Mohon tunggu...
Aulia Nabigha
Aulia Nabigha Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

High curiosity at energy and economics Petroleum Department Bandung Institute of Technology

Selanjutnya

Tutup

Money

Rekomendasi RUU Migas Mengenai Bentukan Badan Regulator yang Ideal

17 Mei 2015   12:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:54 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasal 63

Putusan MK No. 36/PUUX/2012 tanggal 13

November 2012

Pasal 63 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pada Draft Rekomendasi RUU Migas pertama ini, pembahasan dan rekomendasi hanya akan terfokus pada aspek kelembagaan konstitusional dalam pengelolaan migas nasional. Khususnya mengenai lembaga apa yang akan memegang fungsi regulator kedepannya. Pada seminar Aspek Kelembagaan Konstitusional dalam Pengelolan Migas Nasional yang dilaksanakan di MPR pada 4 Maret 2015 lalu terdapat dua opsi yang telah diwacanakan, yaitu pembentukan BUMN Khusus dan pengembalian fungsi regulator kepada Pertamina.

Terdapat tiga elemen didalam industri hulu migas yaitu pembuatan kebijakan, badan regulator, dan bisnis (operator). Saat ini terdapat tiga model sistem kelembagaan dalam industri hulu migas yang bergantung dari subjek yang memegang ketiga elemen tersebut, yaitu:

1. Ministry Dominated Model

[caption id="attachment_418048" align="aligncenter" width="301" caption="Presentasi Seminar Aspek Kelembagaan Konstitusional dalam Pengelolaan Migas Nasional oleh Pak Benny Lubiantara"]

14318359171691281305
14318359171691281305
[/caption]

Model ini berlaku ketika pemerintah memegang fungsi pembuat kebijakan dan regulator. Contoh Negara yang menggunakan sistem Ministry Dominated Model saat ini adalah Russia dan Venezuela. Model ini pernah digunakan Indonesia ketika BP Migas dibubarkan dan Menteri ESDM merangkap jabatan sebagai kepala SKK Migas selama kurang lebih dua bulan.

2. NOC Dominated Model

[caption id="attachment_418049" align="aligncenter" width="306" caption="Presentasi Seminar Aspek Kelembagaan Konstitusional dalam Pengelolaan Migas Nasional oleh Pak Benny Lubiantara"]

14318360831123683235
14318360831123683235
[/caption]

Model ini berlaku ketika NOC memegang fungsi regulator dan bisnis. Contoh Negara yang menggunakan sistem NOC Dominated Model adalah Saudi Arabia, Malaysia, Kazakhstan, dan Angola. Model ini pernah juga digunakan oleh Indonesia ketika Pertamina memiliki fungsi ganda dibawah UU N0. 8 Tahun 1971

3. Separation of Power Model

[caption id="attachment_418050" align="aligncenter" width="304" caption="Presentasi Seminar Aspek Kelembagaan Konstitusional dalam Pengelolaan Migas Nasional oleh Pak Benny Lubiantara"]

14318362131497980734
14318362131497980734
[/caption]

Skema ini berlaku ketika pembuat kebijakan, penjalan fungsi regulator dan penjalan fungsi bisnis (operator) dijalankan oleh ketiga lembaga yang berbeda. Contoh Negara yang menggunakan sistem Separation of Power Model adalah Algeria, Brazil, Mexico, Nigeria, dan Norwegia . Model ini pula pernah digunakan Indonesia dengan hadirnya BP Migas sebagai badan regulator dibawah UU No. 22 Tahun 2001.

Dengan begitu, Indonesia sudah pernah mencicipi bagaimana keberjalanan seluruh model sistem kelembagaan migas yang ada. Ironisnya, sistem kelembagaan konstitusional selalu menjadi permasalahan di negeri dengan sejuta kepentingan ini. Dalam draft 1 kali ini kami memberikan pandangan mengenai dua opsi yang telah diwacanakan, yaitu pembentukan BUMN Khusus dan pengembalian fungsi regulator kepada Pertamina.

1.SKK Migas menjadi BUMN Khusus yang memegang fungsi regulator:

Terdapat satu hal yang perlu diluruskan dari opsi satu ini, yaitu mengenai kewenangan yang diberikan kepada SKK Migas nantinya. Sejauh apa kewenangan yang diberikan kepada SKK Migas? Hanya penjalan fungsi regulator atau dapat menjadi operator?

a.SKK Migas hanya sebagai penjalan fungsi regulator

Ketika badan regulator migas hadir dalam bentukan BUMN, bagaimana bentukan garis pertanggung jawabannya? Pada umumnya, garis pertanggung jawaban BUMN akan langsung kepada kementrian BUMN. Artinya, BUMN tersebut harus memenuhi apa yang tertuang dalam UU No. 19 Tahun 2003. Begitu pula SKK Migas ketika menjadi BUMN, apakah dengan hanya fungsi regulatornya SKK Migas dapat memenuhi kriteria untuk menjadi BUMN? Contohnya mengenai maksud dan tujuan pendirian BUMN yang diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003. Dalam hal ini baik perum (pasal 36) maupun persero (pasal 12) didirikan dengan maksud menyediakan barang atau jasa kepada masyarakat. Ketika SKK Migas hanya memegang fungsi regulator jasa atau barang apa yang akan disediakan kepada masyarakat? Berdasarkan syarat pendiriannya pun sangat sulit dipenuhi oleh SKK Migas untuk menjadi BUMN ketika hanya memegang fungsi regulator. Kecuali diatur kemudian berdasarkan kata "khusus" yang dimiliki BUMN satu ini.

b.SKK Migas sebagai penjalan fungsi regulator dan operator

Ketika SKK Migas juga mendapatkan kewenangan sebagai operator, tentu syarat pendiriannya sebagai BUMN dapat dipenuhi. Namun hal yang perlu kita sadari bersama ketika SKK Migas juga mendapatkan kewenangan untuk menjalankan fungsi operasi adalah kedua opsi yang diwacanakan saat ini sama saja (NOC Dominated Model). Perbedaannya hanya terletak pada lembaga yang menjalankannya. Indonesia pun akan mundur beberapa langkah dan kembali ke era orde baru ketika opsi ini diambil. Dahulu ketika Pertamina memegang fungsi regulator, Pertamina tidak kompetitif karena terjadi monopoli kekuasaan. Hal ini yang perlu diingat ketika memberikan fungsi regulator dan operator kepada BUMN Khusus baru. Jangan sampai terjadi kasus monopoli pertamina jilid 2 dengan lembaga yang berbeda

2.Fungsi regulator dikembalikan kepada Pertamina

Pengambilan opsi ini jelas membuat Indonesia mundur beberapa langkah kebelakang. Lepasnya fungsi regulator dari Pertamina terbukti membuat Pertamina lebih kompetitif. Hal ini terlihat dari meningkatnya presentase lifting Pertamina sejak UU No. 22 Tahun 2001 dijalankan. Saat ini Pertamina pun menjadi lebih efisien dan memperhatikan good governance dalam melakukan pelayanan dan pencapaian target perusahaan. Pertamina  pun masuk kedalam fortune 500 diurutan ke 122. Jangan sampai pengembalian fungsi regulator kepada Pertamina menyebabkan Pertamina hilang fokus dan semakin tertinggal oleh NOC lainnya.

[caption id="attachment_418059" align="aligncenter" width="323" caption="Annual Report Pertamina 2008"]

1431837202993340202
1431837202993340202
[/caption]

[caption id="attachment_418060" align="aligncenter" width="357" caption="Annual Report Pertamina 2014"]

14318372761146810222
14318372761146810222
[/caption]

Berdasarkan pembahasan singkat diatas, secara teori, hadirnya BP Migas pada UU No. 22 Tahun 2001 sudah benar, walaupun dalam proses keberjalannya terdapat penyimpangan. Berdasarkan keputusan MK, terdapat beberapa alasan mengapa pada akhirnya BP Migas dibubarkan. Namun, perlu diketahui pula mengapa BP Migas dibentuk dan justru lebih baik daripada kedua opsi yang hadir saat ini.  Berikut pembahasannya:

1.BP Migas mereduksi makna penguasaan oleh Negara

Pada tanggal  21  Desember  2004  mengenai  pengujian  UU  Migas dalam Putusan  Nomor 002/PUU-I/2003 yang dimaksud penguasaan oleh negara meliputi mengadakan  kebijakan, tindakan  pengurusan,  pengaturan, pengawasan, dan pengelolaan untuk  tujuan  sebesar-besarnya  kemakmuran  rakyat. Keberadaan BP Migas dinilai mereduksi makna penguasaan oleh negara sampai tahap pengawasan, bukan pengelolaan. Tidak melakukan  pengelolaan  secara  langsung,  karena penguasaan dilakukan oleh badan usaha.

Fakta:

Kalimat tersebut menggiring pemberian kembali fungsi regulator kepada Pertamina ataupun BUMN sejenis. Padahal hadirnya BP Migas memisahkan fungsi regulasi dari Pertamina untuk menghindari adanya monopoli kekuasaan yang dahulu pernah terjadi. Ketika fungsi regulator dipegang oleh Pertamina, Pertamina cenderung fokus kepada fungsi regulatornya daripada fungsi operatornya. Terbukti dengan meningkatnya presentase lifting Pertamina ketika fungsi regulator dicabut. Yang perlu diperhatikan saat ini adalah mengenai peningkatan presentasi penguasaan lapangan migas Indonesia oleh Pertamina. Berikan Pertamina privilege dalam pengelolaan Migas dalam Negeri di RUU Migas yang dibentuk. Contohnya dengan memberikan presentase minimum Participating Interest (PI) Pertamina di tiap lapangan baru ataupun pada perpanjangan kontrak di lapangan lama. Dengan begitulah kata pengelolaan sesungguhnya dapat dimiliki oleh Negara. Ketika presentase hasil lifting migas oleh BUMN melebihi kontraktor asing. Bukan dengan memberikan kembali fungsi regulator kepada Pertamina.

2.Keberadaan BP Migas merendahkan posisi Negara

Dalam UU No. 22 Tahun 2001 pemerintah menyerahkan kuasa pertambangannya kepada Badan Pelaksana (BP Migas). BP migas mewakili pemerintah untuk berkontrak dengan perusahaan. Jadi pola perjanjian yang terjadi adalah G to B(Government to Business), bukan B to B (Business to Business).  Pemerintah dalam hal ini merendahkan kedudukannya menjadi setara dengan perusahaan asing. Banyak yang beranggapan bahwa dengan pola G to B, jika suatu saat terjadi perselisihan dalam kerjasama, negara dapat diseret ke arbitrase internasional. Hal ini juga memungkinkan disitanya aset negara yang ada di luar negeri misalnya pesawat, kantor kedutaan,dan aset lainnya.

Fakta:

Bagaimana dengan kondisi saat ini? Saat ini SKK Migas berada dibawah kementrian ESDM, bahkan setelah BP Migas dibubarkan Menteri ESDM sempat merangkap jabatan sebagai Kepala SKK Migas. Tetapi mengapa tidak banyak gugatan saat ini? Padahal pola G to B semakin kental dengan posisi SKK Migas saat ini. Lagi-lagi kalimat ini menggiring Indonesia kembali ke pola NOC Dominated Model dan mundur beberapa langkah kebelakang. Dituntutnya pola B to B jelas mengharuskan BUMN kembali memegang fungsi regulator yang akan menimbulkan masalah-masalah lama muncul kembali. Padahal hadirnya BP Migas dapat meredam pola G to B yang begitu kental ketika fungsi regulator langsung dipegang oleh kementrian ESDM dan menghilangkan kekhawatiran terjadinya monopoli kekuasaan. Paradigma yang beredar pun salah, pola B to B tidak menghindarkan Negara untuk diseret ke arbitrase Internasional. Kontraktor asing tetap bisa menyeret Negara ke arbitrase Internasional melalui Bilateral Investment Treaty (BIT).  Contohnya pada kasus exxon dan PDVSA di Venezuela. Mereka berdua berkontrak dengan pola B to B, namun pemerintah Venezuela pun ikut terseret ke arbitrase internasional (ICSID) melalui mekanisme lain, yaitu BIT.

3.Birokrasi menjadi tidak efisien

Pengamat perminyakan, Dr. Kurtubi, menyatakan sebagaimana dikutip dari hasil Survey Fraser Institute 2010, kondisi investasi migas Indonesia amat buruk. Peringkat 114 dari 145 negara. Sebelum UU ini berlaku, investor hanya perlu berurusan dengan Pertamina. Prosedur yang kini berlaku amat menyulitkan investor karena terlalu birokratis. Hal ini juga memperbesar celah terjadinya korupsi karena makin banyak lembaga negara yang dilibatkan secara langsung.

Fakta:

Kondisi investasi migas Indonesia sangat buruk dan birokratis karena proses perizinan yang begitu panjang. Pemotongan proses perizinan dan sistem perizinan yang ringkaslah yang dibutuhkan saat ini. Contohnya dengan menghadirkan sistem perizinan satu atap bagi investor untuk memotong waktu pengurusan perizinan yang sangat lama. Memang BP Migas dikatakan terlalu mengurusi hal – hal detail sehingga proyek menjadi lambat.  Hal ini terjadi akibat adanya ketimpangan informasi antara BP migas dan kontraktor asing. Maka dari itu, Pertamina perlu hadir di setiap lapangan dengan PI minimumnya sebagai kepanjangan tangan agar tidak terjadi lagi ketimpangan informasi. Hal ini dapat mempercepat keberjalanan proyek-proyek yang ada. Kerjasama antara NOC dan badan regulator memang sangat penting, tapi bukan berarti kedua fungsi yang dimiliki kedua lembaga tersebut harus disatukan.

Berdasarkan pembahasan diatas, maka kami mengajukan solusi dan rekomendasi sebagai berikut:

1.Pendefinisian kembali frasa dikuasai oleh Negara pada Pasal 33 UUD 1945. Pendefinisian tersebut meliputi penunjukan lembaga yang menjalankan tiap poin-poin penjabaran frasa dikuasai oleh Negara tersebut.

2.Meninjau ulang keputusan pembubaran Badan Pelaksana oleh Mahkamah Konstitusi.

Bila hasil peninjauan adalah pembentukan kembali Badan Pelaksana, maka:

a.Diperlukan pembentukan dewan pengawas dan penilaian pada Badan Pelaksana yang menjadi titik lemah BP Migas sebelumnya. Biaya operasional Badan Pelaksana harus dilaporkan secara berkala kepada dewan pengawas.

b.Memberikan minimal Participating Interest (PI) setiap lapangan untuk dikelola BUMN, yaitu Pertamina. Hal ini dapat mengurangi ketimpangan informasi yang dimiliki oleh Pemerintah dan KKKS. Hal ini dapat mempercepat operasional lapangan yang tadinya terhambat karena BP migas dianggap terlalu mengurusi bagian yang detail dan mikro yang membuat kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi lambat.

c.       Benchmark dengan Brazil tentang kelembagaan konstitusional khususnya badan regulator yang kini dipegang lembaga ANP. Bentikan lembaga tersebut sama dengan BP Migas (Separation of Power Model)

Bila hasil peninjauan ulang tidak memungkinkan untuk membentuk kembali Badan Pelaksana, maka:

a.Berdasarkan opsi yang ada, pembentukan BUMN baru dengan hanya pemberian kewenangan regulator bisa menjadi alternatif solusi. Kebijakan ini memenuhi gugatan yang pernah terjadi saat pembubaran BP Migas bahwa frasa dikuasai Negara yang seharusnya adalah dijalankan oleh perusahaan Negara, yaitu BUMN. Karena badan regulator dalam bentuk BUMN, maka akan terbentuk pola B to B yang “dianggap” lebih aman dan tidak menurunkan derajat Negara. Keputusan ini akan lebih aman dari gugatan setelah penetapannya. Selain itu, keputusan ini menghilangkan kekhawatiran yang dapat terjadi ketika lembaga regulator juga memegang fungsi operator.

b.Pendefinisian barang dan jasa apa yang diberikan oleh BUMN Khusus baru. Sebagai badan regulator tentunya tidak menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat. Apabila pendefinisian ini gagal, ditakutkan akan terjadi gugatan-gugatan selanjutnya yang tetap saja membuat iklim investasi tidak kondusif. Pendefinisian ini juga bisa dalam bentukan peraturan pengecualian untuk BUMN Khusus baru tersebut.

c.Bentukan yang dipilih adalah Perum, karena badan regulator tidak profit oriented

d.Memberikan minimal Participating Interest (PI) setiap lapangan untuk dikelola BUMN, yaitu Pertamina. Hal ini dapat mengurangi ketimpangan informasi yang dimiliki oleh SKK Migas dan KKKS.

e.Terdapat jalur koordinasi dengan kementrian ESDM yang merupakan badan regulator makro dalam industry migas

f.Besaran dividen yang harus diberikan kepada Negara adalah seluruh pemasukan yang diterima. Biaya operasional akan diberikan secara tetap oleh Pemerintah sesuai kesepakatan bersama.

Daftar Pustaka

1.Presentasi Seminar Aspek Kelembagaan Konstitusional dalam Pengelolaan Migas Nasional oleh Pak Benny Lubiantara

2.UU No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi

3.UU No. 8 Tahun 1971 tentang perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi Negara

4.UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

5.Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 (Putusan Sidang MK  13 November 2012)

6.Annual Report Pertamina 2014

7.Annual Report Pertamina 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun