orchestra.

Di film ini, Addie mengawali kisahnya dengan menceritakan awal mulanya ia menjadi seorang condutor. Addie mulai jatuh cinta pada musik saat ia menginjak usia 7 tahun. Saat itu, ia dibelikan sebuah piano sebagai hadiah ulang tahun. Piano ini dapat dikatakan sebagai ekstensi emosidan sisi psikologiss Addie karena ketika ia marah atau bahagia, ia menyalurkan emosinya melalui jari-jari tangan yang menyentuh tuts-tuts piano. Selanjutnya, segalanya mengalir begitu saja ketika Addie memutuskan untuk berprofesi menjadi seorang musisi. Kecintaan Addie pada musik membawanya untuk menjajal profesi sebagai seorang conductor yang sekaligus menjadi composer musik simfoni bagi orkestranya. Idealisme yang dianut Addie ialah memasyarakatkan musik simfoni di kalangan masyarakat luas. Addie berpandangan bahwa penting bagi Indonesia untuk memiliki pusat kesenian yang layak dan pantas, di mana melalui pusat seni tersebut, kesenian dan kebudayaan dikembangkan. Namun, harapan Addie menemui jalan buntu karena pemerintahan berbagai rezim telah membuktikan bahwa pemerintah kita sepertinya masih beranggapan bahwa Indonesia harus menjadi bangsa yang kaya terlebih dahulu untuk bisa menikmati musik. Padahal, banyak hasil riset menunjukkan bahwa musik berperan dalam pembentukan perilaku positif seorang manusia.

Selanjutnya, dipaparkan kisah mengenai AG Sudibyo, seorang yang pasti dikenal oleh mahasiswa baru UI, karena di tangannya lah 4000 orang mahasiswa baru disulap menjadi paduan suara besar setiap tahunnya. Prestasi Pak Dibyo menghantarkan paduan suara UI dianugerahi Rekor MURI sebagai Paduan Suara Terbesar. Di film ini, Pak Dibyo menceritakan bahwa ia telah membentuk paduan suara mahasiswa baru ini sejak tahun 1983, atau telah 27 tahun ia memimpin paduan suara yang beranggotakan ribuan orang ini bernyanyi saat wisuda. Pak Dibyo menjelaskan awalnya ada keraguan apakah mungkin mengatur harmonisasi suara dari ribuan orang tersebut? Tetapi akhirnya ia menemukan metode yang ternyata efektif saat diterapkan. Metode ini, lanjutnya, ialah meminta seluruh mahasiswi mengklasifikasikan suara mereka sendiri menjadi suara sopran atau alto, dan berkumpul sesuai karakter suara mereka, begitu juga dengan para mahasiswa yang dibagi menjadi tenor dan bass. Selanjutnya mereka berlatih per karakter suara dan kemudian latihan menyanyi bersama-sama dengan karakter suara yang lain. Untuk tampil di acara wisuda, padua suara besar ini membutuhkan waktu latihan selama kurang lebih lima hari dengan durasi latihan 3-5 jam setiap harinya. Suasana latihan dibuat santai tetapi serius bila mulai bernyanyi. Dengan metode yang diterapkan tersebut, performance saat wisuda dapat dibilang sebagai performance yang luar biasa, mengingat jumlah yang mencapai ribuan orang tetapi tetap menghasilkan harmonisasi suara yang cukup baik.

Conductor ketiga ialah, Yuli Soempil, seorang conductor yang saya sebut sebagai out of mainstream di awal tadi, dan saya anggap sebagai conductor yang paling luar biasa setelah saya menonton film tersebut. Jika kita menonton pertandingan sepak bola di Indonesia, pasti identik dengan lagu-lagu dukungan atau yel-yel yang diteriakkan para suporter dengan serempak, dan Aremania merupakan salah satu klub suporter yang terkenal paling intens dan kreatif dalam menyanyikan lagu-lagu dukungan bagi klub kesayangannya, Arema. Jika Anda bertanya bagaimana Aremania bisa sekompak itu, tanyalah pada Yuli Soempil, sang conductor yang mengggerakkan puluhan ribu massa untuk bersatu menyanyikan lagu dukungan bagi Arema, menggerakkan tangan dengan seragam dan serempak sehingga menjadi pemandangan yang menarik dan menggugah, dan yang terpenting menyatukan hati dan pikiran setiap orang yang berada di satidon untuk melakukan hal tersebut. Dan yang lebih luar biasa lagi, semua itu dilakukan para pendukung secara spontan, tanpa latihan. Jadi, setiap lagu yang dinyanyikan hanya diajarkan pada baris depan saja, selanjutnya baris depan akan menyalurkan ke baris belakang dan seterusnya. Untuk gerakan, Yuli lah yang memimpin di atas tiang podium dan ribuan massa akan mengikuti gerakan-gerakan variatif yang telah diciptakan Yuli. Hebatnya, Yuli bisa menyatukan ribuan massa dari berbagai latar belakang; preman, guru agama, santri, mahasiswa, anak sekolah, pengamen, pegawai, menjadi satu hati satu tujuan untuk mndukung Arema. Ketika ditanya bagaimana melakukan semua itu, ia hanya menjawab simpel, ’dari hati’.

Jika ditelisik lebih jauh, tiga orang itu memiliki kesamaan yaitu mereka bagaikan magician yang menyulap pandangan mata banyak orang kepada kedua tangan mereka. Dan hal ini merupakan hal yang menarik, ketika kita mulai bertanya sebenarnya apa yang dimiliki mereka sehungga mampu berbuat seperti itu?

Dalam persepektif psikologis, perilaku sekelompok orang tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep Pengaruh Sosial yang merujuk pada usaha oleh satu atau lebih individu untuk mengubah sikap, kepercayaan, persepsi, atau perilaku seseorang atau orang-orang lainnya. Pengaruh sosial dapat terjadi karena adanya kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial untuk berafiliasi. Jadi, dari segi terminologi itu sendiri, perilaku semua kelompok dalam film The Conductor itu dikatakan sebagai Pengaruh Sosial yang ditimbulkan oleh conductor mereka masing-masing. Selanjutnya,dalam Pengaruh Sosial dikenal 2 tingkatan pengaruh : Acceptance dan Compliance. Dalam film tersebut, pengaruh sosial yang dialami mahasiswa UI ialah berupa compliance karena perilaku yang terjadi dilakukan atas dasar kepatuhan teradap Bapak AG Sudibyo. Sedangkan untuk anggota Twilite Orchestra dan Aremania sama-sama mengalami pengaruh sosial secara utuh (acceptance), perbedaannya, anggota Twilite menerima atas dasar internalisasi atau keyakinan terhadap komposisi musik yang dihasilkan Adddie MS sebagai pemimpinnya, sedangkan Aremania menerima pengaruh sebagai hasil identifikasi atau keberpihakan mereka terhadap Arema dan hal ini membantu mempertahankan hubungan personal antara mereka yang terlibat, sehingga ketika Yuli Soempil memimpin mereka untuk membela Arema, maka mereka berperilaku secara serempak.

Pengaruh sosial dalam film ini juga tak dapat dilepaskan dari konsep perilaku kelompok. Dalam suatu kelompok pasti terdapat pengaruh bagi individu-individu anggota kelompok tersebut. Pengaruh bagi kelompok paduan suara UI ialah munculnya dampak sosial (social impact) berupa perluasan interaksi sesama anggota dan munculnya identity sebagai in-group mahasiswa UI dan sense of belonging terhadap UI. Sedangkan pengaruh bagi anggota Twilite Orchestra dan Aremania pun berupa munculnya identity dalam diri individu sebagai in-group dan menjadikan kelompok sebagai reference group dan munculnya social impact yaitu perwujudan perilaku yang menunjukkan keberpihakan dan pengorbanan bagi kelompoknya.

Faktor penting lain yang tak dapat diabaikan dalam perilaku kelompok di film tersebut ialah pemimpin atau the conductor itu sendiri. Addie MS, AG Sudibyo, dan Yuli Soempil juga merupakan anggota kelompok tersebut, tetapi mereka memiliki pengaruh, menuntun, mengarahkan, dan memotivasi usaha yang dilakukan kelompok sehingga anggota yang lain menganggap mereka sebagai pemimpin dan perilaku mereka menjadi acuan dalam bertindak. Akan tetapi, yang menarik dari kelompok dalam film itu ialah, kelompok-kelompok tersebut hanya terbentuk ketika pertunjukan atau latihan bagi pertunjukan dan ketiga conductor tersebut mejadi pemimpin hanya ketika situasi tertntu yaitu saat performance. Seperti kembali pada definisi di awal, bahwa conductor ialah yang mengarahkan sebuah performance.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun