Mohon tunggu...
Aulia Meynisa Wirshananda
Aulia Meynisa Wirshananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga

Mahasiswi Ilmu Sejarah yang juga suka dan tartarik di bidang kesenian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Review Buku "Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia"

12 November 2020   22:15 Diperbarui: 13 November 2020   11:31 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Katharine E. McGregor adalah seorang penulis asal Australia yang melakukan kajian tentang historiografi Indonesia, khususnya pada ideologi militer. Kate melakukan kajian mendalam yang kemudian menghasilkan sebuah buku yang berjudul Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia. 

Sebenarnya pada tahun 2007, National University of Singapore Press atau NUS Press bersama dengan Southeast Asia Monograph Series, telah menerbitkan buku ini dalam versi Bahasa Inggris. Kemudian pada tahun 2008, diterbitkan pertama kali ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Syarikat di Yogyakarta. Buku ini terdiri dari 6 bab, dengan total xxvi dan 459 halaman.

Pada masa era kepemimpinan Soeharto, atau pada Orde Baru, militer menjadi dominan dalam kekuasaan Pemerintahan. Dibuktikan dengan pengangkatan pejabat dari golongan militer dilakukan semata-mata karena Soeharto ingin mengangkatnya. Sedangkan pada era kepemimpinan pasca Soeharto, pemilihan pejabat dilakukan penilaian yang lebih matang. Masyarakat menjaga agar tidak ada dominasi dari militer lagi dalam Pemerintahan. 

Namun pada pemilihan Presiden di tahun 2004, masyarakat memilih Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan seorang purnawirawan. Hal ini tentunya merupakan suatu keanehan, karena di satu sisi masyarakat ingin mencegah dominasi militer, namun di sisi lainnya masyarakat juga memilih sosok dari militer sebagai pemimpin negaranya. 

Hal ini dapat disimpulkan bahwa meskipun ada keinginan masyarakat untuk mencegah dan mengakhiri dominasi militer seperti pada pemerintahan Orde Baru, tetapi dalam benak masyarakat Indonesia sudah tertanam bahwa militer merupakan pemimpin negara yang terbaik. Proses penanaman pemikiran ini sudah tercipta sejak 1966 hingga 1998, dimana itu adalah masa pemerintahan Orde Baru. Proses ini dilakukan oleh Tentara Indonesia, khususnya juga dalam hal mengonstruksi masa lampau.

Kebanyakan kajian tentang militer Indonesia berfokus pada militer yang memiliki peran ganda yang menggabungkan perannya dalam politik dan pertahanan. Selain itu, kajian militer juga berupa laporan kronologis tentang evolusi militer Indonesia dalam ranah politik, dan memusatkan diri pada jangka waktu tertentu. Ada juga yang fokus membahas mengenai ideologi militer. Buku Ketika Sejarah Berseragam lebih mencermati satu lembaga khusus, yaitu Pusat Sejarah ABRI dan proyek-proyeknya. Buku ini menampilkan hasil analisis upaya militer dalam membangun citra baik yang ditujukan kepada anggota maupun ke masyarakat.

Bab 1 dengan topik “Sejarah Dalam Pengabdian Kepada Rezim Yang Otoriter” menjelaskan mengenai bagaimana penulisan historiografi sejarah Indonesia, khususnya pada era Orde Baru atau masa kepemimpinan Soeharto. Pada masa kepemimpinannya, penulisan historiografi yang kritis masih seumur jagung. Terlebih Indonesia masih tergolong sebagai negara yang baru saja merdeka. 

Semenjak kemerdekaan Indonesia, sejarah adalah salah satu sarana yang digunakan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme untuk warganya. Periode Demokrasi Terpimpin atau Orde Lama dan Orde Baru, sejarah digunakan sebagai alat untuk menyatukan ideologi dan persamaan visi tentang masa lampau secara nasional. 

Dalam Museum Nasional, terlihat bahwa masa lalu yang gemilang dipertahankan oleh Orde Lama. Namun Orde Baru menekankan pada tradisi panjang pemimpin militer dan tentang ancaman terhadap bangsa. Orde Baru juga meminimalisir sumbangan yang diberikan Presiden Soekarno pada sejarah. Orde Baru menyusun sejarah dengan menunjukkan persamaan-persamaan dengan rezim sebelumnya, serta rezim otoriter lainnya di dunia. Secara keseluruhan, sejarawan Indonesia menggunakan sejarah dalam pembinaan bangsa secara komitmen. Nugroho Notosusanto adalah salah seorang yang turut andil dalam mendukung penulisan sejarah pada masa pemerintahan Orde Baru.


Topik berikutnya dalam bab 2 adalah “Nugroho Notosusanto dan Awal Mula Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata”. “Nugroho Notosusanto merupakan salah seorang propagandis yang paling penting dalam rezim Orde Baru” (Katherine McGregor, 2008: 75). Nugroho Notosusanto adalah sosok yang membuat legitimasi Orde Baru melalui usaha kudeta 1965, sekaligus sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI (1965-1985), Menteri Pendidikan, dan menyebarluaskan citra pahlawan yang ada dalam militer Indonesia melalui museum, buku pelajaran, dan doku-drama. Nugroho Notosusanto lahir di Rembang pada 15 Juni 1931, dengan latarbelakang keluarga pegawai tinggi di Kabupaten Rembang. 

Dengan latarbelakang yang demikian, Nugroho berasal dari keluarga yang terpandang dan memiliki wawasan kosmopolitan. Nugroho juga turut berpartisipasi dalam perang kemerdekaan. Ia kemudian bertugas menjadi anggota Brigade 17 Tentara Nasional atau yang biasa disebut juga sebagai Tentara Pelajar. Tentara Pelajar ini beranggotakan para pelajar dan mahasiswa yang dilatih selama pendudukan Jepang. 

Para anggotanya adalah orang-orang nasionalis muda yang tidak berpolitik, sehingga mereka bersifat netral terhadap partai politik. Mereka hanya setia pada Pemerintah Republik Indonesia dan bekerjasama dengan TNI. Setelah bulan Desember 1949, yang dimana terjadi penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia, pihak Pemerintah kemudian menawarkan pendidikan militer di Breda di Belanda bagi para Tentara Pelajar, termasuk Nugroho. Namun sang ayah menyuruhnya untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dan tidak mengikuti program ke Breda.


Nugroho menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan berperan aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Ia juga menjadi sastrawan dalam waktu yang singkat dengan menjadi penulis cerpen, walaupun karirnya sebagai penulis berhenti di usianya yang ke-26 tahun. Setelah itu, Nugroho memfokuskan dirinya pada bidang sejarah, karena memiliki minat terhadap tokoh-tokoh sejarah dunia serta negara-negara berkembang. 

Nugroho berharap Indonesia dapat mengambil pelajaran yang bermanfaat dari sejarah bangsa-bangsa lain. Jenderal Nasution melihat Nugroho sebagai seorang yang terlatih dan setia kepada militer Indonesia, serta memiliki nasionalisme yang tinggi. Sehingga kemudian pada tahun 1964, Nugroho diangkat sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI, yang menjadi cikal bakalnya dalam proyek sejarah pada pemerintahan Orde Baru.


Pusat Sejarah ABRI didirikan dengan tujuan politis untuk membela sejarah dengan versinya sendiri, yang menurut versi itu, Pemberontakan PKI Madiun 1948 adalah pemberontakan komunis. Angkatan Darat merasa keberatan dengan sejarah yang dibuat oleh PKI yang dimana meletakkan pemberontakan itu sebagai upaya penyalahgunaan sejarah yang digunakan sebagai alat perjuangan politik. Proyek utama milik Nugroho Notosusanto adalah dalam penulisan sejarah kudeta 1965.


Bab 3 dengan topik “Sejarah Untuk Membela Rezim Orde Baru” membahas berbagai macam upaya Orde Baru untuk melegitimasi kekuasaannya. Dengan didirikannya Pusat Sejarah ABRI, kemudian segera menerbitkan kisah usaha kudeta dengan versi yang pertama. Buku dengan judul 40 Hari Kegagalan “G-30-S” 1 Oktober-10 November dianggap penting karena berisi tentang propaganda Angkatan Darat mengenai kudeta dan berhubungan dengan keterlibatannya PKI dalam peristiwa itu. 

Selanjutnya juga terbit kisah ini dalam versi bahasa Inggris, yang digunakan untuk disebarluaskan pada dunia dalam usaha untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru juga mengupayakan untuk menanamkan antikomunisme pada masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan dibuatnya Monumen Lubang Buaya dan peringatan peristiwa G-30-S setiap tahunnya. 

Penulisan sejarah selalu menyudutkan PKI sebagai pelaku utama dari peristiwa yang mengenaskan tersebut. Masyarakat kemudian bertanya-tanya mengenai kebenaran sejarah bangsanya di masa lampau. Namun walau begitu, masyarakat tetap setia pada versi kisah yang diterbitkan oleh Pusat Sejarah ABRI. Antikomunisme sudah berhasil ditanamkan oleh Orde Baru pada masyarakat Indonesia, bahkan setelah era kepemimpinan Soeharto telah selesai. Kisah kudeta yang disampaikan lebih berfokus pada kisah mengenai Orde Baru, bukanlah fokus kepada kudeta itu sendiri yang sebenarnya merupakan topik utama.


Kisah kudeta ini digunakan untuk menanamkan nilai-nilai inti yang diselaraskan dengan agama dan moralitas. Sumur Lubang Buaya dijadikan alat sebagai pengingat peristiwa sadis yang dialami oleh Jenderal Angkatan Darat. Relief pada Monumen Pancasila Sakti mengisahkan tentang perjalanan bagaimana terjadinya krisis nasional pada masa Soekarno, kemudian adanya pengaruh amoral dari PKI, yang kemudian terjadi pemulihan krisis pada masa Soeharto. 

Kompleks ini menjadi sangat sakral karena memperkokoh tema kesaktian Pancasila dan ancaman komunis yang mengancam Pancasila sila pertama. Selain itu juga dibuat film Pengkhianatan  Gerakan 30 September beserta peringatan Kesaktian Pancasila yang semakin memperkuat penanaman antikomunisme serta penderitaan Angkatan Darat dan perjuangannya dalam menjaga Pancasila. Dari peristiwa G-30-S, Nugroho Notosusanto dengan Pusat Sejarah ABRI kemudian mengembangkan penulisan sejarah Indonesia yang lain untuk memperkokoh peran militer dalam penulisan sejarah Indonesia.


“Mengkonsolidasi Kesatuan Militer” yang menjadi topik pada bab 4 di buku ini. Dalam penulisan sejarah, terdapat beberapa gambaran yang terputus-putus antara legitimasi dan kenyataannya. “Karena militer menyadari dampak keterbelahan yang pernah terjadi antara komando territorial dengan angkatan-angkatan militer, dalam dekade pertama masa Orde Baru militer Indonesia bekerja keras untuk memupuk suatu rasa kebersatuan militer dengan nilai-nilai yang konsisten” (Katherine McGregor, 2008: 245-246). 

