Mohon tunggu...
Aulia Laily
Aulia Laily Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi : Editing dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kedudukan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam

23 November 2024   07:12 Diperbarui: 23 November 2024   07:37 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Al Quran merupakan sumber hukum yang utama dan pertama dalam ajaran Islam. Al Quran dan Sunnah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Adapun kedudukan hadis dalam Islam sebagai sumber hukum yang kedua setelah Al Quran, yang kemudian diikuti dengan ijma' dan Qiyas. Dari segi urutan tingkatan dasar Islam ini, sunnah menjadi dasar hukum Islam tasyri'iyyah kedua setelah Alquran. Hal ini dapat dimaklumi karena beberapa alasan sebagai berikut,

1. Fungsi Sunnah sebagai Penjelas terhadap Al Quran

Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap Alquran. Tentunya pihak penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks Alquran sebagai pokok asal, sedangkan sunnah sebagai penjelas (tafser) yang dibangun karenanya. Dengan demikian, segala uraian dalam sunnah berasal dari Alquran. Alquran mengandung segala permasalahan secara paripurna dan lengkap, baik menyangkut masalah duniawi maupun ukhrawi, tidak ada suatu masalah yang tertinggal. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-An'am (6):

 مَّا فَرَّ طْنَا فَى الْكِتَبِ مِن شَىْ ءٍ 

"Tidak ada sesuatu yang Kami tinggalkan dalam Al-Kitab"

Keterangan Alquran sangat sempurna tidak meninggalkan sesuatu, tetapi penjelasannya secara global maka perlu diterangkan secara rinci dari sunnah.

Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua, yaitu setelah Alquran selalu berintegrasi dengan Alquran, Beragama tidak mungkin bisa sempurna tanpa sunnah, sebagaimana syariah tidak mungkin sempurna tanpa didasarkan kepada sunnah. Para sahabat menerima langsung penjelasan Nabi tentang syari'ah yang terkandung dalam Alquran, baik dengan perkataan, perbuatan, dan ketetapan beliau yang disebut dengan sunnah itu. Demikian juga umat Islam setelahnya, tidak mungkin dapat memahami hakikat Alquran, kecuali harus kembali kepada sunnah. Oleh karena itu, umat Islam dahulu dan sekarang sepakat (kecuali kelompok minoritas) bahwa sunnah Rasul, baik berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuannya sebagai salah satu sumber hukum Islam dan seseorang tidak bisa melepaskan sunnah untuk mengetahui halal dan haram.

Kedudukan hadis dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran islam, menurut jumhur ulama adalah menempati posisi kedua setelah al-Quran. Hal tersebut terutama ditinjau dari segi wurud atau tsubutnya adalah bersifat qathi, sedangkan hadis kecuali yang berstatus Mutawwir sifatnya adalah zhaunni al-wurud. Oleh karenanya yang bersifat qath'i (pasti) didahulukan daripada yang zhanni (relatif).

2. Fungsi Hadits terhadap al-Quran

Posisi Hadis dengan Al-Qur'an dilihat dari segi posisinya, al-Qur'an dan hadis merupakan pedoman hidup dan sumber ajaran Islam, antara keduanya tidak dapat dipisahkan. al-Qur'an sebagai sumber yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah hadis menempati posisinya sebagai penjelas al- Qur'an. Fungsi hadis sebagai penjelas al- Qur'an, di kalangan ulama disebutkan secara beragam. Malik ibn Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayn al-taqrr, bayan al- tafsr, bayn al-tafshil, bayan al- basth, dan bayn al-tasyr'. Imam al-Syafi'i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayn al-tafshil, bayan al-takhshish, bayn al-ta'yn, bayn al- tasyri", dan bayn al-nasakh. Dalam kitabnya al-Risalah, al-Syafi' i menambahkan bayn al -isyrah. Ahmad ibn Hanbal menyebutkan empat macam fungsi, yaitu bayn al-taqyd, bayn al-tafsr, bayn al-tasyri", dan bayn al-takhshish.

Ulama Atsar menetapkan empat macam fungsi Hadits terhadap al-Quran, sebagai berikut:

1. Bayan at-Taqrir

Bayan at-Taqrir disebut juga dengan bayan at-Ta'kid dan bayan at-isbat. Maksudnya ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Quran. Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah menerangkan:

"rasulullah Saw bersabda: "Tidak diterima shalat seorang yang berhadas sebelum ia berwudhu."

2. Bayan at-Tafsir

Bayan at-Tafsir adalah memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran yang masih mujmal, memberikan persyaratan ayat-ayat al-Quran yang masih mutlak dan memberikan penentuan khusus ayat-ayat al-Quran yang masih umum. Misalnya, hadits Rasulullah Saw tentang bagaimana shalat yang benar seperti shalat Rasulullah yang harus diikuti. Hadits ini menjelaskan/menafsirkan ayat al-Quran, pada surat al-baqarah: 43.

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ

Artinya: "Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk."

3. Bayan at-Tasyri

Bayan at-Tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Quran. Bayan ini disebut juga dengan bayan zaid ala al kitab al-karim. Diantara comtohnha adalah haramnya mengumpulkan dua orang wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum syuf'ah, hukum merajam perempuan yang bukan perawan, termasuk tentang jumlah zakat fitrah satu sha' terhadap umat Islam pada bulan suci Ramadhan dan sebagainya.

4. Bayan an-Nasakh

Kata an-Nasakh secara bahasa bermcam-macam arti, bisa berarti al-ibtal (membatalkan), al ijalah (menghilangkan) atau at tahwil (memindahkan) dan at taqyir (mengubah) menurut pendapat yang dapat dipegang, dari ulama Mutaqaddin bahwa yang disebut bayan an-nasakh ialah adanya dalil syara' (yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada), karena datangnya dalil berikutnya. Diantara contoh hadits yang diajukan oleh para ulama adalah hadits tentang tidak adanya wasiat bagi ahli waris. Menurut mereka, hadits tersebut menasakh firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 180.

كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًاۖ ࣙالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَۗ

Artinya:"Diwajibkan kepadamu, apabila seseorang di antara kamu didatangi (tanda-tanda) maut sedang dia meninggalkan kebaikan (harta yang banyak), berwasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang patut (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun