Al Quran merupakan sumber hukum yang utama dan pertama dalam ajaran Islam. Al Quran dan Sunnah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Adapun kedudukan hadis dalam Islam sebagai sumber hukum yang kedua setelah Al Quran, yang kemudian diikuti dengan ijma' dan Qiyas. Dari segi urutan tingkatan dasar Islam ini, sunnah menjadi dasar hukum Islam tasyri'iyyah kedua setelah Alquran. Hal ini dapat dimaklumi karena beberapa alasan sebagai berikut,
1. Fungsi Sunnah sebagai Penjelas terhadap Al Quran
Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap Alquran. Tentunya pihak penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks Alquran sebagai pokok asal, sedangkan sunnah sebagai penjelas (tafser) yang dibangun karenanya. Dengan demikian, segala uraian dalam sunnah berasal dari Alquran. Alquran mengandung segala permasalahan secara paripurna dan lengkap, baik menyangkut masalah duniawi maupun ukhrawi, tidak ada suatu masalah yang tertinggal. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-An'am (6):
مَّا فَرَّ طْنَا فَى الْكِتَبِ مِن شَىْ ءٍ
"Tidak ada sesuatu yang Kami tinggalkan dalam Al-Kitab"
Keterangan Alquran sangat sempurna tidak meninggalkan sesuatu, tetapi penjelasannya secara global maka perlu diterangkan secara rinci dari sunnah.
Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua, yaitu setelah Alquran selalu berintegrasi dengan Alquran, Beragama tidak mungkin bisa sempurna tanpa sunnah, sebagaimana syariah tidak mungkin sempurna tanpa didasarkan kepada sunnah. Para sahabat menerima langsung penjelasan Nabi tentang syari'ah yang terkandung dalam Alquran, baik dengan perkataan, perbuatan, dan ketetapan beliau yang disebut dengan sunnah itu. Demikian juga umat Islam setelahnya, tidak mungkin dapat memahami hakikat Alquran, kecuali harus kembali kepada sunnah. Oleh karena itu, umat Islam dahulu dan sekarang sepakat (kecuali kelompok minoritas) bahwa sunnah Rasul, baik berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuannya sebagai salah satu sumber hukum Islam dan seseorang tidak bisa melepaskan sunnah untuk mengetahui halal dan haram.
Kedudukan hadis dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran islam, menurut jumhur ulama adalah menempati posisi kedua setelah al-Quran. Hal tersebut terutama ditinjau dari segi wurud atau tsubutnya adalah bersifat qathi, sedangkan hadis kecuali yang berstatus Mutawwir sifatnya adalah zhaunni al-wurud. Oleh karenanya yang bersifat qath'i (pasti) didahulukan daripada yang zhanni (relatif).
2. Fungsi Hadits terhadap al-Quran
Posisi Hadis dengan Al-Qur'an dilihat dari segi posisinya, al-Qur'an dan hadis merupakan pedoman hidup dan sumber ajaran Islam, antara keduanya tidak dapat dipisahkan. al-Qur'an sebagai sumber yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah hadis menempati posisinya sebagai penjelas al- Qur'an. Fungsi hadis sebagai penjelas al- Qur'an, di kalangan ulama disebutkan secara beragam. Malik ibn Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayn al-taqrr, bayan al- tafsr, bayn al-tafshil, bayan al- basth, dan bayn al-tasyr'. Imam al-Syafi'i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayn al-tafshil, bayan al-takhshish, bayn al-ta'yn, bayn al- tasyri", dan bayn al-nasakh. Dalam kitabnya al-Risalah, al-Syafi' i menambahkan bayn al -isyrah. Ahmad ibn Hanbal menyebutkan empat macam fungsi, yaitu bayn al-taqyd, bayn al-tafsr, bayn al-tasyri", dan bayn al-takhshish.
Ulama Atsar menetapkan empat macam fungsi Hadits terhadap al-Quran, sebagai berikut:
1. Bayan at-Taqrir