Awal tahun 1970-an, kepemimpinan militer juga memikirkan dampak yang diakibatkan dari penyerahan kekuasaan kepada generasi militer yang tidak mengalami dan tidak mengikuti perang kemerdekaan. Pada seminar tahun 1972, memperkenalkan interpretasi yang baru mengenai nilai-nilai 1945. Nilai Pancasila dan UUD 1945 ditampilkan sebagai representasi inti dari nilai-nilai 1945, sedangkan nilai-nilai TNI 45 khusus menampilkan nilai-nilai pertahanan, etika militer, pengorbanan, dan kepatuhan. Seminar ini lebih mempromosikan tentang nilai-nilai 1945. Proyek sejarah yang lainnya juga terinspirasi dari seminar ini, dengan tujuan untuk memperkenalkan militer dan konsep dwifungsi.

Selanjutnya di bab 5, dengan topik “Mempromosikan Militer dan Dwifungsi Kepada Masyarakat Sipil”. Seminar pada tahun 1972 bertujuan untuk menciptakan rasa hormat kepada militer Indonesia melalui konsep nilai-nilai 1945. Memoir militer, menonton film tentang revolusi Indonesia, maupun membaca buku-buku yang telah disetujui militer, menjadi sarana media agar masyarakat Indonesia mendapatkan nilai-nilai 1945 dan peran-peran militer di masa lalu nasional yang diagungkan. 

Nugroho Notosusanto membela versi sejarah-sejarah yang terkait dengan militer miliknya. Termasuk media yang paling berpengaruh yaitu Volume Lima dan Enam Sejarah Nasional Indonesia yang diawasi olehnya. Nugroho Notosusanto masih tetap mengagungkan militer hingga akhir hayatnya di tahun 1985. Ia percaya bahwa militer adalah pemimpin yang terbaik untuk bangsa, dan mungkin ia juga memiliki ambisi yang kuat untuk menjadi orang yang berpengaruh.

Bab 6 yang merupakan bab terakhir, dengan topik “Menetapkan Tradisi Kemiliteran dan Musuh-Musuh Negara”. Sepeninggalan Nugroho Notosusanto dan pensiunnya para anggota militer generasi 1945, Pusat Sejarah ABRI sudah tidak lagi membahas tema-tema yang berkaitan dengan pada era sebelumnya. Kajiannya berkaitan dengan bentuk usaha militer untuk melegitimasi dari generasi-generasi selanjutnya. Proyek yang pertama kali dikerjakan adalah Museum Keprajuritan Nasional yang fokusnya terletak pada pahlawan sebelum kemerdekaan dan perlawanan antikolonial. Museum itu juga menekankan pada tradisi keprajuritan Indonesia serta sumber alternatif untuk keberlanjutan dominasi militer dalam politik serta pembangunan.

Terdapat peristiwa-peristiwa yang kemudian dijadikan sebagai alat legitimasi militer di Indonesia, seperti Gerakan Darul Islam atau DI/TII pada sekitar tahun 1970 dan 1980-an. Walau begitu, tetap kisah kudeta 1965 menjadi fokus utama dalam legitimasi. Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) lebih menekankan pada sifat siklis komunisme serta ancamannya bagi bangsa yang kian berlanjut. Adegan-adegan sadis dipertunjukkan di dalam museum tersebut secara rinci. Museum ini bertujuan untuk membiadabkan musuh rezim Orde Baru sekaligus menjadi peringatan bagi masyarakat Indonesia tentang adanya sifat anti-Pancasila dan anti-rezim. Dengan melakukan cara-cara seperti inilah, militer dengan mudah mengendalikan masyarakat.

Buku ini merupakan kajian yang menarik untuk dibaca, sehingga kita dapat memperluas wawasan dan pola pikir kita. Bahasa yang digunakan cukup mudah untuk dipahami, serta diberikan gambar-gambar yang sangat membantu pembacanya. Dari buku Ketika Sejarah Berseragam karya Katherine E. McGregor, kita dapat mengetahui bagaimana penulisan sejarah pada masa Orde Baru, serta apa tujuan penulisan sejarah dan pembuatan museum maupun monumen di masa itu. Sejarah dapat digunakan oleh penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya, sekaligus menanamkan ideologi maupun pemikiran dan pandangan tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun