[caption caption="Ilustrasi/Shutterstock"][/caption]Pada tahun 1962, Produksi minyak yang tinggi dan kebutuhan minyak yang masih rendah membawa Indonesia menjadi Negara ketujuh yang bergabung dengan Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC). Indonesia bergabung tepat setelah Qatar (1961) dan lima Negara pendiri, yaitu Saudi Arabia, Iran, Irak, Kuwait, dan Venezuela. Singkat cerita, bangsa ini pernah dua kali mencapai puncak produksinya pada tahun 1977 dan 1995 dengan produksi minyak lebih dari 1.6 juta barrel. Ya, setara dengan kebutuhan minyak kita tahun ini, 2015. Bahkan pada tahun 1977 surplus minyak kita lebih dari 75 persen. Saat itu kebutuhan kita hanya sekitar 400 ribu barrel per hari, sedangkan produksinya 1.6 juta barrel lebih. Kebutuhan yang semakin meninggi membuat surplus minyak kita terus berkurang, hingga akhirnya surplus minyak sebanding dengan kebutuhan dalam negeri pada tahun 1994. Sejak tahun 1998 terjadi penurunan produksi yang signifikan dan konsisten, sebaliknya kebutuhan dalam negeri terus meningkat tajam. Kedua hal tersebut akhirnya membawa Indonesia menjadi Negara net importer minyak pada tahun 2004. Import minyak yang semakin besar akhirnya mendesak pemerintah membekukan keanggotaan Indonesia di OPEC pada tahun 2008.
Berdasarkan statute OPEC, Chapter II, Article 7, mengenai membership, OPEC memiliki tiga jenis keanggotaan, yaitu: founder members, full members, dan associate members. Founder members meliputi 5 negara yang hadir dalam konferensi pertama OPEC. Sedangkan Full members merupakan founder members dan negara net importer minyak yang memiliki “ketertarikan” yang sama, disetujui oleh ¾ full members dan seluruh founder members. Negara net-exporter yang tidak memenuhi syarat menjadi full members dapat menjadi associate members dengan syarat disetujui oleh ¾ full members dan seluruh founder members. Yang pasti, dari ketiga jenis keanggotaan yang diatur didalam statute OPEC mewajibkan setiap member nya memiliki tujuan dan ketertarikan yang sama, yaitu menjaga kestabilan harga minyak untuk mengamankan efisiensi, menjaga keekonomian dan supply kepada konsumen, pendapatan yang tetap (sesuai target) kepada produsen, dan keuntungan yang adil kepada investor. Sebuah tujuan atau misi yang sangat tepat untuk Negara net-exporter minyak.
“No country may be admitted to Associate Membership which does not fundamentally have interests and aims similar to those of Member Countries”
Pertanyaannya, masih samakah ketertarikan dan tujuan Indonesia dengan OPEC? Kita sama-sama tahu bahwa Negara ini menyatakan keinginannya untuk mengaktifkan kembali keanggotannya di OPEC. Memang, bukan kali pertama jika ada sebuah Negara yang pernah membekukan keanggotannya kembali menyatakan ketertarikannya untuk mengaktifkan status keanggotaannya. Setidaknya Ecuador pernah melakukannya lebih dulu. Namun, motif keluar masuknya Ecuador dan Indonesia di OPEC sangatlah berbeda. Ecuador membekukan status keanggotannya di OPEC karena dua alasan, yaitu: Pertama, Ecuador mengatakan tidak sanggup untuk membayar fee membership sebesar 2 juta dollar per tahun. Kedua, Ecuador menginginkan kuota produksi minyak yang lebih besar. Sejak masuknya Ecuador ke OPEC, Negara tersebut memang memiliki tren produksi ya meningkat setiap tahunnya. Hingga pada tahun 1992, kapasitas produksi Negara tersebut melebihi kuota produksi yang ditetapkan oleh OPEC. Maka, pada tahun 1992 Ecuador membekukan status keanggotannya. Memang benar, sejak tahun 1992 hingga 2006 produksi penerus suku inca ini meningkat hingga 70 persen atau 200 ribu barrel perharinya. Sebaliknya, sang garuda mebekukan status keanggotannya di OPEC karena produksi dalam negerinya terus menurun hingga tidak mampu menopang kebutuhan rakyatnya sendiri dan menjadi Negara net-importer.
Lalu, apa alasan Ecuador untuk kembali mengaktifkan keanggotannya di OPEC? Pada tahun 2006, terjadi tren penurunan produksi minyak di Negara tersebut. Menurut kabar yang berdar, presiden yang baru terpilih pada saat itu, Rafael Correa, tidak terlalu welcome dengan kehadiran International Oil Companies (IOC) yang menyebabkan produksi menurun. Namun, kabar lain mengatakan bahwa Ecuador sengaja menurunkan produksinya untuk mempersiapkan diri kembali masuk ke OPEC. Penurunan produksi, kenaikan konsumsi, ataukah sudah ada kesepakatan kuota produksi baru? Entahlah, yang pasti Ecuador masih memiliki status sebagai Negara net-exporter. Tampaknya, pemerintah yang baru memiliki keputusan bebeda dan memilih untuk bergabung kembali dengan OPEC pada tahun 2007
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia berencana untuk mengaktifkan kembali keanggotannya di OPEC dengan alasan ingin dekat dengan Negara produsen minyak dan mendapatkan minyak secara langsung dari produsen. Sungguh alasan yang tidak masuk akal, berbeda dengan Ecuador yang kembali aktif di OPEC dalam statusnya sebagai Negara net-exporter. Pertanyaannya tetap sama, masih samakah tujuan dan ketertarikan Indonesia dengan OPEC? Tentu tidak, sudah menjadi rahasia umum jika OPEC members lebih menyukai harga minyak yang tinggi. Sebaliknya, Indonesia sebagai Negara net-importer lebih menyukai harga minyak dunia yang rendah. Belum lagi masalah kuota produksi, ketika supply perlu ditingkatkan maka OPEC akan membagi jatah kenaikan produksi dari setiap membernya. Tentu saja Indonesia tidak bisa ikut ambil bagian disana. Memenuhi kebutuhan diri sendiri saja belum mampu. Sebaliknya apabila supply minyak perlu diturunkan untuk meningkatkan harga minyak dunia, OPEC akan mengatur besaran penurunan produksi setiap Negara yang bergabung didalamnya. Lalu, apakah kita perlu ikut memangkas produksi dalam negeri yang sudah defisit ini? Satu kata, IRONI!
“Dependence on imports would mean that a country would never be independent”
Berdasarkan ketertarikan dan tujuannya, justru jauh lebih pas jika Indonesia bergabung dengan kubu oposisi, yaitu International Energy Agency (IEA). IEA adalah organisasi yang bertujuan untuk memastikan ketersediaan, keekonomisan, dan energi bersih bagi anggotanya. IEA didirikan pada tahun 1973/1974 sebagai response terhadap oil crisis pada saat itu. Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi jika ingin menjadi anggota IEA, antaralain: satu, harus menjadi anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Dua, Negara net importer minyak yang memiliki cadangan siap pakai minyak mentah dan/atau product yang setara selama 90 hari. Tiga, berkomitmen untuk mengurangi konsumsi minyaknya sebesar 10 persen. Setidaknya, ketiga syarat diatas jauh lebih masuk akal dan baik secara jangka panjang untuk Indonesia. Indonesia memang belum menjadi anggota OECD, tetapi sudah menjalin kerjasama yang baik. Jika memungkinkan dan menguntungkan, bisa saja kita bergabung dengan OECD menyusul Negara tetangga kita, Malaysia. Indonesia sudah menjadi Negara net-importer, tetapi cadangan siap pakai crude oil dan/atau product setaranya hanya untuk 18 hari. Namun, jauh lebih memungkinkan untuk menambah reserves tersebut menjadi 90 hari dibandingkan mengusahakan Indonesia kembali menjadi Negara net-exporter minyak. Memiliki reserves sebesar itu juga sangat baik untuk ketahanan energy Negara ini. Komitmen pengurangan konsumsi minyak sebesar 10 persen pun sangat baik. Kita butuh diversifikasi! Tidak tergantung pada satu sumber energi saja! Sedangkan OPEC cenderung tidak senang dengan diversifikasi. Hal tersebut akan mengurangi ketergantungan Negara lain terhadap minyak, yang mengakibatkan turunnya permintaan, dan berakhir dengan penurunan harga minyak dunia.
“Based on the initial agreement, we are due to increase oil exports to Indonesia and build a refinery and a power plant in Indonesia,” Nobakht told reporters in a press conference in Tehran on May 5, 2015.
Lalu, keputusan apa yang seharusnya diambil pemerintah? Jika alasan Indonesia mengaktifkan kembali keanggotannya di OPEC adalah untuk mendapatkan minyak secara langsung dari produsen, hubungan bilateral antarnegara saja sudah cukup. Memangnya kita mau beli minyak ke seluruh Negara yang bergabung di OPEC? Tentu saja tidak, jadi hubungan bilateral antarnegara sudah sangat cukup! Saat ini pun Indonesia sudah bisa membeli langsung minyak ke Negara produsen, seperti Arab dan Iran. Apalagi yang kita cari? Terlebih lagi kita perlu mengeluarkan fee membership yang tidak sedikit jika bergabung, 3.1 juta USD pertahun! Maka, jalan yang harus diambil pemerintah saat ini adalah: Satu, meningkatkan hubungan bilateral dengan Negara-negara produsen minyak. Dua, mengurangi ketergantungan kita terhadap minyak bumi dengan program-program diversifikasi dan konversi energi. Tiga, meningkatkan cadangan siap pakai minyak dan/atau produk setaranya.
Ketiga rekomendasi diatas jauh lebih pas untuk bangsa ini. Jangan sampai keputusan aktifnya kembali Indonesia di OPEC menjadi boomerang di masa mendatang, khususnya ketika harga minyak kembali tinggi. Kita akan berada di kondisi serba salah. Ya, seperti domba berbulu serigala di kandang singa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H